"Justin?" Anne, mama Mary nampak mengernyit ketika mendapati Justin sudah berada di depan rumahnya dengan motornya. Sementara itu Justin pun tersenyum.
"Pagi tante, apakah Mary sudah siap?"
Anne terlihat terkejut, tidak biasanya Justin sepagi ini menunggu Mary segala. Karena biasanya malah putrinya itu yang menghampirinya lebih dulu.
"Astaga, mau belajar rajin ya?" ujar Anne sambil tertawa. "Mary masih sarapan."
Justin mengangguk. "Justin kan sudah kelas tiga, masa mau terlambat terus."
Anne mengangguk setuju. Tidak berapa lama Mary keluar dari dalam rumah.
"Ma, Mary berangkat-- eh, Justin?"
Justin melambaikan tangannya menyapa gadis itu. "Selamat pagi, Mary Anderson."
"Apakah kau benar-benar Justin? Semalam mimpi apa, pagi-pagi begini sudah siap," tanya Mary heran.
Anne mendorong pelan tubuh Mary agar mendekat ke arah Justin. "Sudah tidak usah banyak bertanya, sekarang berangkat ya. Nanti keburu telat."
"Tante benar, ayo berangkat!" Justin menyuruh Mary untuk bergegas.
"Ma, Mary berangkat," pamitnya.
"Hmm, hati-hati. Justin, jangan ngebut-ngebut."
"Siap, tante!" Justin memberikan helm untuk Mary pakai. Lelaki itu berniat untuk memakaikannya, namun Mary menolak.
"Aku bisa memakainya sendiri."
Justin berdecak. "Iya, iya."
Dasar tidak peka. Batinnya.
Setelah Mary naik ke motornya, Justin pun melajukan motornya menuju ke sekolah.
****
"Nanti aku ada les," ucap Mary pada Justin agar pulang duluan.
"Oke, nanti aku tunggu di lapangan sambil main basket dengan anak-anak lain."
Mary menggelengkan kepalanya. "Bukannya kau pulang dengan Yuri, ya?"
"Tidak kok. Tadi mama menitipkan bekal untukmu," ucap Justin setelah memberi wadah bekal makanan dari dalam tasnya kepada Mary.
"Benarkah? Wah, tumben sekali tante Lily membawakan bekal."
Justin mengedikkan bahunya. "Aku mau ke kelas dulu. Ingat ya, nanti kalau pulang aku menunggu di lapangan," katanya mengingatkan Mary, dan berlalu pergi.
Mary tersenyum, ia pun kemudian membuka tutup bekal itu dan matanya membulat setelah melihat isinya. "Perasaan tante Lily tidak pernah membuat telur mata sapi sampai setengah gosong begini," ucapnya sambil terkekeh.
Bisa Mary tebak, bekal itu buatan Matteo sendiri.
****
Mary tidak bisa berhenti tersenyum menatap bekal pemberian Justin di pangkuannya. Karena ini sudah masuk jam istirahat, Mary pun mulai memakan bekal pemberian Justin.
"Meskipun tampilannya tidak meyakinkan, tapi sepertinya nasi goreng plus telur mata sapi setengah gosong ini enak."
Mary akan mencoba nasi gorengnya, namun tiba-tiba suapan pertamanya langsung diambil seseorang.
"Wah, nasi goreng," ucapnya antusias.
Mary menatap sengit pembegal bekalnya. "Matteo, apa-apaan kau?!"
Matteo terkekeh dan langsung menyuapkan nasi goreng itu ke dalam mulutnya menggunakan sendok Mary.
Tidak berapa lama, ia memuntahkan semua nasi goreng itu dari mulutnya.
"Asin, kau tidak bisa masak ya?"
Mary menghembuskan nafas kasar. "Mau asin, manis, pahit, kecut ataupun hambar. Terserah akulah. Makanya jangan main ambil saja, kau tukang begal ya?" Mary terlihat begitu kesal.
Matteo menyedekapkan tangannya di depan dada. "Masa anak gadis tidak bisa masak," katanya mengejek.
Mary semakin menatap Matteo kesal dan tidak suka. "Bisa tidak sih, sehari saja tidak menggangguku?"
Ia pun ingin pergi dari sana, namun Matteo sudah menghalangi jalannya. Lelaki itu sepertinya memang sengaja membuatnya kesal.
Mary menggeram marah. "Matteo, apa masalahmu?!"
Matteo terlihat sedang memikirkan sesuatu. "Sepertinya tidak ada," jawabnya.
Hal itu membuat Mary menghembuskan nafasnya menahan kesal bercampur marah. Gadis itu pun akhirnya bisa berlalu pergi setelah Matteo memberinya jalan.
"Dasar emosian," ejek Matteo keras sengaja agar Mary bisa mendengarnya.
Sementara itu, Justin yang memerhatikan kejadian itu dari kejauhan menggenggam tangannya kuat.
"Sepertinya Matteo naksir Mary," ucap seseorang tiba-tiba muncul.
Justin menoleh dan mendapati Yuri yang ternyata sudah berdiri di sampingnya. "Kau tidak cemburu padanya, kan?"
"Apa maksudmu? Bagaimana mungkin aku cemburu pada sahabatku sendiri."
"Pasti seru ya, kalau aku menjodoh-jodohkan Mary dengan Matteo," ujar Yuri berandai-andai. "Nanti kita bisa double date."
"Mary tidak mungkin mau dengan Matteo."
"Kenapa?"
"Dia sendiri pernah bilang tidak menyukai lelaki itu karena usil."
"Tidak suka bisa jadi suka kan? Aku yakin, mereka pasti cocok kalau pacaran." Yuri bersikukuh.
"Aku tidak akan merestuinya," ujar Justin lirih.
"Kau tadi bilang apa?" tanya Yuri tidak bisa mendengar perkataan Justin barusan.
"Maksudku mau masuk kelas." Justin berlalu meninggalkan Yuri.
"Eh, kok pergi? Nanti pulang sekolah jangan lupa!!" teriak Yuri mengingatkan.
"Aku tidak bisa, besok-besok saja perginya," jawab Justin segera pergi.
****
"Mary, nanti pulang naik bus lagi?" tanya Irene, teman sebangkunya.
Mary menggelengkan kepalanya. "Hari ini aku pulang dengab Justin. Dia menungguku di lapangan."
Irene tersenyum menggodanya. "Wah, Justin rela menunggumu? Menggemaskan sekali, padahal kelas 12F tidak ada jadwal les hari ini."
"Ck, apaan sih? Kebetulan dia kan juga main basket dengan anak-anak lain," sahutnya menanggapi godaan Irene.
"Halah, alasan."
"Sudah, sudah. Aku pulang duluan ya, sampai bertemu besok!" Mary segera keluar dari kelasnya. Ia mau menyusul Justin yang sudah berada di lapangan.
Disaat melewati koridor sekolah yang mulai sepi, Mary mendapati Justin tengah duduk di bangku depan sebuah kelas dengan seorang lelaki yang tidak begitu kelihatan jelas karena tertutup tubuh Justin.
Mary berinisiatif mendekati Justin dan tepat saat itu, lelaki di samping Justin berdiri dan menyadari keberadaannya.
Mata Mary sontak membulat mengetahui siapa lelaki yang sedang bersama Justin itu. "Matteo?"
Mary tidak menyangka sama sekali jika saat ini Justin sedang bersama Matteo. Entah apa yang mereka bicarakan, sebelum pergi Matteo seperti berkata sesuatu pada Justin. Kemudian lelaki itu menatapnya dan mengedipkan sebelah matanya sambil berlalu pergi. Entah mengapa perasaan Mary jadi tidak enak.
"Justin, kenapa kau bisa--"
"Siapa Prince? Kenapa kau tidak pernah mengatakan hal itu padaku yang notabenenya sahabatmu sendiri?" Justin terlihat marah.
Dugaannya benar, pasti ada yang tidak beres. Bisa-bisanya Matteo menggunakan cara itu untuk mengadu dombanya dengan Justin. Ternyata ia sudah bercerita dengan orang yang salah.
"Mary, aku sudah cukup sabar ya. Bagaimana kau bisa merahasiakan itu dariku, sementara Matteo yang hanya sekali menemanimu saat traumamu kambuh, kau beritahu?" Justin mengungkit kembali kejadian kemarin yang begitu mengganggunya.
"Justin, tolong dengarkan aku."
"Aku kecewa padamu. Apakah kau benar-benar menganggapku sahabat?"
"Tentu saja, makanya dengarkan penjelasanku dulu."
"Aku tidak butuh penjelasan apapun, Mary. Pokoknya aku kecewa," katanya dan berlalu pergi.
Mary segera mengejar Justin. "Jus, aku bisa jelaskan. Dengarkan aku dululah," ucapnya berusaha menghentikan lelaki itu.
Justin tidak menggubris Mary, ia segera memakai helmnya dan pergi meninggalkan gadis itu yang terlihat tidak menyerah mengejarnya meski Justin sudah melaju pergi dengan motornya. Adegan itu persis seperti adegan film.
"Justin, mengapa kau tidak mau mendengarkan aku?" Mary menyerah. Ia menangis sambil terduduk.
Sementara itu, Matteo melihat Mary dari kejauhan. Lelaki itu tidak benar-benar pergi setelah bertemu dengan Justin.
"Jadi lelaki seperti itu yang kau sukai? Lelaki yang dengan mudahnya termakan omongan orang lain tanpa mendengarkan penjelasanmu lebih dulu?"