Chereads / Apakah Kita Bisa Menyatu? / Chapter 15 - Chapter 15

Chapter 15 - Chapter 15

Sekilas bayangan masa lalu itu, membuat Delvin tersenyum dan merasa kesal dalam saat yang bersamaan.

Mengingat Ilona yang masih bersama dirinya kala itu, membuat semangat itu tumbuh. Namun, kala disadarkan oleh kenyataan sekarang, rasanya begitu menyedihkan.

Saat ini saja, Delvin bahkan tidak mengetahui di mana Ilona berada sekarang. Pergi dari rumah sakit biasa dan entah di mana lagi tempatnya, tapi satu-satunya cara untuk tahu semuanya adalah mengunjungi rumah besar milik kekasihnya--anggap saja seperti itu.

"Selamat siang, Ibu," sapa Delvin saat melihat Cantika yang duduk di luar sembari melamun dan tatapannya begitu kosong.

Cantika menoleh saat ada seseorang yang datang ke arahnya, dan itu Delvin--seingatnya adalah kekasih Ilona.

"Nak Delvin, sini duduk di samping Ibu." Cantika mempersilahkan Delvin untuk duduk di sampingnya ini. "Ada perlu apa, Nak?"

Delvin segera saja duduk di samping Cantika, sesuai dengan apa yang dimintanya barusan. Menghela napas berat, dan ia sendiri tidak tahu harus mulai dari mana. Tubuhnya seakan merasa gugup untuk bertanya hal itu, karena rasa bersalah selalu saja mengikutinya.

"Hmm ... Ibu, apa Ilo ada di rumah?" tanya Delvin gugup. Ia memejamkan mata sebentar takut jika perkataan yang terlontar dari mulutnya ini sebuah kesalahan.

Cantika menggeleng pelan. "Tidak, Ilo tidak ada di rumah. Dia pergi jauh, entah ke mana, tapi yang jelas doakan saja supaya cepat kembali dan ada di rumah ini lagi."

Cantika menggeleng lemah, dan sama sekali tidak menengok ke arah Delvin yang saat ini sedang duduk tepat di sampingnya.

Delvin sendiri merasa gelisah. Memikirkan ke mana perginya Ilona saat ini, dan harus mencari ke belahan bumi mana lagi ia saat ini. Dan rasanya semua jalan buntu, hingga otak pun tidak bisa berpikir normal.

Hanya bisa pasrah dan berdoa, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Cantika barusan. Delvin hanya disuruh melakukan itu saja, dan pastinya sangat dilarang untuk mencari keberadaan Ilona.

"Ibu, ketika hati mencintai dengan penuh, maka dia pasti akan mendoakan yang terbaik untuk orang yang dicintainya," ucap Delvin dengan mantap.

Melihat wajah Cantika yang sekarang sudah dipenuhi dengan linangan air mata.

Cantika menoleh ke arah Delvin, dan mengangguk. Ia percaya akan perasaan cinta yang mampu mengubah segala hal di dunia ini, dari kesedihan menjadi sebuah kebahagiaan, kelemahan menjadi kekuatan, dan juga benci menjadikannya cinta yang penuh dengan kasih sayang.

"Iya, Nak. Ibu sangat tahu dengan baik, kalau kamu mencintai Ilona. Semoga saja, dia segera pulih dari sakitnya dan kalian mampu kembali bersatu," kata Cantika yang memberikan restu pada hubungan Delvin dan Ilona.

"Aamiin, semoga Ilona lekas membaik dan bisa berkumpul bersama kalian lagi," lirih Delvin dan kepalanya sedikit tertunduk.

Delvin beranjak dari tempat duduknya, dan hendak pulang dari rumah ini. Hal yang dicarinya tidak ada di tempat ini, dan ia tidak memiliki alasan apa pun untuk bertahan sedangkan hatinya selalu gelisah seperti ini.

"Ibu, mungkin lain waktu Delvin akan datang ke mari, sekarang izin pulang dulu," pamit Delvin seraya menyalimi tangan Cantika.

Cantika mengangguk pelan. "Iya, Nak. Kamu datang lah lagi nanti, ketika Ilo sudah kembali ke rumah ini."

"Baik, Bu. Delvin akan mendoakan semua yang terbaik untuk Ilo dan keluarga kalian, permisi." Delvin kini melangkah pergi dan menjauh dari kediaman Ilona.

Cantika mengangguk dan melihat Delvin yang kini sudah kembali memasuki mobilnya. Menjauh dari rumahnya dan hilang di tikungan jalan.

"Kamu anak baik, Delvin. Kamu pantas memilih yang lain, lagipula hubungan itu juga sudah berakhir sekarang, tidak ada lagi yang perlu dipertahankan ataupun diperjuangkan lagi," gumam Cantika dengan sedikit senyum yang terulas pada bibirnya.

Cantika sebenarnya sudah mengetahui kondisi hubungan Ilona juga Delvin, sudah hancur berantakan dan mereka sudah tidak lagi menjadi sepasang kekasih. Ia sengaja untuk menyembunyikan di mana alamat anaknya dirawat sekarang ini, karena tidak ingin diganggu sama sekali dengan bayangan masa lalu.

Subroto kini keluar dari dalam rumah dan menghampiri Cantika untuk duduk tepat di sampingnya. Ia melihat wajah istrinya yang nampak bersalah, tapi juga seperti tengah meyakinkan sesuatu.

"Ada apa, Bu?" tanya Subroto pada Cantika yang segera menoleh ke arahnya.

"Tadi ada Delvin yang mampir ke mari, Yah. Dia ingin tahu keberadaan Ilona sekarang di mana, dan sama Ibu tidak diberitahu." Cantika menjelaskan pada Subroto dengan sangat baik tentang niat dari Delvin saat mengunjungi rumahnya ini.

"Memang sudah seharusnya seperti itu, Bu. Lagian ada apa lagi dia datang ke tempat ini, sudah tidak takut apa dengan orangtuanya itu." Subroto meracau sendiri.

Cantika menggeleng dan menyentuh lengan milik suaminya tersebut. "Sudahlah, itu bukan urusan kita, Ayah. Lebih baik kita berdoa saja buat kesembuhan Ilo, tanpa memikirkan urusan lain," bujuk Cantika dengan lembutnya.

"Itu pasti, Bu. Ayah bahkan selalu berdoa setiap malam, untuk Ilo bisa segera sembuh secepatnya dan berkumpul bersama kita," lirih Subroto penuh harapan.

Cantika mengangguk. Mereka tahu persis bagaimana hubungan Ilona dan Delvin, bahkan awal mula keretakan itu mereka berdua sudah mengetahuinya dengan jelas.

Sekarang, mereka semua hanya berharap akan kondisi Ilona yang pulih setelah diputuskan untuk dibawa ke Singapura itu. Pengobatan di negeri itu sudah terkenal cukup baik di seluruh penjuru dunia, maka dari itu si kembar memutuskan untuk mengambil langkah tersebut.

Delvin mengendarai mobilnya tidak tentu arah, dan sama sekali tidak berniat untuk kembali pulang ke rumahnya. Ia memilih melipir ke sebuah warung tepi jalan, sekedar untuk menikmati kopi yang ada di tempat tersebut.

"Pak, tolong buatkan kopi hitam untuk saya, satu saja," pinta Delvin yang kini duduk pada bangku panjang.

"Kopi hitam, ya?" ulang penjual warung itu pada Delvin.

Delvin mengangguk saat pesanannya kini disebut ulang, sembari menunggu dibuatkan dan terhidang di depannya ini, memilih untuk membakar satu puntung rokok.

Delvin menikmati kepulan asap yang keluar dari mulutnya itu. Tidak ada cara lain untuk memperbaiki hatinya yang tengah gelisah saat ini, dan hal paling tepat adalah merokok.

Seorang gadis yang datang ke warung ini, terlihat batuk-batuk saat menghirup asap rokok. Ia berjalan menghampiri Delvin dan bersiap memarahinya.

"Hay, Tuan! Merokoklah di tempat khusus untuk kalian, bukan tempat umum seperti ini, mencemari udara saja!" tegur gadis tersebut sembari menunjuk wajah Delvin menggunakan tangannya.

Delvin menatap heran ke arah gadis yang ada di hadapannya sekarang ini. Tangannya yang persis menunjuk wajah, seperti orang yang tidak tahu sopan santun saja.

"Hay, Nona, berbicalah yang benar. Saya tidak akan merokok ketika di sini ada tulisan larangan, tapi di sini tidak ada ... itu artinya bebas. Lagipula, siapa kamu? Seenaknya mengatur saya, heran." Delvin msnjawabnya tak kalah sengit.