"Rupanya kau di sana, Hiro."
Evan mendengar ucapan tersebut dari dalam gang yang sempit. Muncul tiga orang bertubuh besar dengan senyum sinis seraya menatap Hiro tajam. Salah satu dari mereka berjalan menghampiri Hiro dan langsung merebut pedang pemberian dari Evan tepat di depan mata pemuda tersebut.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Evan, tegas.
Si perebut pedang berhenti melangkah, memutarkan kepalanya berbalik memandang kedua mata Evan, angkuh. Pemuda tersebut tak merasa terintimidasi, tatapan mata Evan jauh lebih menakutkan daripadanya.
"Apa kau keberatan? Apa hubunganmu dengannya?" tanya pria bertubuh gendut seraya menunjuk Hiro, kasar.
"Itu pedang miliknya. Kau tidak boleh merebut sesuatu dari orang lain tanpa permisi, itu pencurian."
"Dia sudah terbiasa diperlakukan seperti ini. Kau tidak perlu mengkhawatirkanya," balas si pemegang pedang, berjalan tak acuh meninggalkan Evan dengan melambaikan tangan.
"Sebaiknya tinggalkan dia. Kau hanya akan dapat kesialan ketika bersama anak haram itu, Haha!" tawa melengking terdengar dari dalam gang, mendengar cacian kasar dari mereka membuat Hiro meneteskan air mata.
Ia memang sudah terbiasa diperlakukan kasar oleh mereka. Namun, karena di hadapannya ada Evan yang sudah membantunya membeli pedang untuknya membuat rasa sedih yang selama ini terpendam pecah.
Anak laki-laki itu berlari meninggalkan Evan dengan deraian air mata yang mengalir dari kedua matanya. Evan melihat anak itu seperti adiknya sendiri, ia tidak tega jika impian agungnya terhambat akibat orang sialan tersebut.
Evan mengeluarkan pedang miliknya dan berjalan masuk ke gang kecil tersebut. Jalan itu berada di antara celah-celah gedung tinggi hingga sinar matahari sulit masuk, akibatnya jalan gang terlihat becek dan lembab dipenuh air yang tergenang.
Ketika Evan masuk, seorang pria sudah membekap mulutnya dan membawa pemuda tersebut masuk lebih dalam. Evan kurang waspada akhirnya dirinya lah yang terluka dulu.
"Anak itu tidak mampu membeli pedang sebagus ini. Apa kau yang memberikannya?" tanya salah satu pria gendut, menunjuk pedang yang jauh lebih kecil dari tumpukan lemak yang ada di perutnya.
"Bagaimana? Apa kau menyukai pedang itu? Ukurannya sama kecilnya dengan milikmu," cela Evan, tersenyum menyeringai.
"Bajingan! Apa yang kau maksud adalah kelaminku?" tanya pria tadi dengan gigi bergemeretak kesal.
"Pintar. Biarkan aku memotong tubuh kalian satu persatu untuk membayar tangisan anak laki-laki itu."
Mereka semua tertawa, ketiganya yakin dengan persepsi logika di mana tiga orang akan mudah menang melawan satu orang. Namun, ini adalah dunia sihir, logika tidak banyak berlaku di sini.
"Bagaimana kau akan menang melawann kami? Dasar pemimpi!" erang seorang pria, terus memegangi perutnya yang mulai sakit karena tertawa terlalu keras.
Evan menancapkan pedang miliknya di atas tanah, memejamkan mata seraya merapalkan mantra penguatan di pedang tersebut.
"Amplifi Elementum!"
Pedang Evan mulai bercahaya terang berwarna biru tua, ketiga orang musuh Evan melihatnya dengan hati setengah ketakutan.
"Bersiaplah," ucap Evan, tajam.
"Niel, segera lawan dia—"
SLASH!
Tangan kiri pemimpin kelompok tersebut terpotong dengan mudah oleh Evan. Gerakannya sangat cepat hingga mata mereka tak mampu mengimbanginya. Kedua orang tersebut berteriak melihat potongan tangan temannya tergeletak di tanah.
Mereka berlarian melarikan diri dengan tangisan yang keluar justru lebih banyak dari tangisan Hiro. Namun, Evan tidak akan melepaskan mereka dengan mudah. Inilah saat yang tepat bagi Evan untuk mencoba senjata mungil favoritnya.
"Sol Ignis!" Evan membisikkan mantra api pada shuriken yang ia pegang, seketika benda itu mulai diselimuti sihir api yang sangat pekat. Dengan cepat, Evan melempar benda itu ke arah kedua orang tersebut.
Satu shuriken terkena bahu dan satunya lagi terkena pinggang. Namun, efek yang diberikan cukup fatal hingga membuat tubuh berlubang dan gosong. Mereka tergeletak tak berdaya dengan mulut yang dipenuhi darah merah, tak lama dari itu, keduanya tewas.
Pemimpin mereka, si pria bertubuh besar yang tak tahu diri terlihat tengah mencoba bangkit dan kabur dari pandangan Evan. Namun, tubuhnya yang besar membuat langkahnya juga ikut pelan.
Mudah bagi Evan untuk mengejar dan menangkapnya. Ia akan diberi ampunan oleh Evan jika ia setuju melakukan sesuatu. Pria bertubuh besar itu mengangguk pasrah dengan wajah pucat.
"Berikan semua hasil rampasanmu padaku, maka aku akan membiarkanmu hidup."
***
Evan keluar dari dalam gang kecil dengan membawa satu kantung berisikan tujuh buah koin emas dan tiga puluh tiga koin perak. Tak hanya itu, ia juga membawa beberapa peralatan yang akan membantu Hiro memulai petualangannya.
Pemuda itu tak mampu menemukan keberadaan anak tersebut. Evan segera meletakkan barang-barangnya dan memulai melakukan sihir deteksi. Kedua tangannya menyatu dan seketika terbentang lebar merasakan getaran khas yang dimiliki oleh Hiro.
"Trace Anima!"
Segera pergerakkan semua orang di peta gelombang radio terhenti, gelombang itu terus bergerak mencari anak laki-laki bernama Hiro di sekitar tempat Evan melakukan deteksi. Namun, ia tidak menemukannya.
Evan memperluas deteksinya dan akhirnya ia menemukan anak laki-laki tersebut tengah terduduk kosong di bawah jembatan ibukota. Evan juga melihat peralatan seperti kasur dan pakaian yang menumpuk, ia menduga kalau itu adalah tempat Hiro tinggal.
Evan menghentikan deteksinya dan segera membawa peralatan dan koin rampasan mereka kepada Hiro. Jaraknya cukup jauh tapi tidak mengurungkan niat Evan untuk membantu Hiro menggapai mimpinya.
Dari atas jembatan, Evan melompat ke bawah hingga mengejutkan Hiro yang tengah termenung. Pemuda itu memberikan uang koin dan peralatan yang ia bawa untuk anak laki-laki tersebut, membuat dirinya terkejut dan tak bisa berkata apa-apa.
"Apa ini?" tanya Hiro, anak laki-laki itu membuka kantung koin dan melihat banyak koin berada di dalamnya.
"Apa kau mencuri?" tanya Hiro kembali, Evan tertawa melihat respon darinya.
"Tidak ada yang mencuri. Anggap saja tabungan milikmu karena sudah bekerja keras selama ini," jelas Evan.
Hiro tak kembali bertanya. Ia juga menemukan jubah, pakaian dan celana, hingga sepatu baru. Semua yang ia dapatkan seperti pernah ia lihat sebelumnya, tetapi Hiro tidak peduli akan itu.
Penampilannya berbeda, terlihat seperti dia benar-benar siap untuk memulai petualangan dan menjadi kuat agar bisa dinobatkan sebagai pahlawan kerajaan.
Evan senang dan puas melihat perkembangan Hiro, rasanya ia ingin membantu anak laki-laki itu untuk menjadi pahlawan dunia ini.
"Aku akan membantumu memulai petualanganmu, bagaimana?" tanya Evan.
Hiro senang bukan kepalang, melompat-lompat girang karena untuk pertama kalinya ia memiliki seorang guru. Ia berniat mengajak anak lain yang senasib dengan Hiro untuk ikut berpetualang bersama, Evan mengangguk sama sekali tidak keberatan.
Tentu ia akan mengajarkan hal-hal dasar yang diberikan Jophiel padanya saat pertama kali. Ia tidak akan mengajarkan sihir ataupun kemampuan para malaikat agar mereka tidak berubah menjadi ancaman di kemudian hari.
"Mungkin ini baik sembari menunggu kedatangan mereka," gumam Evan, kembali naik ke atas trotoar dan mengajak Hiro untuk berjalan bersamanya.
Ketika keduanya tengah berjalan menuju salah satu penginapan untuk beristirahat. Tiba-tiba rombongan kereta kencana Pangeran Leon, tampak pangeran itu kelelahan hingga tidak keluar dari dalam jendela kereta, mengabaikan seluruh rakyat yang menunggu untuk bertemu secara langsung.
Evan menarik tudung hitamnya, menutupi wajahnya dari para penjaga istana agar mereka tidak mengetahui. Akhirnya, rombongan pangeran itu pergi dan Evan sama sekali tidak dicurigai.
"Kudengar perang melawan iblis memakan banyak korban jiwa. Pasangan Pendeta Suci dan Ksatria Agung tampaknya tidak mampu mengalahkan iblis-iblis itu."
Evan sekilas mendengar perbicaraan orang-orang di hadapannya, ia mendengar Pendeta Suci yang tak lain adalah Sophie. Namun, hal lain mengejutkan Evan. Wanita itu terdengar sudah memiliki pasangan, yaitu Ksatria Agung.
"Pendeta Suci? Bukankah dia seharusnya tidak menikah atau berhubungan dengan pria lain?" gumam Evan, bertanya-tanya.
Hiro mendengarnya dan memberitahu hal yang tak diketahui oleh Evan.
"Pendeta Suci sudah menanggalkan gelarnya sejak lama. Kini hanyalah Sophie Schwarzid yang berpasangan dengan Ksatria Agung, Maximillian ke-7." Kedua mata Hiro menatap langit seolah-olah tengah berpikir keras untuk pertanyaan Evan.
"Maximilian? Dia nama dari Ksatria Agung?" tanya Evan, kaget.
"Iya. Konon katanya dia mampu mengalahkan tiga malaikat agung dengan kekuatannya."
Evan dilanda kegelisahan, ia masih belum percaya dengan kebenaran yang diucapkan Hiro dan orang-orang di depannya. Sophie tidak mungkin menikah dengan pria lain selain Evan, jika pun begitu, maka hati Evan akan benar-benar tersakiti.
"Malam sudah larut, sebaiknya kita bergegas."