Delvin menatap sengit wanita yang tengah berdiri di sampingnya itu. Mengatur sekali, lagipula orang-orang yang berkunjung ke tempat ini juga tidak ada yang menuaikan komentar sama sekali, dan kenapa pula itu anak berisik.
Wanita itu kini berjalan pergi dari hadapan Delvin dengan tangan yang memegang hidungnya, bertujuan agar asap rokok itu tidak tercium yang bisa membuatnya terbatuk.
"Dasar, lelaki itu memang benar-benar tidak memiliki perasaan sama sekali," gerutu wanita itu dengan jalan yang terburu.
Delvin berdecak keras. "Berisik sekali dia, saya tidak menganggunya sama sekali juga."
Delvin mengotot jika ini sama sekali bukan kesalahannya, karena merokok di ruangan yang terbuka tidak akan menimbulkan masalah sama sekali, selama tidak ada tulisan yang melarangnya yang tertempel.
Tidak lama setelah wanita itu pergi dari hadapannya, seorang lelaki paruh baya kini datang sembari membawakan pesanan miliknya tadi.
"Ini Mas kopinya," ucap lelaki paruh baya itu sembari meletakkan gelas yang berisikan kopi hitam di atas meja tersebut.
Delvin tersenyum dengan tangan yang kini mulai mematikan rokok tersebut dengan ujung lidahnya. "Terima kasih, Pak."
Segera saja mengambil gelas kopi hitam yang terhidang di hadapannya itu, sembari sesekali mengepus asap yang mengepul ke atasnya. Delvin begitu menikmatinya, ditambah dengan gorengan yang terhidang di sana, semakin membuatnya melupakan sejenak masalah yang ada.
Delvin sebenarnya jarang sekali untuk merokok. terkecuali hatinya sedang tidak baik-baik saja seperti ini. Saat Ilona masih ada di sampingnya, dan saat hubungan mereka belum diterpa masalah seperti ini, ia kerap bercerita dan berbagi resah.
Namun, sekarang keadaan sudah jauh berbeda, hingga Delvin melampiaskannya pada beberapa batang rokok juga satu gelas kopi hitam.
"Ilo, aku harap kamu lebih baik dari kemarin hari ... saat aku pernah melihat keadaan kamu itu," gumam Delvin dengan tatapan mata kosongnya.
Saat Delvin tengah asyik untuk menikmati kopi hitam, kini wanita yang tadi sempat adu mulut dengannya itu, kembali muncul untuk menyindirnya.
"Udah gak rokok lagi tuh, sadar juga ya, mas?" sindiri wanita itu sembari masuk ke dalam warung tersebut tanpa rasa bersalah sama sekali.
"Heh, gak baik ngomong seperti itu sama pelanggan, Nak." Pemilik warung itu langsung menegur kelakuan anaknya--yaitu tidak lain wanita itu.
Delvin memicingkan mata pada dua orang yang tengah berbincang-bincang itu, dan memilih untuk sama sekali tidak perduli.
"Ternyata anak pemilik warung ini, dasar gadis aneh," batin Delvin seraya terkekeh pelan.
Wanita itu mengerucutkan bibir, dan kini menatap Delvin sengit. "Abis dia yang mulai duluan, Pak. Masa main selonong rokok gitu aja, udah tau ... aku itu suka sesek napas kalau ada bau aneh gitu."
"Hust! Kalau kamu gak nyaman di warung, mending masuk sana ke dalam." Bapak itu mengusir sang anak perempuannya untuk masuk ke dalam rumah.
Wanita itu hanya menatap kesal ke arah Delvin. "Apa lo liat-liat? Mana ketawa lagi, buat orang kesel aja sih," gerutunya sembari melangkah masuk ke dalam rumah.
Delvin menggeleng pelan. Tidak menyangka ada spesias wanita yang sangat aneh seperti itu, dan lebih lucunya orang melihat ke arah lain saja dituduh sedang menatapnya.
"Mas, maafin anak saya, ya. Dia mah emang suka sensi gak jelas gitu, kalau ada bau rokok gini," terang pemilik warung pada Delvin.
"Iya, Pak, santai saja. Oh iya, jadi totalnya berapa?" Delvin meminta dihitungkan semuanya, termasuk kopi dan beberapa gorengan yang sudah dimakan olehnya tadi.
Setelah itu, Delvin segera menyerahkan lembaran uang pecahan dua puluh ribu rupiah, dan segera saja pergi dari tempat itu untuk menuju mobilnya yang terparkir tepat di depan warung itu.
Delvin memutuskan untuk kembali menuju kantornya.
"Selamat siang, Pak Delvin," sapa sekretarisnya saat hendak memasuki ruangan.
Delvin tersenyum tipis. "Selamat siang juga, Va. Hari ini ada jadwal meeting tidak?"
"Sebentar, Pak, biar saya cek terlebih dahulu."
"Iya." Delvin berdiri di hadapan Eva--sekretaris pribadinya yang tengah mengecek jadwal kegiatan di hari ini.
Eva mendongak untuk menatap Delvin. "Jadwal meeting ... belum ada di hari ini, Pak. Oh iya, saya mau menyampaikan kalau Bapak ditunggu oleh seseorang di ruangan sana."
Delvin mengernyitkan keningnya. Siapa orang yang tengah menunggunya di dalam ruangan sana, pikirannya kini langsung saja mengarah pada Nikita--ibunya itu.
"Baiklah! Terima kasih, Eva. Saya masuk dulu ke ruangan," pamit Delvin pada Eva yang ada di luar ruangannya itu.
Delvin segera saja masuk ke dalam ruangan kerjanya, dan saat melihat ada sosok perempuan cantik yang tengah duduk di salah satu kursi di sana. Kini ia mendadak ragu untuk melangkah, karena dari perawakannya saja sudah berhasil ditebak, jika itu adalah orang yang pernah dikenalnya dengan baik.
"Lavanya?"
Wanita itu kini tersenyum lebar dan segera beranjak dari tempat duduknya untuk kemudian menghampiri Delvin yang sama sekali tidak menyangka ada dia di sini.
"Delvin sayang, aku kangen banget tau sama kamu," keluh Lavanya yang langsung memeluk tanpa seizin dari Delvin.
Respon Delvin hanya diam mematung di tempat, hingga beberapa detik kesadarannya kembali dan langsung menyingkirkan tubuh Lavanya.
"Cih, ngapain kamu ada di ruangan saya, hah?"
"Kok ... kamu kasar seperti ini, Delvin?" tanya Lavanya yang begitu terkejut dengan suara Delvin yang membentaknya itu.
Delvin merotasikan bola mata. "Oke, saya minta maaf. Ada apa kamu datang ke sini?" Berjalan untuk menuju kursi dan dengan salah satu kaki yang disilangkan, sembari menatap Lavanya jumawa.
Lavanya menghampiri Delvin dengan berdiri di sampingnya. Ia kini tersenyum cerah, dan sorot matanya begitu mengartikan jika saat ini ia tengah merindukan sosok lelaki yang ada di hadapannya ini.
"Delvin, aku ke sini karena rindu sama kamu, dan memangnya apa lagi selain itu?" tanya Lavanya pada Delvin.
"Buat apa kamu berucap hal menjijikan itu? Buat saya sudah tidak ada gunanya lagi semua omong kosong yang kamu lontarkan itu," sarkas Delvin dengan tangan yang mulai membuka bungkus rokok, dan mengeluarkan untuk kemudian menyelipkan di antara jemarinya.
"Oh, God! Kamu merokok? Sejak kapan ini, Delvin?"
"Apa perduli kamu sih, lava?"
"Jelas aku perduli dong, karena ... aku masih sayang sama kamu. Kenapa kamu berubah sih? Aku gak suka," ungkap Lavanya dengan wajah yang merengut kesal.
Delvin tertawa mendengar banyolan konyol yang terlontar dari bibir Lavanya barusan. Ia kini mulai membakar ujung rokok itu, dan menghisapnya pelan-pelan.
"Sudah, dramanya! Apa kamu tidak lelah? Drama mulu dari tadi." Delvin kini beranjak dari tempat duduknya dan berdiri untuk melihat beberapa buku yang tersusun rapi di rak. "Mending kamu pergi aja sana! Saya sudah tidak membutuhkan kamu lagi, buat apa juga datang ke kantor?"