***
"Apa yang kalian lakukan di tempat ini?" tanya Evan.
Pemuda itu berjalan di depan regu kecil yang ia selamatkan, memandu mereka untuk keluar dari penjara labirin tersebut. Para wanita di kelompok kecil itu kini bisa bernapas lega, mereka tak lagi ketakutan akan kematian ketika melihat pria asing menolong mereka.
Seorang wanita dengan pakaian gaun datang menyamakan langkahnya dengan Evan. Dirinya cukup fanatik terhadap sihir dan keingintahuannya semakin memuncak ketika melihat pemuda yang menyelamatkannya datang berkat sihir pendeteksi yang ia kuasai.
"Dari mana kau mempelajari sihir pendeteksimu itu?" tanya wanita tersebut, Aletha namanya.
"Aku mempelajarinya dari seseorang," ucap Evan, tetap berjalan seraya menerangi jalan keluar goa menggunakan obor api yang ia buat.
"Apa aku bisa ikut belajar padanya juga?" tanya Aletha, penasaran.
Evan teringat dengan petuah dari Gabriel tentang kemampuan dan kekuatan yang dimiliki malaikat agung. Sihir pendeteksi Evan adalah sihir dasar yang digunakan ras malaikat untuk menemukan iblis dan manusia tanpa diketahui, sehingga sangat beruntung jika Evan berhasil menguasainya hanya karena kedekatannya dengan Jophiel.
"Kau akan sulit bertemu dengannya," ucap Evan, datar.
"Aku tidak peduli. Aku ingin belajar sihir itu untuk kemajuan ilmu pengetahuan manusia," balas Aletha.
Pemuda itu menghentikan langkahnya ketika mendengar tujuan dari Aletha. Wanita itu mengkaitkan keinginan belajarnya dengan prinsip idealisnya. Evan masih menyimpan dendam pada manusia di dunia ini, terlebih ketika mereka menangkap Altair dan Sophie di desa.
Regu kecil yang berada di belakang Evan sontak ikut berhenti. Mereka masih memandang punggung Evan dengan seksama, kepala pemuda itu tertungkul dan terlihat tangan kirinya terkepal erat.
"Manusia?" tanya Evan, dingin.
Karena tempat yang dikelilingi dinding batu membuat suara Evan terdengar menggema hingga mengejutkan mereka semua. Aletha memerhatikan dengan seksama wajah Evan, wanita itu melihat wajah yang tak acuh ditunjukan oleh Evan.
"Iya. Kemampuan sihir ras manusia tertinggal jauh dengan sihir ras malaikat," ungkap Aletha, berdecak lidah kesal.
"Lalu jika kalian sudah mendapatkan apa yang diinginkan, selanjutnya apa? Penaklukan?" tanya Evan, tajam.
Ucapannya membuat beberapa wanita membelalakkan kedua matanya, mereka menyadari kalau perang tidak akan mungkin hilang selama masih ada hawa nafsu di antara semua ras.
Aletha terdiam, ia juga mengetahui kalau tujuan akhir dari pengembangan ilmu pengetahuan sihir tak lain untuk kebaikan ras manusia, yaitu penaklukan benua ras lain.
"Pikiran manusia selalu saja menginginkan lebih, padahal mereka tidak memiliki kapabilitas yang cukup."
Evan menggerakkan tubuhnya, menoleh ke arah Aletha dengan mata yang serius, "Tamak dan egois hanya akan membawa manusia ke jurang kehancuran."
"Tapi kita bisa mengubah itu, kita bisa membuat sihir manusia menjadi lebih bermanfaat dibandingkan untuk perang," jelas Aletha.
"Sebenarnya kau ini siapa? Datang menyelamatkan kami dan mengoceh menghina rasmu sendiri?!" bentak seorang pria yang kesal dengan sikap sok pintar Evan.
Evan tersadar dan tersenyum kecil ketika pria itu bertanya tentang identitasnya. Mereka mungkin akan menangkap pemuda itu jika Evan mengatakan yang sebenarnya, sehingga Evan memilih untuk menyamarkan dirinya dengan nama lain.
"Namaku Erol dan kebetulan aku berada di sini untuk mencari ayahku," ucap Evan.
"Namaku Aletha, senang berkenalan denganmu," balas Aletha, Evan mengangguk pelan seraya senyuman terkembang di wajahnya.
Mereka semua memperkenalkan satu persatu hingga Evan merasa tak lagi canggung ketika bersama mereka. Erol –Nama samaran Evan– memilih untuk kembali melanjutkan perjalanan hingga mereka dihadapkan pada terowongan berjumlah tujuh.
"Jangan lagi," keluh Liscia, kesal.
Mereka semua tertunduk lesu dan duduk dengan pasrah di atas tanah goa. Aletha berjalan menghampiri Erol dan mengatakan yang sebenarnya tentang mental seluruh teman-temannya.
"Apa? Terjebak satu minggu di tempat ini?!" tanya Erol, kaget.
"Kami berhemat dan makan makanan yang kita temui di goa, bahkan kami sudah terbiasa dengan teman kami yang keracunan," ungkap Aletha, merinding ketakutan.
"Karena itulah para petualang menyebut goa ini sebagai penjara labirin," jelas Liscia, Erol menatap wanita tersebut yang tengah terduduk di atas tanah dengan ekspresi pasrah.
Sungguh mengejutkan, lampu nyala obor terlihat dari dua terowongan lainnya. Kelompok lain bermunculan, sau kelompok mengenakan zirah militer yang lengkap, sedangkan kelompok satunya lagi memakai pakaian yang hampir mirip dengan kelompok Aletha.
Mereka memiliki tujuan yang sama, yaitu keluar dari labirin tersebut. Ketua kelompok mereka datang menghampiri Aletha dan menanyakan sudah berapa lama kelompoknya terjebak di sini.
"Kami membawa makanan lebih, silakan makan dan beristirahatlah," balas ketua kelompok berzirah, Aletha berterima kasih seraya terus menganggukkan kepala.
Ketika kelompok Aletha hendak meminta makanan dari kelompok lain, mereka semua dikejutkan dengan tanah yang bergetar di tempat mereka berdiri. Tempat itu terasa seperti berputar dan benar saja, mereka memutarnya agar para petualang tidak bisa keluar dengan mudah.
"Apa itu?" tanya Erol, penasaran.
"Tempat ini berputar setiap setengah jam, sehingga petualang hanya memiliki waktu tiga puluh menit untuk bisa keluar setelah masuk," jelas Aletha, ucapan wanita itu cukup masuk akal.
Aletha berjalan menuju kedua kelompok tersebut dan bertanya tentang sistem penandaan mereka. Erol masih berdiri di depan empat terowongan yang kosong, Erol belum mendapati seseorang pun keluar dari empat terowongan tersebut.
Erol berbalik badan dan meminta Aletha untuk datang menghampirinya.
"Apa yang kau butuhkan?" tanya Aletha.
"Apa kau bisa meminta mereka semua untuk tenang? Aku akan menggunakan kemampuan pendeteksiku," ucap Erol, mendengarnya membuat Aletha bersemangat dan senang.
Wanita itu langsung berbalik badan dan menyuruh teman-temannya untuk diam, begitu juga dengan ketua kelompok lainnya. Alhasil, keadaan cukup sunyi dan atensi mereka mulai tertuju kepada Erol.
Erol menyatukan kedua telapak tangannya dan merapalkan mantra sihir pendeteksinya, "Trace Anima."
Erol membuka kedua tangannya lebar-lebar, membentangkan dengan kuat untuk merasakan deteksi jiwa melalui getaran indra pendengaran yang ia kuatkan.
Seketika Erol berlutut dan kedua matanya membelalak kaget seraya tangan kanannya menutup mulutnya. Tak kuat, akhirnya Erol muntah di hadapan semua orang.
"Apa dia baik-baik saja?" tanya ketua kelompok zirah.
"Aku baik. Hanya saja aku mendeteksi ada petualang lain yang terbunuh dengan mengenaskan di dua terowongan ini," jelas Erol, menunjuk terowongan yang membuatnya jijik dan mual hingga muntah.
"Lalu kemana jalan keluar dari sini?" tanya salah satu ketua kelompok lainnya, Erol menunjuk terowongan ketiga dari kirinya.
Sontak mereka semua langsung berlari kocar kacir meninggalkan teman-teman mereka, makanan yang sedang disantap untuk keselamatan mereka sendiri.
Kini tersisa Erol, Aletha, dan kelompok zirah yang masih berada di tempat tersebut.
"Tenanglah. Sebaiknya kita pergi dari sini," ucap Aletha.
"Tolong aku!" teriakan seorang wanita menggema di telinga Erol, ia melihat melalui deteksi gelombang sihir kalau wanita itu sudah cukup sekarat dengan tidak mengenakan sehelai benang pun.
"Aku akan pergi menyelamatkannya," jelas Erol, tegas.
"Aku akan ikut bersamamu," timpal ketua kelompok zirah, membuat Aletha kebingungan.
"Bukankah kalian hendak keluar?" tanya Aletha.
"Seseorang membutuhkan bantuan, jika aku pergi seperti pengecut tadi, maka aku tidak berhak mengenakan zirah besi ini."
Erol berterima kasih dan langsung berlari ke salah satu terowongan menyelamatkan wanita tersebut. Suara derap kaki terdengar nyaring dari sepatu besi yang dikenakan seluruh regu zirah, Aletha berjalan bersama dengan Erol dengan menyiapkan mantra penyembuh miliknya.
Cukup lama berlari, akhirnya mereka sampai dan terkejutnya Erol melihat pemandangan yang memuakkan dan membuat siapa saja mual hingga pingsan.
Terdapat banyak potongan tubuh manusia yang berserakan, kebanyakan dari petualang pria. Erol pun melihat cukup banyak wanita yang tersekap di salah satu kandang kayu layaknya hewan peliharaan, mereka sama sekali tidak berpakaian.
"Cepat selamatkan mereka!" tegas ketua regu zirah.
Seluruh anggota kelompok langsung menghancurkan ketiga kandang kayu tersebut dan membebaskan sekitar sepuluh wanita yang tersekap. Kebanyakan dari mereka mengalami gangguan mental hingga ketika diselamatkan, mereka terus memberontak.
"Buat mereka tak sadarkan diri, Aletha," pinta Erol, Aletha mengangguk.
"Infantem Somno!" Aletha mengangkat tinggi-tinggi tongkat sihir yang ia miliki, sehingga sihirnya langsung memancarkan salju putih yang mana jika terhirup oleh wanita tersebut, mereka akan tertidur layaknya bayi.
"Bagaimana kau bisa memiliki kemampuan pendeteksimu?" tanya ketua kelompok zirah.
"Aku mendapatkannya dari—"
"AAARGH!"
Teriakan seorang pria terdengar nyaring, dari kedalaman goa terlihat sesosok monster bertubuh besar dengan wajah berjumlah empat di masing-masing sisi kepala. Ia terlihat memegang sebuah gada tajam penuh paku dan memakai pakaian yang terbuat dari bulu.
"Apa? Ogre?!" tanya Erol, kaget
"Itu bukanlah ogre, tubuhnya terlalu besar untuk seukurannya," jelas ketua kelompok zirah.
Pria itu mengeluarkan pedang besar miliknya dan bersiap untuk melakukan pertempuran dengan makhluk berukuran besar.
"Cepat bawa mereka dari sini!" teriak ketua kelompok, pasukannya segera membawa para wanita itu pergi dari tempat tersebut.
"Aku akan mengulur waktu, kau bantu mereka untuk arahkan jalan sampai keluar goa!" tegas ketua kelompok tersebut.
Awalnya Erol menolak dan ingin membantu pria tersebut, tetapi emosi pria itu semakin membesar dan mau tidak mau Erol harus melakukannya.
Ia pergi menuntun jalan mereka semua ke terowongan yang benar hingga sampai di luar goa. Mereka bisa terselamatkan berkat kemampuan pendeteksi milik Erol.
"Kemana kau akan pergi?" tanya Aletha.
"Aku akan kembali untuk menyelamatkannya."