Teman-teman arisan Nikita itu terus-menerus memaksanya untuk membuka suara tentang anaknya. Karena mereka semua ingin mengetahui dengan jelas kehidupannya.
Dan itu sebenarnya bisa dibilang tidak penting sama sekali.
Nikita menggeleng berulang kali. "Kalian ini, anak saya hanya punya dua. Satu perempuan dan satu lagi laki-laki."
"Oh seperti itu, Jeng? Selama kita semua ikut arisan, tidak mengetahui sama sekali yang mana anak kamu itu." ucap salah satu teman dari Nikita itu.
Nikita dan yang lainnya hanya tertawa menanggapi perkataan itu. Maklum saja, wanita itu baru untuk melakukan kegiatan seperti ini bersamanya, maka dari itu tidak mengetahui siapa dirinya ini.
"Sudahlah, lupakan saja. Nanti kamu pun akan mengatahui, bagaimana anak-anak saya itu," tutur Nikita sembari mengambil satu gelas untuk kemudian ia teguk.
"Baiklah."
Nikita dan yang lainnya kembali melanjutkan kegiatan yang sudah sering dilakukan setiap pekan. Ini adalah salah satu hal yang sangat menyenangkan, menurutnya.
Namun, bagi Delvin sendiri, itu adalah hal yang berisik dan hanya membuang-buang waktu saja.
Delvin kembali ke rumah setelah seharian sibuk dan berkutat dengan laptop juga berlembar-lembar kertas penting. Ia berjalan santai dengan jas yang disampirkan pada pundaknya itu, untuk kemudian menaiki tangga menuju kamarnya yang ada di lantai dua.
"Delvin! Mami mau bicara sama kamu," tegur Nikita saat berpapasan dengan anak lelakinya itu.
Delvin menatap Nikita dengan wajah lesunya. Ia hanya mengangguk saja, dan kembali berjalan tanpa menjawab satu kata pun.
Nikita menggerutu kesal dengan tingkah Delvin yang baginya itu adalah tingkah kurang ajar, atau bisa dibilang tidak ada sopan santun sama sekali.
Delvin langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk itu. Matanya menatap nanar langit-langit dan pikirannya kembali menerawang pada Ilona.
"Ilo, aku rindu sekali sama kamu. Sekarang bagaimana keadaannya? Apa kamu di sana baik-baik saja?"
"Aku di sini sendirian, dan itu sangat menyiksa sekali." Delvin terus berbicara seorang diri, Ia hendak bercerita banyak hal, atau mungkin merindukan semua tingkah manja yang biasa Ilona lakukan padanya.
Namun, Delvin melupakan satu hal, hubungannya sudah selesai dan itu tandanya mereka berdua tidak ada ikatan apa pun lagi sekarang.
Ikhlas itu bohong, semuanya hanya dilakukan sebab keterpaksaan. Di mana dasarnya Delvin sendiri masih sangat mencintai Ilona, dan sekarang ia sendiri harus melepaskannya bahkan seumur hidupnya, bisa jadi seperti itu.
"Ya Tuhan! Bagaimana bisa saya melupakan permintaan Mami tadi?" Delvin segera beranjak bangun dari tempat tidurnya, dan berjalan menuju lantai satu.
Berjalan cepat untuk menuju ruang keluarga yang letaknya kebetulan tidak begitu jauh dari anak tangga itu. Delvin segera masuk untuk melihat Nikita dan Agung tengah duduk di sana.
"Mami, Papi," sapa Delvin dengan senyum yang mengembang pada bibirnya.
Segera mengambil tempat duduk dan melihat kedua orangtuanya itu dengan tatapan serius.
Nikita sendiri segera beranjak untuk menghampiri Delvin dengan tangan yang menyentuh lembut pundak sang anak.
"Nak, bagaimana keadaan kantor tadi?" tanya Nikita yang mulai sedikit berbasa-basi, tapi dengan suara yang begitu lembut dan bersahabat.
Delvin tersenyum. "Kantor aman dong, Mam. Oh iya, mau bicara penting, ya?" tanya Delvin dengan mimik seriusnya.
Nikita mengangguk pelan. Ia memang menyuruh Delvin untuk menghampirinya karena ada beberapa hal yang hendak dibicarakan sekarang ini, dan itu mengenai Lavanya tentunya.
"Iya, Mami mau bertanya dengan kamu. Bagaimana tadi siang? Sudah bertemu belum dengan Lavanya?" Nikita mengangkat salah satu alisnya dan menatap Delvin penuh harap.
Delvin langsung menghela napas. Ternyata kedatangan Lavanya ke kantornya itu atas perintah dari Nikita, dan entah ada maksud tujuan apa sebenarnya di sini. Ia sendiri pun bahkan tidak mengetahuinya sama sekali.
Memang benar-benar menyebalkan, jika saja tujuannya itu untuk mendekatkan mereka kembali. Setelah hubungan itu hancur berantakan, karena ulah Lavanya sendiri.
"Mami, buat apa sih nyuruh Lava pergi ke kantor?"
"Jelas biar kamu bisa dekat dengan dia lagi. Memangnya, kamu pikir untuk apa lagi?" Nikita kini bertanya pada Delvin dengan mata tajamnya.
Agung yang melihat kebingungan di wajah putranya, kini ikutan angkat bicara. "Sudah! Berarti kalian berdua tadi sempat bertemu, bukan? Itu saja sudah cukup untuk permulaan, Mami."
Nikita menoleh ke arah Agung yang tatapannya masih saja fokus untuk melihat ke layar televisi yang ada di hadapannya itu.
"Memang benar itu adalah awal yang baik, tapi itu juga adalah awal yang memalukan," sindir Nikita yang sempat mendapatkan cerita langsung dari Lavanya sewaktu masih ada di kantor Delvin--anaknya itu.
Delvin mengernyitkan keningnya. "Sebuah awal yang buruk? Memangnya Delvin di sana itu berbuat apa?"
"Kamu bahkan sama sekali tidak melayani Lavanya dengan baik di sana. Alih-alih menemani berkencan atau apa pun itu, ini malah sibuk saja dengan kerjaan seolah tidak ada orang sama sekali." Nikita kini berbicara panjang lebar yang membuat Delvin menghembuskan napasnya.
Agung kini mulai tertarik untuk mendengarkan celotehan dari Nikita. Ia merasa apa yang dikatakan barusan itu, memang benar.
Namun, bukankah itu datangnya di saat jam kerja berlangsung? Rasanya bahkan sama sekali tidak etis, jika harus meninggalkan tanggung jawab seperti itu, hanya untuk mengajak seseorang jalan keluar.
Agung sendiri sangat tidak setuju untuk hal itu.
"Mam, Lava datang di saat jam kerja mulai, mana mungkin Delvin mengajaknya keluar," adu Delvin dengan tatapan meyakinkannya. "Lagipula, jika berada di jam istirahat pun, sebenarnya sih ogah!"
"Delvin! Bersikaplah yang benar! Mami sama sekali tidak pernah mengajarkan sama kamu hal buruk seperti ini," tegur Nikita dengan tatapan nyalang.
Delvin menghembuskan napas kasar. "Maaf."
Agung kini mengelus lembut pundak milik Nikita. Tujuannya hanya untuk menenangkan amarah yang terasa memuncak itu, karena sama sekali tidak baik.
"Sudah, sudah! Kenapa kalian berdua malah bersitegang seperti ini?"
"Apa Papi lihat? Delvin berbicara kasar sekali, dan Mami tidak menyukainya sama sekali."
Agung tersenyum. "Delvin, kamu tidak boleh ya bicara seperti itu. Sangat buruk jika didengar oleh orang lain."
"Iya, Papi," lirih Delvin dengan kepala yang tertunduk.
Agung begitu sangat berwibawa di hadapan Delvin juga Nikita. Setiap kalimat yang meluncur dari mulutnya itu, selalu saja terdengar menenangkan.
Nikita kini menoleh ke arah Agung--suaminya. "Sudah begitu saja negur Delvin?"
"Memangnya aku harus menggunakan cara yang bagaimana lagi untuk negur Delvin?" tanya Agung dengan kekehan ringan yang keluar dari mulutnya itu.
Nikita tersenyum smirk. Ia memiliki ide tersendiri untuk menghukum Delvin atas ketidaksopanannya dalam menerima tamu--Lavanya maksud mereka.
"Delvin!"
"Iya, Mi. Apa benar ... Delvin akan dihukum lagi?"
Nikita mengangguk dengan senyum penuh kemenangan yang terukir pada bibirnya. "Iya, kamu masak sana untuk makan malam."
"Mami! Itu sungguh? Delvin ... yang melakukannya?" tanya Delvin dengan wajah pucat.