***
Erol tersadar setelah satu hari tak sadarkan diri, ia melihat dirinya berada di ruangan asing mirip seperti ruang perawatan rumah sakit. Paha kanannya masih terasa sakit dan ngilu, ia melihat lukanya sudah diperban dan diobati dengan baik.
"Siapa yang melakukannya padaku?" gumam Erol bertanya-tanya.
Manik matanya memandang peralatan yang berada di ruang perawatannya, terlihat cukup tertata dan dipenuhi oleh barang-barang yang terbuat dari keramik dan tanah liat.
Tiba-tiba suara derit pintu terdengar, seseorang masuk dengan membawa ember berisi air hangat dengan lap kering seukuran telapak tangan.
Langkahnya terhenti ketika melihat Erol sudah sadarkan diri dan kini tengah memandang dirinya dengan seksama. Pemuda itu mengangkat tangannya setinggi bahu dan melambai memberi salam.
"Hai," salam Erol, singkat.
"Kapan kau tersadar?" tanya wanita berjubah merah, terlihat malu-malu.
"Baru saja, memangnya ada apa?" tanya Erol, kebingungan.
Wanita itu menghela napas lega, setidaknya Erol tidak mengetahui kalau semalam sejak ia mengelap tubuhnya, wanita itu banyak mengagumi bentuk tubuh Erol yang bisa dibilang sempurna dari kebanyakan pria di dunia manusia.
"Tidak ada. Aku datang untuk membasuh tubuhmu," jelas wanita tersebut.
Erol menolak dengan halus seraya memegang pakaian yang ia kenakan, "T-Tidak perlu, aku bisa melakukannya sendiri."
Erol meminta ember berisi air hangat tersebut dan mulai membasuh tubuhnya setelah wanita itu pergi. Tak satu pun bagian tubuhnya yang tak terbasuh, termasuk daerah luka yang masih tertutup perban.
Dengan masih bertelanjang dada, pintu ruang perawatan Erol terbuka dan terpampang jelas wajah wanita lain yang tak ia kenal.
Ia mengenakan pakaian militer berwarna hitam dengan jubah merah yang terikat di antara celah pundaknya, bulu-bulu halus berwarna putih menghiasi kerah jubah wanita tersebut, berbeda dengan milik wanita di sampingnya.
"Ucapan Loire memang benar," ujar wanita tersebut, matanya tak bisa lepas dari susunan otot yang membentuk perut, dada, dan bahu Erol.
"Siapa kalian?" tanya Erol, mengenakkan kembali pakaiannya.
"Kami pasukan khusus milik kerajaan, kami dikenal dengan nama Pasukan Tulip Merah," ungkap Evelyn, pemimpin pasukan.
"Pasukan khusus kerajaan? Kenapa aku baru mendengarnya sekarang?" tanya Erol.
Evelyn menjelaskan dengan detail pembentukan tiga fraksi kekuatan darat, mulai dari Pasukan Tulip Merah, Penyihir Arkana Hijau, hingga Pasukan Pedang Raja. Agak rumit untuk dipahami oleh Erol, tetapi ia mengerti garis besar pembicaraan yang Evelyn katakan.
"Dan setiap pemimpin pasukan fraksi mengenakkan jubah dengan ciri khusus, yaitu bulu halus yang berada di kerah jubah mereka," ungkap Evelyn, menunjuk jubah miliknya.
Mendengar penjelasan Evelyn mengingatkan dirinya pada Ponrak. Wanita itu pasti tengah tergeletak tak sadarkan diri akibat mendengarkan sihir suara khas milik Jophiel, Symphony of God.
Erol berharap Pasukan Evelyn bisa menemukannya dan membawanya untuk dirawat.
"Berhubung kau sudah sadarkan diri, ada sesuatu yang ingin kubahas denganmu."
Evelyn menyeret kursi besi di dekat nakas dan duduk di atasnya. Matanya melirik ajudan wanita di pinggirnya dan ia mengangguk mengerti. Segera orang lain selain Evelyn dan Erol diperintahkan keluar dari ruangan, hal itu tentu mengejutkan Erol.
"Kenapa mereka harus keluar?" tanya Erol.
"Karena pembahasan kita cukup sensitif, kau tahu itu, Evan," jelas Evelyn.
Kedua mata Erol membulat penuh, bibirnya tersungging senyum mendengar nama yang tak asing baginya.
"Evan? Kau mungkin salah orang, aku adalah Erol, bukan Evan," ungkap Erol, tenang.
Evelyn tersenyum simpul, tangan kanannya merogoh saku kemejanya dan mengambil surat yang berisikan sketsa wajah Erol.
Wanita itu segera menunjukannya kepada Erol, melihat bukti yang semakin menguat membuat Erol terpojok.
"Tidak mungkin ada dua Evan di dunia ini, kecuali jika ia terlahir kembar, maka salah satu harus dikorbankan," jelas Evelyn, duduk menyilang seraya kedua tangannya ia letakkan di atas paha kanannya.
Mata Erol menajam memandang wanita yang sudah menyudutkannya, ia jauh lebih cerdas di strategi dan analisis. Erol harus benar-benar waspada terhadap wanita tersebut.
"Baiklah, aku benar Evan. Lalu apa yang kau—"
"Ars nexus: Rosa Coil!"
Ucapan Evan terhenti ketika dari dalam jubah pemimpin Evelyn muncul batang berduri yang menjalar hendak melilitnya. Pemuda itu hendak melawan, tetapi fisiknya yang lemah membuatnya pasrah tertangkap oleh Evelyn.
"Kau bilang tulip? Kenapa batang mawar yang muncul?" tanya Evan, kelakar.
"Aku pun ingin menamainya Pasukan Mawar Merah, tetapi komandan pasukan darat tidak suka mawar!" erang Evelyn, wanita itu rupanya menahan kesal akibat penolakan tersebut.
"Tapi bukankah di dunia ini hanya ada tujuh elemen saja? Bagaimana caramu membuat sihir bunga?" tanya Evan, penasaran.
"Kau tidak tahu? Ini adalah teknik gabungan elemen, antara air dan tanah," jelas Evelyn.
Penggabungan elemen menjadi satu teknik sering terjadi di kerajaan. Orang-orang yang diberkahi dengan anugerah kapasitas energi sihir yang banyak bisa melakukan hal tersebut. Evelyn satu-satunya orang yang bisa melakukan teknik gabungan elemen di Pasukan Tulip Merah.
"Aku tidak diberitahu tentang itu," ungkap Evan, datar.
"Kau tidak diberitahu karena kau sudah mendapatkan kekuatan besar dari malaikat itu."
"Sekarang beritahu aku, bagaimana kau bisa melewati gerbang tanpa mengeluh kesakitan?" tanya Evelyn, penasaran.
Semakin lama, lilitan batang mawar milik Evelyn semakin erat mencekik tubuh Evan, duri-duri itu menusuk dalam hingga menciptakan luka baru untuknya.
"Apa kau melihat lambang Jophiel ditubuhku?" tanya Evan, menahan sakit.
Evelyn segera memeriksa dengan seksama, melihat di tangan kanan Evan dan membuka pakaian Evan dengan kasar, ia juga tidak menemukan lambang Jophiel di dada Evan seperti yang banyak dibicarakan.
"Lalu kemana dia pergi?" tanya Evelyn, penasaran.
"Dia kembali ke Benua Malaikat dan sepertinya tak akan kembali lagi," jelas Evan, sedih.
"Jadi, kau yang sekarang adalah pemuda tanpa kekuatan Jophiel?" tanya Evelyn, Evan mengangguk, tetapi itu tak sepenuhnya benar.
Lilitan batang mawar itu mulai melonggar, Evelyn kembali menarik sihir mawarnya dan memberikan sihir penyembuh kepada Evan. Luka kecil yang diakibatkan tusukan duri batang mawar mulai menghilang dalam sekejap.
"Jika kau tidak memiliki kekuatan Jophiel, lalu apa tujuanmu datang ke Ibukota?" tanya Evelyn.
"Aku berencana untuk membebaskan Altair dan Sophie, mereka tertangkap ketika melindungiku. Apa kau tahu keberadaan mereka?" tanya Evan, penasaran.
"Pendeta Agung dan Pendeta Suci? Mereka ikut bersama Pasukan Arkana Hijau ke medan perang," jelas Evelyn, memberitahukan informasi yang tak pernah Evan duga.
Evan tergeletak di atas kasur dengan keadaan pasrah. Ia tidak mungkin berangkat ke medan perang dalam kondisi seperti ini. Ia berpikir mungkin dia akan menunggu kepulangan mereka ke Ibukota setelah berperang.
"Aku tidak mungkin berangkat ke sana," jelas Evan, mengeluh.
"Kau benar! Kondisimu belum memungkinkan untuk pergi. Beristirahatlah selama beberapa hari ke depan. Anggotaku akan merawatmu dengan baik," ungkap Evelyn, berdiri dari duduknya seraya meletakkan tangan kanannya di punggung tangan kiri Evan.
"Tunggu! Kau akan pergi ke medan perang?" tanya Evan, memastikan.
Evelyn tersenyum miring seraya mengangguk, memberi jawaban atas pertanyaan Evan.
"Aku akan pergi bersama dengan Aletha Endeavour, wanita terbaik dalam bidang penyembuhan dan sihir suci," balas Evelyn, Evan tertegun mendengarnya, ternyata Pasukan Tulip Merahlah yang akan menjadi tempat Aletha selanjutnya.
Evan mengangguk dan memersilakan Evelyn pergi. Ia harus fokus memulihkan kondisinya agar bisa kembali beraktivitas, ia juga berharap selama pemulihannya, Altair dan Sophie bisa kembali ke Ibukota.
Akan tetapi, apa yang ia harapkan tidak sepenuhnya terjadi.