Putri Cerllynda langsung menutup pintu kamarnya dengan kencang, menguncinya dengan segera. Dia melemparkan tubuhnya ke atas kasur, tangisnya kembali pecah seketika. Dia terisak sendirian di sana. Dia tidak dapat menerima semua ini. Sesekali dia menyeka air matanya dengan kasar. Bangkit dari tempat tidurnya dan duduk di sisi kasurnya, mengambil pas foto sang bunda di atas nakas.
Dia menatap wajah sang bunda dengan penuh kerinduan. Mungkin jika sang bunda masih ada, dia tidak akan seperti ini. Sang bunda pasti akan mendukungnya saat ini dan memeluknya kala dia menangis. Dia merindukan semua itu, balaiannya, pelukannya, suaranya yang lembut.
"Bunda!!" teriak Putri Cerllynda meluapkan amarahnya.
Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan setelah ini, ayahnya pasti akan menjaganya dengan ketat agar tidak keluar dari kerajaan. Pasrah, tidak. Dia bukanlah gadis yang mudah menyerah begitu saja.
"Bunda, aku sangat merindukanmu. Aku ingin sekali saja bertemu Bunda, memeluk Bunda dan menangis dipangkuan Bunda. Ayah sudah berubah Bun, ayah selalu memaksaku untuk melakukan apa yang diinginkanya. Bahkan ayah sudah berani menamparku, lihatlah! Pipiku yang selalu dia belai ini sepertinya memerah."
Dia kembali menyeka air matanya dan membelai wajah sang bunda. Dia tersenyum tipis melihat sang bunda tersenyum di foto itu.
"Aku yakin Bunda ada di sini, tapi kenapa aku tidak dapat melihatmu?" ucapnya lagi teringat mimpinya semalaman bertemu sang bunda, dia ingin kembali bertemu denganya meski hanya sekedar mimpi.
Tiba-tiba perhatiannya teralihkan karena melihat cahaya di sampingnya, kemudian cahaya itu berubah menjadi gulungan kertas. Dia yakin sekali jika itu adalah surat dari Gressylia. Dengan hati yang ragu, dia membuka surat tersebut.
"Salam Tuan Putri Cerllynda.
Maafkan aku yang tidak dapat memenuhi keinginanmu. Hapuslah air matamu, jangan lagi menangis dan tersenyumlah. Senyumanmu itu terlihat sangat indah dan menenangkan. Aku sangat ingin berbicara langsung denganmu, tapi sayangnya aku tidak mampu.
Tuan Putri, aku harap kau dapat terus bahagia meski tidak denganku. Aku sudah tidak dapat melakukan apa pun untukmu. Aku sudah kalah. Sebenarnya aku merasa bisa meminangmu dengan cara lain yang kau tidak ketahui selama ini bahkan seluruh orang di Carvandalle. Sayangnya, aku tidak dapat melakukan itu.
Aku hanya dapat berharap jika kau akan terus bahagia. Percayalah aku ada untukmu, kapan pun kau membutuhkanku aku ada untukmu. Tapi, aku tidak akan pernah bisa muncul di hadapanmu. Tersenyumlah untukku Tuan Putri, hapuslah air matamu itu untukku. Air mata itu terlalu berharga untuk menangisi kesedihan, aku mencintaimu Tuan Putri. Tetaplah bahagia.
Salamku Gressylia."
Putri Cerllynda tersenyum tipis, lebih tepatnya dia memaksakan bibirnya untuk tersenyum saat membaca surat itu, terlebih lagi Gressylia memintanya untuk tersenyum.
"Aku kehilangan kata-kata untukmu Gress, aku tidak tahu lagi harus mengatakan apa padamu. Kata-kataku sudah habis," lirih Putri Cerllynda yang meremat kertas tersebut.
"Apakah ini akhir dari kisah cintaku?" tanyanya pada diri sendiri. Dia tidak tahu, dia sama sekali tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Dia sudah kehilangan kata-kata untuk saat ini. Rasanya dia hanya ingin diam tanpa melakukan apa pun.
"Tok, tok, tok."
Suara pintu yang diketuk itu terdengar, menyadarkannya dari lamunannya sedari tadi. Dia hanya diam tanpa berniat menyahuti siapa dia luar kamarnya itu.
"Ampun Tuan Putri, Baginda Raja menunggu Tuan Putri Untuk makan siang!"
Dia mengenal suara itu, pelayan pribadinya, Mina. Dia hanya diam, terlalu malas untuk melakukan apa pun saat ini.
"Katakan padanya jika aku tidak lapar!" titah Putri Cerllynda memberi jawaban setelah beberapa saat dia terdiam tanpa sedikit pun beranjak dari tempat tidurnya.
"Baik Tuan Putri, permisi!"
Sudah tidak terdengar apa pun lagi di luar sana. Putri Cerllynda menaruh surat dari Gressylia itu ke dalam kotak yang isinya surat dari Gressylia semua. Juga menaruh foto ibunya itu di atas nakas seperti semula.
Dia merebahkan tubuhnya di atas kasur dengan posisi terlentang dan menjadikan kedua tangannya sebagai bantalan. Tatapannya lurus menatap atap kamarnya yang berwarna putih bersih itu. Dia tersenyum dengan sendirinya saat dia membayangkan pertama kali dia bertemu Gressylia, bermain dengan Rana dan Rina.
Hingga sampai akhirnya air matanya itu kembali menetes saat dia melihat wajah Rana yang menentang Raja Carlin beberapa saat lalu karena kecurangan yang dilakukan Pangeran Cardwell itu. Wajahnya menampilkan kemarahan, tapi apalah daya anak kecil sepertinya itu. Dia tidak dapat melakukan apa pun untuk kakaknya.
"Maafkaan aku Rana, Rina," lirih Putri Cerllynda, menyaka air matanya.
Dia menarik satu tangannya menutupi wajahnya. Dia memejamkan matanya di balik tanganya itu, untuk menengkan perasaannya ini.
***
Sedangkan di dalam pedesaan sana. Tak jauh dari sebuah gubuk yang reyot itu duduk seorang pemuda seorang diri di bawah pohon rindang di sisi danau. Tatapannya kosong menatap air danau yang bergerak dengan perlahan dan tenang.
Sedangkan tidak jauh darinya juga kedua gadis kecil yang tengah sibuk menangkap ikan untuk makan siangnya. Sesekali mereka berhenti dan terdiam melihat pemuda itu yang hanya diam tanpa melakukan apa pun.
"Aku benar-bear tidak terima semua ini menimpa Kak Gress," ucap Rana masih dongkol dengan Raja Carlin yang baginya itu sangat menyebalkan dan angkuh.
"Benar Rana. Aku pun sedikit membenci Tuan Putri Cerllynda. Dialah yang telah membuat Kak Gress demikian. Sebelumnya Kak Gress baik-baik saja. Dia selalu tersenyum senang, dia sangat bahagia meski hidup kita seperti ini. Tapi, setelah semua yang terjadi dia sering melamun sendirian. Aku tidak dapat terima ini," timpal Rina yang mengutarakan isi hatinya.
"Ah sudahlah, setelah ini kita harus menghibur Kak Gress agar dapat tersenyum lagi seperti dulu. Ayo ambil ikan yang banyak!" ucap Rana mengakhiri percakapan mereka untuk kembali menangkap ikan. Apalagi perutnya itu sudah bersuara meminta asupan.
"Biar aku nyalakan api oke!" ucap Rina yang dibalas anggukan okeh Rana.
Dia beranjak menjauh dari air danau. Mengambil beberapa kayu bakar yang ada di samping rumahnya. Dia mulai menyalakan api untuk membakar ikan tangkapnnya. Sedangkan Rana mengakhiri menangkap ikan, dia sudah dapat lima ekor ikan yang cukup. Saat ini gadia kecil itu sibuk membersihkan ikan-ikan itu.
"Ini! Ayo bakar!" ucap Rana memberikan sebagian ikan tersebut pada Rana.
Keduanya sibuk membakar ikan-ikan itu hingga masak. Keduanya berlarian mendekati Gressylia yang masih saja siam tanpa bergerak sama sekali.
"Kak Gress! Ikannya sudah masak! Ayo kita makan!" seru Rana dan Rina bersamaan. Tapi, yang dipanggil itu tetap diam seakan tidak mendengar suara mereka.
Rana dan Rina saling bertukar pandang. Mereka merasa sangat iba melihat kakaknya demikian. Rana perlahan menggerakkan tangan mungilnya menyentuh pundak Gressylia.
"Kak Gress," panggil Rana dengan pelan. Gressylia akhirnya menoleh dan tersenyum kepada kedua adinya itu.
"Ada apa Rana, Rina?" tanya Gressylia kepada kedua adiknya yang menatapnya itu dengan wajah sedih.
"Kau terus melamun. Kita sudah membakar ikan, ikannya pasti lezat. Hari ini kita mendapatkan ikan-ikan yang besar. Ayo Kak!" ucap Rina sambil menarik tubuh Gressylia untuk duduk di tikar. Di sana sudah disiapkan makanan.