***
Satu minggu kemudian.
Derap langkah kaki terdengar jelas dari luar ruang perawatan Evan, membuat pemuda itu tidak bisa menikmati ketenangannya. Alhasil, Evan terbangun dari tidurnya dan segera melihat ke arah pintu keluar.
Pintu terbuka dan beberapa orang masuk dengan memaksa. Pasukan Tulip Merah berusaha keras mendorong mereka, tetapi karena tubuh mereka yang kekar dan mayoritas adalah seorang pria. Wanita-wanita itu terpaksa membiarkan mereka masuk dengan seenaknya.
Salah seorang pria berpakaian militer hitam dengan jubah berwarna biru berjalan menghampiri kasur Evan, mengambil kartu nama yang terpasang dan membaca nama pasien tersebut.
"Erol," ucap pria tersebut, tersenyum simpul.
Evan membuka selimut yang menutupi setengah tubuhnya dan berjalan dengan tegap menghampiri pria tersebut, "Itu namaku. Apa kau perlu sesuatu?"
Keduanya kini beradu pandang satu sama lain, pria di depan Evan meletakan kartu nama pasien di tempatnya kembali. Terlihat tangan kanannya terangkat dan terayun, berjalan anak buahnya yang langsung memberikan catatan perawatan pasien Erol.
"Tertulis di sini, kau mengalami luka tusukan sedalam 8cm dan diameter lubang mencapai 10cm. Dari mana kau mendapatkan luka tersebut?" tanya pria tadi, menginterogasi Evan.
"Dari seorang petani gila yang menancapkan garpu rumputnya padaku karena ia salah mengira kalau aku hendak mencuri panennya," jelas Erol, mengada-ada.
Wanita perawat di Tulip Merah tertunduk cepat seraya menutup mulutnya dengan tangan mereka. Lelucon yang dikatakan Erol sungguh lucu bagi mereka karena berbeda dengan fakta yang terjadi.
"Apa aku bisa memercayai kata-katamu?" tanya mereka, Evan mengangguk pelan.
"Jika rakyat yang teraniaya tidak mendapat kepercayaan dari kalian, maka untuk apa kami membayar pajak."
Pria itu terdiam seraya tetap memegang kertas diagnosa dengan kedua tangannya, kedua mata mereka saling beradu tatap dengan ekspresi yang sama kuat dan penuh pendirian. Akhirnya, pria itu mau memercayai Erol dan mengembalikan diagnosa tersebut kepada Tulip Merah.
"Sebenarnya kalian sedang mencari siapa?" tanya seorang anggota Tulip Merah, tetapi pertanyaan itu diabaikan dengan kasar oleh pria tersebut.
Mereka pergi tanpa berpamitan, tanpa mengucapkan do'a kepada Evan dan tanpa berterima kasih kepada Tulip Merah. Para anggota Tulip Merah merasa kesal dan geram dengan sikap Pasukan Pedang Raja yang selalu sewenang-wenang.
"Sombong sekali mereka! Jika salah satu dari mereka terluka, aku tidak akan merawat mereka sama sekali," keluh salah satu anggota Tulip Merah, hal senada juga dikatakan oleh anggota lainnya.
"Hanya karena pemimpin kami tidak menyukai perang, bukan berarti mereka melihat sebelah mata terhadap kita."
Pemuda itu mendengar semua keluh kesah yang dikatakan oleh beberapa anggota Tulip Merah. Ia mengambil peralatan miliknya dan bersiap untuk pergi dari tempat tersebut.
"Apa kau akan pergi?" tanya salah satu anggota, Evan mengangguk seraya tersenyum lebar.
"Aku tidak boleh lama-lama di sini, seseorang sedang menungguku," ungkap Evan, ia memasang dan mengikat pedang miliknya di pinggang sebelah kanan.
Salah seorang anggota Tulip Merah datang seraya membawa jubah hitam dengan tuduh. Ia memberikan benda itu kepada Evan karena jubah itu milik pemuda tersebut, ia sudah merawat dan mencucinya selama Evan dirawat.
"Terima kasih," ucap Evan.
Ia mengenakan jubahnya kembali dan berjalan bersama anggota Tulip Merah lainnya menuju pintu depan markas pasukan. Evan merasa tubuhnya cukup bugar untuk melanjutkan perjalanannya, mereka pun merasa kalau pemuda tersebut sudah jauh lebih baik dari sebelumnya.
Atensi mereka teralihkan, seorang pria datang dengan menaiki kuda dengan berpakaian kemeja dan celana panjang yang memiliki warna selaras, ungu.
Anggota Tulip Merah menyebutnya sebagai Prajurit Pengintai, tak hanya bertugas sebagai mata-mata, tetapi ia juga bisa merangkap sebagai pengantar pesan kepada pasukan atau orang tertentu yang jabatannya penting.
Orang itu tidak mau turun dari atas kuda, tangan kanannya terjulur memegang surat untuk diterima oleh anggota pasukan yang tersisa. Seorang wanita menerimanya dan membaca dalam hati isi pesan tersebut.
"Tidak mungkin," ucap wanita tersebut, terkejut.
"Ada apa?" tanya anggota lain, penasaran.
"Korban luka berjatuhan melampaui dugaan, mereka membutuhkan sisa pasukan yang berada di markas untuk membantu penyembuhan," ungkap wanita tersebut, ia segera menyobekkan surat tersebut dan membuangnya ke tong sampah.
Evan mendengar perkataan mereka, sungguh sangat miris dan menyesakkan harus berperang untuk sesuatu yang tidak pasti. Merekalah yang terpaksa menjadi korban atas keegoisan dan keserakahan para pejabat dan bangsawan.
"Apa kau akan ikut dengan kami, Erol?" tanya salah satu anggota pasukan, Evan menggelengkan kepala, ia sama sekali tidak tertarik pada peperangan ini.
Mereka sudah bersiap. Dengan menunggangi kuda, satu persatu Pasukan Tulip Merah yang tersisa berangkat dengan kecepatan tinggi mengejar waktu, karena bagi mereka waktu adalah nyawa, bukan uang.
Evan mulai berjalan meninggalkan markas Tulip Merah menuju salah satu toko senjata. Ia memerlukan sesuatu untuk mengingkatkan kemampuan serangannya setelah kesulitan saat melawan Ponrak.
Ia melihat sebuah toko senjata di samping kanan jalan utama, terlihat dari balik kaca toko, berbagai senjata terpampang menghiasi penampilan dari luar, mulai dari gada, tombak, hingga senjata mirip kunai dan shuriken.
Ketika Evan membukakan pintu toko, ia sudah disambut dengan pertikaian antara seorang pelanggan dengan penjaga toko.
"Ah, sebaiknya aku pergi saja," gumam Evan, tetapi ia gagal kabur karena penjaga toko memanggil dan menyambutnya hangat.
Evan menghela napas seraya tersenyum tipis. Ia berjalan masuk dan berdiri tepat di samping seorang pemuda yang terlihat berpakaian sederhana layaknya seorang petualang. Tampak pemuda itu merasa kesal karena pedang yang hendak ia beli memiliki harga terlampau mahal.
"Apa ada yang kau butuhkan, Tuan Muda?" tanya penjaga toko tersebut.
Evan mengeluarkan satu keping koin emas kepadanya, ia mendapatkan koin-koin itu dari Aletha yang berterima kasih karena Evan sudah menjaganya, meskipun ia merasa tidak melakukan apa pun.
"Berikat aku senjata yang di depan itu, senjata kecil yang cocok untuk menyerang dengan kecepatan."
Penjaga tersebut melirik ke arah depan toko dan tersenyum lebar mendapati keinginan Evan. Ia segera menyiapkannya dan masuk ke dalam toko.
Seraya menunggu senjatanya jadi, ia terus memerhatikan pemuda yang ada di sampingnya, terlihat ia seperti sangat menginginkan pedang tersebut.
"Aku mendengar pertengkaranmu tadi. Siapa namamu?" tanya Evan, penasaran.
Awalnya pemuda itu tak menjawab dan hanya terdiam seraya memeluk pedang yang sama sekali belum ia bayar. Evan tidak menyerah dan kembali bertanya tentang identitas pemuda tersebut, akhirnya pemuda itu mau menjawab meski dengan pelan.
"Hiro," ucap anak laki-laki tersebut.
"Hiro? Nama yang bagus. Kau tinggal dengan siapa?" tanya Evan, kembali penasaran.
"Aku anak yatim piatu. Sehari-hari pergi mengemis dengan harapan bisa beli pedang untuk berpetualang."
Evan mengangguk pelan, ia mengetahui impian Hiro yang tak lain ingin menjadi seorang petualang. Evan kembali bertanya hal-hal yang berkaitan dengan Hiro, mulai dari kesukaan hingga teman-temannya.
Ia bercerita kalau dirinya ingin menjadi petualang dan suatu saat bisa diangkat oleh kerajaan sebagai Pahlawan. Ia dijauhi teman-temannya karena ukuran tubuh dan penampilannya yang lusu, sehingga ia sama sekali tidak memiliki teman satu pun.
Penjaga toko itu kembali datang dan memberikan tujuh buah shuriken dengan bentuk yang dimodifikasi.
"Aku melancipkan ujungnya agar serangannya bisa akurat dan menyakitkan," ucap penjaga toko, Evan setuju tanpa membantah.
Evan membawa senjata kecil itu bersamanya dan berjalan menuju pintu keluar. Ketika hendak membuka pintu, ia kembali mendengar pertengkaran keduanya yang tampak belum selesai.
"Kau bajingan busuk, pergilah sana!" erang penjaga toko.
"Aku tidak akan menjual pedang itu padamu!" sambung penjaga toko, menghardik anak laki-laki tak berdaya tersebut.
Evan kesal dan menarik senjata kecil yang baru ia beli, melemparnya ke arah tengah-tengah dari perbincangan keduanya hingga membuat mereka terdiam membeku karena kaget.
"A-Apa yang kau lakukan?" tanya penjaga toko, ketakutan.
"Aku akan mencoba senjatamu dan aku menyukainya."
"Hei, Hiro. Bisa kau bawa senjata itu padaku?" tanya Evan, Hiro mengangguk dan memberikan shuriken itu padanya.
Evan menerima senjata kecilnya dengan senyuman, ia juga melemparkan satu koin emas lain kepada penjaga toko sebagai harga untuk membeli pedang yang Hiro inginkan.
"Apa kau yakin? Harga pedang itu hanya tiga koin perak," ucap penjaga toko, terkejut.
"Simpan kembaliannya untuk anak laki-laki ini jika sewaktu-waktu membutuhkan pedang lainny atau zirah pelindung."
Evan keluar dari dalam toko dan langkahnya tiba-tiba terhenti karena Hiro menghalangi jalan pemuda tersebut. Hal itu menjadi tontonan bagi warga yang melintas karena mereka kenal betul siapa Hiro itu.
"Kenapa kau membelikanku pedang ini?" tanya Hiro.
"Karena kau terlihat sangat menginginkannya."
"Apa yang harus kulakukan untuk membayar balas budiku padamu?" tanya Hiro, tegas.
Evan tertawa lantang seraya berjongkok di depan Hiro, kini keduanya memiliki tinggi badan yang sepantar. Seraya tersenyum, ia mengusap rambut Hiro dan memotivasi anak laki-laki itu untuk menjadi petualang hebat dan mewujudkan mimpinya.
"Jadilah petualang yang kuat dan pahlawan yang hebat untuk melindungi orang-orang."
Hiro tersentuh dengan ucapan Evan, anak laki-laki itu menangis sejadi-jadinya dan menumpahkan kebahagiaannya di pundak Evan.
Evan senang ia bisa membantu memberi jalan anak laki-laki itu menggapai mimpinya, tapi ia tidak senang dengan aroma tubuh yang keluar dari badan Hiro.
"Dan pahlawan yang hebat harus sering mandi."