"Mau sampai kapan memelukku?" tanya Matteo pada Mary yang masih setia memeluk tubuhnya yang basah kuyup sejak tadi.
Reflek Mary langsung membuka kedua matanya dan memberingsut jauh setelah menyadarinya.
"Matteo maaf, aku tidak sadar karena sikapku barusan," kata Mary meminta maaf.
Matteo hanya berdehem menanggapinya sambil mengusap-usap tengkuknya.
"Tumben belum pulang, tukang ojekmu mana?"
Mary mendengus setelah mengerti maksud Matteo. "Hei, dia itu bukan tukang ojek. Dia punya nama, namanya Justin."
Matteo mengedikkan bahunya. "Dia kan sering memboncengmu ke sekolah, berarti dia tukang ojekmu kan?" jawabnya cuek.
Mary memejamkan matanya menahan kesal, jika lelaki ini tadi tidak menemaninya sampai hujan reda, mungkin sekarang Mary akan memukulnya karena berani menyebut Justinnya tukang ojek.
Pasalnya bukan kali ini saja lelaki itu memanggil Justin dengan sebutan 'tukang ojek'.
Sebenarnya Mary tidak pernah sekelas dengan Matteo, tapi semenjak ia suka naik bus ketika Justin tidak bisa mengantanya pulang karena ada kegiatan, mereka bertemu pertama kali di halte depan sekolah.
Dengan gaya slengekannya, Matteo datang dan langsung duduk di samping bangkunya yang kosong dan berkata, "Mana tukang ojekmu?"
Tanpa dijelaskan secara jelas, Mary tahu maksud dari lelaki itu. Karena merasa terusik, Mary menyemprotkan berbagai kata makian karena sudah berani menyebut Justin begitu. Meski waktu itu dia tidak tahu siapa lelaki itu. Padahal mereka berada di sekolah yang sama.
Dan mulai saat itulah, ketika mereka tidak sengaja berpapasan, pasti Matteo akan menyebut-nyebut Justin.
Biasanya disaat Mary merasa sangat sebal karena hal itu, ia pun mengadukannya pada Justin. Namun reaksi lelaki itu malah biasa saja.
"Tukang ojek? Tidak apa-apa yang penting tampan." Justin selalu mengatakan hal itu.
Makanya Mary berhenti mengadukan hal itu pada Justin, dan berusaha mengabaikan Matteo.
"Please, jangan mulai lagi dan memperkeruh suasana sore ini. Perasaan kesalku padamu berkurang hari ini karena kau tadi sudah menemaniku disini," jelas Mary kepada Matteo.
Kemudian Matteo menatap Mary dengan tatapan tidak terbaca. "Sejak kapan?" tanyanya.
Mary menatap balik Matteo dengan bingung. "Maksudnya?"
"Hujan," jawabnya singkat, namun Mary langsung mengerti kemana arah pembicaraan lelaki itu.
"Sepertinya sejak kecil?" Mary mengingat-ingat kembali awal mulanya ia membenci hujan. Jika mengingat insiden itu, Mary selalu merasa takut dan panik.
"Kalau boleh tahu, kenapa kau bisa takut hujan? Mereka tidak bisa membunuhmu. Itu hanya air," ucap Matteo santai. Mary mendengus.
Ya, Matteo benar. Hujan hanyalah air, tapi masalahnya bukan itu. Mary mengalami situasi menakutkan waktu itu hingga ia jadi merasa trauma saat hujan turun. Namun selain hujan, Mary juga memiliki trauma lain yang berkaitan dengan laut.
"Sebenarnya selain hujan, aku juga takut saat melihat laut," ujar Mary menjelaskan.
"Kau juga takut laut? Astaga, aneh sekali."
"Tidak bisakah kau mendengarkan ceritaku hingga selesai?" Mary jadi kesal karena tanggapan Matteo. Lelaki itupun akhirnya mengalah dan mulai mendengarkan cerita Mary.
"Dulu sewaktu kecil, aku dan temanku hampir tergulung ombak karena bermain di pantai saat hujan turun. Aku dan dia bermain tanpa sepengetahuan orang tua kami, untung saja waktu itu kami bisa diselamatkan di waktu yang tepat," jelas Mary.
"Dan semenjak itu kau trauma pada hujan dan laut?" tanya Matteo.
Mary mengangguk. "Ketika hujan turun, aku selalu mengingat kejadian waktu itu. Dan rasanya sangat menakutkan. Mungkin aku bisa menghindari laut, tapi aku tidak bisa menghindari hujan."
"Dan bagaimana dengan temanmu itu sekarang?"
Mary pun menghela nafas. Ekspresi sedih terlihat jelas di wajahnya.
"Semenjak kejadian itu, kami tidak pernah bertemu lagi. Bisa dibilang, hari itu adalah pertemuan terakhir kami. Aku tidak tahu dimana dia sekarang, setiap aku mencoba bertanya pada orang tuaku, pasti mereka selalu beralasan."
Matteo mengusap bahu Mary menenangkannya. "Dia akan baik-baik saja."
"Kuharap begitu," jawabnya.
"Kalau boleh tahu, siapa nama teman masa kecilmu itu?"
Mary menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu nama aslinya, namun dulu aku sering memanggilnya dengan sebutan Prince."
"Prince? Wah, nama yang keren, bisakah kau memanggilku dengan sebutan seperti itu juga?" tanya Matteo tiba-tiba. Mary mengernyit, kenapa dia jadi begini?
"Tidak boleh, Prince hanya untuk dia. Karena Prince melindungku dengan baik. Sedangkan kau saja selalu membuatku kesal." Mary menolak mentah-mentah permintaan Matteo.
"Bukankah aku tadi menemanimu saat hujan? Berarti aku sudah melindungimu," jawabnya.
Mary berdecak. "Aku tahu, tapi Prince begitu spesial. Justin saja yang sering membantu dan melindungiku tidak pernah kupanggil Prince."
"Benarkah? Wah, si Prince itu beruntung sekali ya?"
Mary mengernyitkan dahinya, kenapa Matteo jadi begitu peduli? Ia lebih suka Matteo yang menyebalkan daripada dia yang berubah perhatian.
Baru sadar jika hari sudah menjelang petang, Mary pun memutus obrolan mereka mengenai Prince. Ia harus pulang, mamanya pasti sudah khawatir. Bisa-bisanya ponselnya mati disaat ia pulang terlambat.
"Ya sudah, aku mau pulang,"
Matteo terkekeh. "Mau jalan kaki?"
Mary menepuk dahinya, dari tadi kan tidak ada bus yang lewat. Pada akhirnya, Mary pun diantar Matteo pulang dengan motornya. Lagipula, ia juga tidak punya pilihan kan?
****
"Terima kasih, tukang ojek," ucap Mary setelah turun dari motor milik Matteo.
Sementara itu Matteo berdecak. "Namaku Matteo, bukan tukang ojek atau tukang-tukang yang lain."
Mary terkekeh. "Bagaimana rasanya jika dipanggil tukang ojek? Kesal kan?" godanya.
"Tidak, biasa saja. Lagipula tukang ojek hanya diperuntukkan untuk Justin Antonio seorang. Sudahlah, aku mau pulang." Matteo nampak kesal.
"Ternyata seorang Matteo bisa kesal juga."
"Karena Matteo juga manusia," jawabnya sembari memakai helmnya.
"Masuklah, hujan akan turun lagi." Matteo menyuruh Mary untuk masuk ke dalam rumahnya. Mary mengadahkan kepalanya ke atas, namun ia tidak sengaja melihat gorden jendela Justin yang tiba-tiba tertutup.
Mary mengernyit. Bukannya Justin sedang kencan dengan Yuri? Batinnya.
"Kenapa?" tanya Matteo yang masih disana dan mengikuti arah tatapan Mary.
"Tidak apa-apa," jawabnya berbohong.
"Aku pulang," pamit Matteo, namun sebelum pergi ia memerhatikan lagi jendela kamar Justin dan menangkap basah lelaki itu yang buru-buru menutup gorden lagi.
Pengecut. Batin Matteo.
Sepeninggal Matteo, Mary tersenyum mengingat kejadian tadi karena dirinya bisa menceritakan kisah trauma masa kecilnya yang tak banyak orang tahu termasuk Justin. Ada perasaan lega setelahnya.
Ternyata Matteo tidak semenyebalkan pikirannya selama ini, lelaki itu pendengar yang baik. Setelah itu, ia pun buru-buru masuk ke dalam rumahnya karena hujan akan turun lagi.
Justin membuka gordennya kembali. Lelaki itu terlihat kesal.
"Sepertinya selama ini aku sudah salah bersikap santai dengan si pengolok itu. Cih, mencari kesempatan dalam kesempitan dengan menggunakan aku? Sangat licik," ucapnya menuduh Matteo.