Chereads / A LOVER (FRIENDZONE) / Chapter 4 - Chapter 4

Chapter 4 - Chapter 4

Mary tidak mengalihkan pandangannya sedari tadi dari jendela kamar Justin yang bersebrangan dari balkon kamarnya.

Biasanya lelaki itu tidak pernah absen membuka gordennya, Justin suka sekali duduk di balkon saat libur.

"Chat tidak dibalas, telfon tidak diangkat, ditemui di rumah tidak mau menemui," ucap Mary mengingat apa yang sudah ia usahakan untuk membuat Justin memaafkannya.

Tidak berapa lama, ponselnya bergetar. Ia pikir Justin yang baru saja mengirim pesan. Tapi ternyata dari nomor tidak dikenal.

Masih sedih?

Mary mengernyit ketika membaca pesan dari nomor yang tidak dikenal itu.

Daripada memikirkan tukang ojek, lebih baik memikirkan Prince Matteo saja.

Mary mendengus setelah mengetahui jika yang mengiriminya pesan adalah Matteo. Bisa-bisanya dia masih memiliki muka setelah apa yang sudah ia lakukan. Gara-gara Matteo, Justin menjadi salah paham.

Ketika Mary fokus membaca pesan dari Matteo, tanpa ia sadari dari tadi Justin sedang memerhatikannya dari balik gorden kamarnya.

"Katanya mau diberi kesempatan, tapi malah sibuk bermain ponsel."

****

"Tante Lily, Justin sudah berangkat?" tanya Mary.

Lily yang baru saja keluar dari dalam rumah mengernyit mendapati Mary yang belum berangkat sekolah, karena Justin sudah berangkat dari tadi.

"Kok Mary belum berangkat?"

Tentu saja Mary terkejut sekaligus sedih, ia pikir Justin akan memaafkannya. Karena biasanya jika mereka marah-marahan, Justin yang mengalah.

"Oh iya, Mary lupa. Semalam Justin juga sudah bilang mau berangkat lebih dulu karena ada piket pagi," katanya berbohong.

Lily mengangguk paham. "Ya sudah, Mary buruan berangkat. Nanti telat, loh."

"Mary berangkat tante," pamitnya.

Sementara itu di tempat lain, Justin tak bisa fokus memerhatikan pelajaran yang kini tengah berlangsung. Pikirannya dipenuhi oleh Mary. Entah mengapa ia jadi merasa bersalah.

Justin menggeleng, dia sudah punya teman baru. Pasti tidak masalah untuk gadis itu memperoleh tumpangan. Mary paling meminta Matteo untuk menjemputnya.

Sadukan kecil di lengannya membuyarkan lamunan Justin. "Apa sih?"

Demian, teman sebangkunya memberi isyarat untuk memerhatikan ke arah depan papan tulis, namun lelaki itu tidak menggubrisnya.

"Justin, lihat ke depan," bisiknya.

"Berisik!" ujar Justin pada Demian.

Dan tidak berapa lama namanya pun disebut. "Justin, keluar dari kelasku sekarang!" teriak guru fisika yang sedang mengajarnya.

Ah, benar-benar menyebalkan. Batinnya.

****

"Terima kasih," Mary turun dari motor Matteo setelah mereka tiba di parkiran sekolah. Disaat Mary akan pergi, Matteo menahannya.

"Jangan menangis lagi," katanya.

Mary menatap Matteo, ia bisa merasakan jemari lelaki itu mengusap air mata yang ada di sudut matanya.

"Coba saja aku tadi tidak berinisiatif melewati jalan dekat rumahmu, pasti kau akan tetap menangis di halte bus tadi."

Mary hanya bisa menghela nafas. Mungkin Matteo benar, pasti ia akan bertahan disana jika tidak ada lelaki itu tadi.

"Mengapa kau harus memikirkan lelaki egois itu, sih? Jika dia benar sahabatmu, dia tidak akan pergi karena egonya terlukai."

"Dia seperti ini karena aku yang tidak jujur padanya. Dia pantas marah, namun caranya kekanakan," jawab Mary.

"Datanglah padaku, bahuku selalu siap untuk menjadi tempat bersandarmu kapanpun."

Mary tidak berani membalas kata-kata Matteo, jujur saja rasanya terasa canggung. Ia sudah tidak merasa terkejut karena perubahan sikap lelaki itu.

Meski Mary akui, sikap Matteo yang begini mampu membuat hatinya menghangat. Namun hatinya masih milik Justin.

"Sekali lagi terima kasih. Aku masuk ke dalam kelas dulu," pamitnya.

Mary masih mengingat jelas kejadian tadi pagi. Matteo benar-benar membantunya. Saat ini sudah di jam istirahat. Ia dan Irene sedang berada di kantin. Dan tidak berada jauh dari posisinya, Mary melihat Justin dan Yuri yang juga ada di kantin. Mereka terlihat begitu mesra, dada Mary jadi panas.

"Mary, menu makan siang kali ini spagetti udang. Kau mau?" Intrupsi Irene mengalihkan pandangannya dari Yuri dan Justin.

Sepertinya ia harus berterima kasih pada gadis itu. Mary pun mengangguk menanggapi tawarannya.

"Boleh, aku juga mau," jawabnya.

Irene membaca perubahan ekspresi dari Mary barusan. Kemudian ia bisa mendengar rengekan Yuri yang sedang bersama Justin.

Entah mengapa, Irene merasa jika perubahan ekspresi Mary karena kedua orang itu.

"Mau pindah tempat duduk?"

Irene adalah sahabat Mary juga, jadi dia juga tahu kalau gadis itu sedang marah-marahan dengan Justin. Dan Irene juga tahu, jika Mary menyukai Justin dari dulu. Lelaki itu jahat sekali.

Mary terdiam. Ia tidak mengerti mengapa tiba-tiba Irene mengajaknya pindah tempat karena biasanya tempat duduk itu menjadi tempat favorit mereka.

"Ini kan tempat favoritmu?"

Irene menggeleng. "Tidak, kata siapa?" Dia pun berniat menarik tangan Mary untuk segera pergi dari sana, namun kedatangan Matteo yang secara tiba-tiba dan duduk tepat di samping gadis itupun menghentikannya.

"Apa-apaan kau?" tanya Irene terkejut.

Sama tak kalah terkejutnya dengan Irene, ia melihat rangkulan tangan Matteo yang sudah berada di bahunya.

"Apa yang--"

"Apakah kau mau pergi karena terlalu lama menungguku?" katanya memotong kalimat Mary.

Mary mengernyitkan dahinya, sebenarnya apa maunya?

"Apa maksudmu? Aku mau pind--" Matteo langsung membungkam bibir Mary.

"Irene, kau dengarkan? Mary hanya mau berduaan denganku."

Irene berdecak. Ia tahu itu hanya alasan Matteo saja, padahal lelaki itu hanya ingin memanas-manasi Justin. Pada akhirnya ia pun pergi dari sana meninggalkan Matteo dan Mary berduaan.

"Duduklah, kau tidak penasaran bagaimana reaksi Justi ketika melihatku bersamamu?" bisik Matteo.

Mary meneguk ludahnya susah payah. Entah apa yang sedang direncanakannya, mengapa dengan sengaja ia mau membuat Justin kesal. Tapi Mary tidak punya pilihan, karena ia juga penasaran.

"Kau juga sama penasarannya, kan? Mari kita mulai." Matteo melakukan pemanasan sambil duduk lalu berdehem-dehem sambil melantunkan nada doremifasol.

"Apa kau bercanda? Kau mau menyanyi atau apa sih?"

"Ini trik, ikuti saja."

Matteo kembali berdehem, Justin yang duduk di sebrangnya benar-benar merasa terganggu.

"Mary, film avengers sudah tayang. Nonton yuk!"

Mary mengingat kembali ajakan Justin minggu lalu yang juga mengajaknya menonton film. Matteo pandai sekali menggunakan topik ini untuk memanasi Justin.

Matteo menyikut pelan Mary agar meresponnya. "Boleh! Kebetulan aku juga ingin menonton film."

Justin yang menderita itu nampak menggenggam erat tangannya sampai kuku tangannya memutih.

"Baiklah, sepulang sekolah nanti kita ke bioskop. Prince Matteo akan membuat Mary senang hari ini."

Brakkk!!!

Justin bangkit dari kursinya, dan pergi dari sana meninggalkan Yuri yang meraung meneriakinya.

Mary terlihat sedih melihat Justin bersikap seperti itu. Seharusnya jika Justin tidak menyukainya, dia bisa langsung menghadapinya, bukannya malah terus menghindar.

"Kau masih menyukai lelaki seperti itu?" tanya Matteo dan hal itu membuat Mary membeku di tempatnya.

Selama ini, Ia tidak pernah mengatakan pada siapapun jika dirinya menyukai Justin. Bagaimana Matteo bis mengetahuinya?