"Maka kau pun harus meninggalkannya. Kau tidak boleh melatih manusia dengan kemampuanmu sebagai malaikat agung," ucap Gabriel, memajukan tubuhnya yang masih duduk di atas singgasana marmer miliknya.
"Kenapa? Bukankah itu hakku untuk mengajarinya bertahan hidup?" tanya Jophiel, keras kepala.
Raphael memegang pundak Jophiel, kedua matanya memandang wanita di hadapannya seolah mengatakan kalau yang dikatakan Gabriel adalah benar.
"Tidak ada gunanya melatih ikan untuk terbang, hidup mereka berbeda dengan seekor burung."
Jophiel membalas pandangan Raphael dengan tatapan yang kuat. Ia tidak suka melihat orang lain mencampuri urusannya.
"Biarkan dia bertahan hidup layaknya seekor hewan tanpa akal," ketus Michael, kasar.
"Hey!"
"Aku tidak bertanya padamu!" bentak Jophiel, mengencangkan wajahnya dan menunjuk Michael yang masih duduk di kursinya.
"Apa kau berani padaku, Nona Jophiel?" tanya Michael, meregangkan ototnya seraya berdiri dengan tatapan penuh kemarahan.
Raphael menyadari jika Michael tersulut karena bentakkan dari Jophiel. Pria itu memilih melerai keduanya yang bersitegang dan mencoba membawa wanita tersebut keluar dari istana putih.
Pintu istana tiba-tiba terbuka, muncul sesosok malaikat yang tampak melayang dengan tetap membawa tombak berbentuk sabit di tangan kirinya. Sorot mata dari balik tudung mengejutkan Jophiel, penampilan Azrael jauh lebih menyeramkan dari biasanya.
"Azrael," sapa Raphael.
"Mau kau bawa kemana dia?" tanya Azrael, datar.
"Aku akan membawanya pergi dari tempat ini."
Tanpa berpamitan, Jophiel langsung dibawa pergi oleh Raphael menuju sebuah taman hijau yang ditumbuhi banyak pepohonan yang rindang.
Jophiel masih kesal dan geram karena dia gagal membujuk Gabriel untuk menuruti perkataannya. Dari atas langit, ia terus memerhatikan Evan yang berada di bawahnya. Terlihat pemuda itu tengah kembali berlatih mengayunkan pedang meski dengan kondisinya yang tidak fit.
Melihat kegigihan Evan membuat hati Jophiel tersentuh. Hatinya mulai luluh dan emosinya mereda. Raphael masih menemani Jophiel dan ia melihat wanita itu terlihat tersenyum seraya memandang ke dunia bawah.
"Apa yang istimewa darinya?" tanya Raphael, cemburu.
"Dia orang yang gigih dan pantang menyerah, dia juga selalu mengutamakan kebahagiaan orang lain dibandingkan kebahagiaan dirinya sendiri," ucap Jophiel, lembut.
"Bukankah itu hal yang biasa? Pahlawan juga bisa melakukannya."
Jophiel menarik napas dan menoleh ke arah Raphael. Pria yang duduk di sampingnya itu tak sepenuhnya tahu alasan kenapa Jophiel jatuh hati pada Evan.
"Kau tidak akan mengerti apa yang kurasakan," ucap Jophiel, tertawa kecil seraya tetap memerhatikan Evan dengan seksama.
"Aku memang tidak pernah mengerti jalan pikirmu," balas Raphael.
Pria itu bangkit dan berjalan meninggalkan Jophiel seorang diri di bawah pohon yang rindang. Ia tidak peduli meskipun banyak malaikat biasa yang memandanginya heran hingga Gabriel datang sendiri menghampiri wanita tersebut.
"Aku memang melakukannya, energi sihir yang tidak seharusnya ia miliki kuambil kembali," jelas Gabriel, ucapannya mengejutkan Jophiel yang sedari tadi tengah melamun memandang Evan dari langit.
"Apa kau memiliki opsi lain selain aku tidak boleh kembali bersamanya?" tanya Jophiel, datar.
"Maafkan aku. Ini demi menjaga keseimbangan dunia, aku harus mencegah sesuatu yang berbahaya muncul," balas Gabriel.
"Tetapi Evan sama sekali tidak berbahaya," ungkap Jophiel, Gabriel memejamkan matanya seraya mengangguk pelan.
"Aku tahu," balas Gabriel.
Jophiel cemberut sedih, ekspresinya begitu sayu ketika dihadapkan dengan pilihan untuk meninggalkan Evan. Gabriel bisa merasakan kesedihan yang dirasakan Jophiel, tetapi itulah yang harus ia lakukan sebagai pemimpin dari ras supremasi tertinggi.
"Baiklah. Aku akan melakukannya, tetapi izinkan aku mengucapkan salam perpisahan padanya."
"Jangan," ucap Gabriel, tegas.
"Kenapa?" tanya Jophiel, kesal.
"Itu hanya akan membebani pikirannya, membuatnya menyimpan dendam kepada malaikat," ucap Gabriel.
Pria itu khawatir jika Evan diberitahu tentang keadaan Jophiel, pemuda itu justru akan memberontak dan melawan para malaikat hingga menjadi ancaman bagi Gabriel.
Ia sudah merencanakan semuanya. Ras malaikat tidak akan ikut berperang sebelum peperangan antara manusia dengan iblis selesai, sehingga ras malaikat akan mendapatkan kemenangan penuh atas dunia tersebut.
"Itu tidak masuk akal. Evan tidak akan pernah menyimpan dendam pada—"
Gabriel bangkit dari duduknya, mengabaikan perkataan Jophiel barusan, "Aku akan mengembalikan kekuatan yang ia miliki."
"Tunggu dulu, aku perlu bicara dengannya."
"Itu tidak perlu!" Gabriel membuka gulungan kertas tersebut dan dimensi waktu kembali berhenti. Gabriel membacakan mantra khusus dengan khusyuk hingga muncul bayangan tubuh Evan yang terselimuti kabut bewarna merah.
Semua waktu di dunia itu terhenti, termasuk kegiatan di dunia malaikat. Gabriel langsung mendorong bayangan Evan untuk kembali masuk ke tubuh pemiliknya.
Ia melihat sendiri kalau bayangan itu berhasil masuk ke tubuh Evan meskipun Gabriel tidak tahu respon pemuda itu seperti apa. Ia sudah menepati janjinya, kini tinggal Jophiel yang harus melakukan bagiannya.
Gabriel berbalik badan dan melihat wajah sedih yang Jophiel tunjukan, "Maafkan keputusanku, tetapi kau dengannya tidak boleh bersama. Ini demi keseimbangan dunia."
***
Evan terbangun dan mendapatinya tengah tertidur di atas tanah. Ia masih mengenakan pakaian yang sama dengan tadi, tetapi sesuatu yang berbeda terasa di tubuhnya.
Tenaga dan kekuatannya terasa seperti telah kembali. Tubuhnya terasa bugar dan kuat, kaki dan tangannya terasa ringan seperti beban di punggungnya benar-benar terangkat.
"Apa Jophiel berhasil melakukannya?" tanya Evan, bersemangat.
Pemuda itu memilih mencobanya sendiri. Kedua matanya terpejam dan mulutnya berucap mantra khusus yang ia pelajari dari Jophiel.
"Split terra!" Evan meletakan tangannya di atas tanah dan tampak tanah di depan matanya terbelah hingga memunculkan lubang yang cukup dalam dan lebar.
Evan belum puas, ia mengeluarkan pedang besi dari sarungnya dan mencoba menguatkan pedang tersebut dengan sihir.
"Amplifi Elementum."
Pedang besi yang tengah digenggam Evan bersinar terang berwarna biru tua, membuat Evan sangat senang karena kekuatannya telah kembali.
Ia keluar dari dalam hutan ilusi dan menunggu kedatangan Jophiel dari kahyangan. Namun, hingga petang tiba, wanita yang ditunggu oleh Evan tidak kunjung datang.
"Apa kau petualang?"
Evan dikejutkan dengan sapaan ramah dari belakang punggungnya. Ia berbalik dan melihat pria tua yang tengah menggendong bakul berisikan batu sungai untuk dijual. Yang lebih mengejutkan lagi adalah keberadaan hutan ilusi.
Evan tidak bisa melihat keberadaan hutan tersebut, padahal dirinya baru saja keluar beberapa menit yang lalu.
"Apa kau melihat hutan di sekitar sini, Pak tua?" tanya Evan kepada pria di depannya.
"Hutan? Haha! Daerah gersang seperti ini tidak mungkin ada hutan," balas pria tua tersebut, ia langsung melenggang pergi meninggalkan Evan dengan terus tertawa lantang menertawakan kebodohan Evan.
Apa yang terjadi?, batin Evan bertanya-tanya.
Ia mencoba berjalan ke tempat tersebut yang semula hutan, tetapi ia tidak kunjung menemukan tempat tersebut. Tiba-tiba dari atas tebing, terdengar teriakan dari seorang pria yang menyuruh pasukannya menangkap Evan.
"Sial! Apa mereka terus mengejarku meskipun sudah enam bulan lamanya?" gumam Evan kesal.
Untuk menghindari kejaran mereka, Evan berlari dengan kencang membawa pedang besi miliknya hingga tak lagi terlihat oleh pasukan istana yang melakukan pengejaran.
Ia bersembunyi di dalam goa seraya menarik napas untuk mengatur kelelahan yang melandanya. Evan menunggu cukup lama di tempat tersebut hingga tanpa sengaja ia mendengar teriakan minta tolong dari kedalaman goa.
"Tunggu dulu, apa ini dungeon?" gumam Evan bertanya-tanya.
Daripada menunggu yang tidak pasti, ia memilih berjalan menyusuri goa untuk sampai di asal suara tadi. Teriakannya cukup kencang hingga membuat bulu kuduk siapa saja berdiri ketika mendengarnya.
Ternyata memang benar, tempat ini digunakan oleh banyak orang untuk mencari harta karun. Banyak jebakan terpasang hingga membuat Evan hampir terbunuh. Namun, kemampuan pendeteksinya jauh melebihi manusia pada umumnya sehingga jebakan tersebut tidak akan berpengaruh padanya.
Evan dihadapkan oleh banyak jalan bercabang, ada sembilan terowongan yang terbuka di depan sekeliling matanya.
Kedua telapak tangan Evan menyatu dan matanya tetap terbuka, "Trace anima."
Suasana di sekitar Evan mendadak sunyi, indra pendengarannya ia tajamkan untuk menemukan orang di tempat tersebut. Cukup lama kemampuan pendeteksinya hingga menemukan sekelompok regu kecil yang terdengar ketakutan dan terus menerus berteriak.
Suara itu berasal dari terowongan nomor tujuh dari awal kanan tempat tersebut. Evan segera berlari kencang menghampiri mereka dengan harapan tidak ada korban jiwa yang berjatuhan.
Setengah jalan terlewati, Evan sudah mencium bau amis yang muncul dari ujung terowongan. Teriakan ketakutan dan kesakitan semakin terdengar jelas hingga Evan melihat kengerian yang terjadi di depannya.
"Apa yang terjadi di sini?" tanya Evan, tegas.
Beberapa orang melihat kedatangan Evan dan segera berlindung di belakang pemuda tersebut, kebanyakan adalah wanita yang berpakaian gaun panjang layaknya malaikat dengan tongkat di tangan kanannya.
"Mereka terbunuh oleh makhluk tak kasat mata," ungkap wanita di belakang Evan.
Iblis? Mungkinkan ada iblis di dekat ibukota kerajaan?, batin Evan bertanya-tanya.
Evan mengeluarkan pedangnya dan segera mengangkatnya tinggi-tinggi. Ia merapalkan mantra cahaya yang ia ketahui dari Jophiel, karena ia yakin hantu akan ketakutan melihat cahaya terang.
"Paradise lux!"
Cahaya terang muncul dari seluruh bilah pedang Evan membuat para makhluk tak kasat mata itu membeku kaku karena silau akan cahaya yang Evan munculkan. Pemuda itu segera berlari menebas kepala semua makhluk tersebut hingga tak tersisa.
Pemuda itu berhasil menyelamatkan lima orang dari delapan orang kelompok tersebut, mereka menderita luka ringan hingga berat langsung di tolong oleh wanita yang bisa sihir penyembuhan.
Bagi petualang biasa, kekuatan Evan sudah sangat kuat, bahkan makhluk tak kasat mata bisa ia bunuh dengan mudah.
"Anu ... terima kasih sudah menolong kami," ungkap salah satu wanita pengguna sihir penyembuh datang menghampiri Evan.
"Iya, aku mendengar teriakan dari awal goa sehingga aku langsung memutuskan pergi ke sini," ujar Evan.
"Kau dari atas?!" tanya wanita tersebut kaget.
"Iya, memangnya ada apa?" tanya Evan, bingung.
Mereka semua sontak membelalakkan kedua matanya mendengar pernyataan Evan, sungguh sangat mengejutkan melihat Evan berada di tempat seperti ini. Bagi sebagian petualang, tempat ini sudah seperti penjara labirin.
"Bagaimana kau bisa menemukan kami dengan cepat?" tanya kembali wanita tersebut.
"Dengan kemampuan pendeteksiku."
"Apa kau bisa mengeluarkan kami dari sini?" tanya wanita tersebut, memastikan.
Evan sebenarnya tidak tahu apa yang dibicarakan oleh perempuan tersebut, tetapi melihat matanya yang berbinar haru membuat pemuda tersebut tak mampu menolaknya.
"Iya, aku akan mengantar kalian semua pulang."