"Mary, cepatlah!" Seorang gadis berseragam sekolah SMA dengan papan nama bertuliskan Mary Anderson itu tengah berdiri di depan gerbang rumah sahabatnya.
Tidak berapa lama, seorang lelaki berhelm keluar dari garasi rumah itu menaiki motor ninja berwarna hitam andalannya.
"Ayo, kita terlambat," kata lelaki itu pada Mary yang jelas-jelas sudah menunggunya dari tadi.
Mary pun mempoutkan bibirnya, lalu memukul helm lelaki itu cukup keras. Bisa-bisanya dia bersikap santai.
"Aish, makanya jangan telat tidur terus tiap malam," jawab Mary marah-marah.
Justin mengaduh kesakitan. "Mary sakit, lagipula aku telat tidur karena belajar."
"Iya, belajar jadi anak nackal, kan? Memangnya menonton video kamasut--" Justin buru-buru membungkam bibir Mary karena kalimat blak-blakannya yang tentu saja bisa membahayakan keselamatannya.
"Jangan keras-keras, jika mama tahu nanti dia marah besar," kata Justin panik.
Mary berusaha melepaskan bungkaman tangan Justin di bibirnya. "Makanya dengarkan aku. Asal kau tahu ya, akhir-akhir ini kita selalu terlambat ke sekolah."
Justin berniat akan menanggapi Mary lebih lanjut, namun intrupsi mamanya menghentikannya begitu saja.
"Justin, Mary, mengapa kalian belum juga berangkat?" teriak Lily, mama Justin menegur kedua orang itu yang tidak kunjung beranjak.
"Iya, ma. Ini mau berangkat," sahut Justin sambil mengisyaratkan kepada Mary untuk segera duduk di jok motornya.
Pada akhirnya pertengkaran kecil di antara Justin dan Mary itu harus diakhiri. Meski Mary masih begitu dongkol ingin memprotes Justin yang bangun kesiangan.
"Tante, Mary sama Justin berangkat dulu, ya?" Mary pamit kepada Lily.
"Iya, hati-hati di jalan."
Motor yang ditumpangi Justin dan Mary itupun melaju menuju ke sekolah.
"Kak Justin!!" Mereka sudah disambut oleh seorang gadis setelah tiba di parkiran sekolah. Mary turun dari motor Justin, sementara gadis itu buru-buru menggelayut mesra pada lengan lelaki itu.
"Selamat pagi, Yuri," jawab Justin menyapa gadis itu.
Gadis bernama Yuri itu makin menggelayut manja di lengan Justin, menempel seperti perangko. Mary yang melihat itu hanya memutar bola matanya jengah.
"Kak Justin, ingat janji kita hari ini, kan?"
Justin nampak mengernyit bingung dengan maksud Yuri, namun tak berapa lama ia menganggukkan kepalanya.
"Tentu saja," jawabnya. Justin pun kemudian beralih menatap Mary yang tidak bergeming di tempatnya.
"Mary, sepertinya aku nanti tidak bisa mengantarmu pulang karena--"
"Aku mengerti, kalian ada kencan kan? Aku akan naik bus saat pulang nanti," ucap Mary seakan tahu maksud Justin tanpa lelaki itu menjelaskannya lebih lanjut.
Yuri tersenyum. "Baiklah, sekarang kak Justin antar aku ke kelas, ya?"
Justin mengangguk dan beralih menatap Mary kembali. "Aku duluan ya!"
Justin dan Yuri pun meninggalkan Mary sendirian. Gadis itu menatap punggung Justin yang semakin menjauh dengan tatapan sendu. Namun kemudian ia pun menghela nafas kasar setelahnya.
****
Mary beberapa kali menggigit bibirnya disaat tidak ada bus atau transportasi lain yang melewati jalanan di depannya saat ini. Ia sudah menunggu di halte ini semenjak dua jam yang lalu.
Kepalanya mengadah ke atas dan awan hitam nampak menggantung menandakan jika hujan akan turun sebentar lagi. Mary pun mundur beberapa langkah.
"Mengapa disaat seperti ini harus hujan, sih? Aku benci hujan," ucapnya sambil mengeratkan jaket yang ia pakai karena rasa dingin mulai menusuk kulitnya.
Dan benar saja, tidak berapa lama terdengar suara disertai kilatan petir berwarna putih di sekitar halte itu. Reflek Mary pun langsung berjongkok dan menutup telinganya.
"Argh!" pekiknya kaget.
Dirinya sekarang tengah sendirian di halte itu, jika hujan benar-benar akan turun, Mary tidak tahu bagaimana nasibnya nanti.
"Justin, aku takut," katanya dengan suara lirih. Mary mulai menitikkan air matanya. Pasalnya ini kali pertama ia mengalami situasi semacam ini. Karena selama ini, setiap hujan turun selalu ada Justin di sisinya dan menenangkannya.
Namun Mary sadar jika Justin sedang bersama Yuri, dan tentu saja Mary tahu diri untuk tidak mengganggu kencan mereka. Ia harus belajar untuk tidak selalu bergantung pada Justin.
Rintik hujan mulai turun, suara petir terdengar saling menyambar. Mary meringkuk di sudut halte mencari perlindungan, kedua telinganya ia tutup menggunakan kedua tangannya rapat berusaha menghalau suara hujan. Mary tak kuasa menahan tangisannya, ia ketakutan.
Disaat seperti ini, bayangan Justin terus memenuhi kepalanya. Seakan tidak ada orang lain yang mampu menenangkannya ketika hujan datang dan menghalau rasa takutnya kecuali lelaki itu.
"Justin, aku membutuhkanmu di sisiku." Mary menyerah, mau seberapa kali ia berusaha untuk tidak menggantungkan harapannya pada lelaki itu, kenyataannya hanya Justin yang ia butuhkan saat ini.
Sementara itu di tempat lain, Justin hanya sesekali mendengarkan cerita dari Yuri. Tiba-tiba ia merasa gelisah tidak jelas. Kepalanya terus dibayangi Mary, Mary, dan Mary.
Hujan turun begitu derasnya dengan diikuti petir yang berbunyi menggelegar. Apakah gadis itu baik-baik saja? Apakah dia pulang dengan selamat? Pertanyaan demi pertanyaan memenuhi kepalanya.
"Kak, kau tidak mendengarkan aku?" tanya Yuri setelah menyadari jika Justin tidak mendengarkan ceritanya.
Justin kembali sadar dari lamunannya. "Tidak, aku mendengarkanmu kok," jawabnya berbohong.
Yuri menghela nafas. "Sebenarnya apa yang kau pikirkan, hmm?"
"Aku hanya mengkhawatirkan motorku yang kehujanan di bawah."
Yeri mendengus. "Khawatir sama motor, atau Mary?" tebaknya tepat sasaran.
"Yuri, jangan mulai," ucap Justin menegur gadis itu.
"Aku begini karena kak Justin terus bersikap aneh. Padahal ini kencan pertama kita, kenapa kak Justin terlihat tidak menikmatinya?"
"Maafkan aku, oke? Sekarang minum, dan tenangkan dirimu." Justin menenangkan Yuri yang memarahinya perihal Mary.
Tidak berapa lama, ponselnya pun berbunyi. Nama mama Mary tertera disana.
"Siapa lagi--" Justin mengisyaratkan Yuri untuk tidak bersuara ketika ia sedang mengangkat telepon. Gadis itu pun mengalah.
"Halo, ada apa tante Anne?"
****
Hujan turun makin deras, angin berhembus kencang menggelitik kulitnya. Petir sudah tidak lagi terdengar, namun Mary masih meringkuk dan menutup kedua telinganya rapat. Perasaan takut masih menguasai dirinya sepenuhnya.
Harapannya pupus, Justin tidak menyusulnya ketika ia sedang membutuhkan lelaki itu. Sepertinya Justin sudah terlalu asik dengan dunianya dan tanpanya.
Dan tanpa disadarinya, seorang lelaki tengah berdiri menjulang di depannya. Lelaki itu menatap Mary sendu, tangannya perlahan mengulur.
"Jangan takut, ada aku disini," katanya.
Mary terdiam. Ia meyakinkan dirinya sendiri jika suara itu bukan hanya sekedar bualan imajinasinya.
Perlahan tapi pasti, Mary mulai mengangkat kepalanya untuk memastikan jika ada orang lain disini.
Tatapannya bertemu dengan seorang lelaki yang berdiri sembari mengulurkan tangannya ke arahnya. Mary mengedipkan matanya beberapa kali, lelaki itu menghela nafas.
"Jangan takut, ada aku disini," ucapnya mengulang kata-katanya tadi.
Mary langsung memeluk tubuh lelaki itu dengan erat. "Aku tidak tahu bagaimana hidupku jika tak ada dirimu, Matteo."
Lelaki bernama Matteo itu tersenyum. Tangannya terangkat untuk membelai pelan punggung Mary menenangkannya.
Sementara itu, tidak jauh dari halte itu berada, terlihat Justin yang hanya mematung di tempatnya dikala menyaksikan adegan itu. Tubuhnya basah kuyup setelah ia menerobos hujan demi menyusul Mary yang belum pulang setelah tante Anne mengabarinya. Dengan perasaan yang campur aduk, Justin terpaksa memutar balik motornya untuk meninggalkan tempat itu dengan Mary dan Matteo yang masih berpelukan.
Justin selalu disana setiap kali Mary membutuhkannya, namun kali ini ia terlambat. Ada yang sakit, tapi tidak berdarah. Ya, hati Justin.