Chereads / Apakah Kita Bisa Menyatu? / Chapter 23 - Chapter 23

Chapter 23 - Chapter 23

Pagi yang sangat cerah ini, Ilona mengajak Kenzo untuk mengantarkannya jalan-jalan di sekitar rumah sakit. Ia sudah terlalu lama untuk berada di sebuah ruangan itu, dan rasanya sangat bosan juga.

Kenzo menyanggupi permintaan dari adik kesayangannya tersebut. Ia pun mengajak Ilona untuk jalan-jalan dan berhenti di taman rumah sakit, sekaligus untuk menjemur di hangatnya mentari pagi.

"Dek," panggil Kenzo, dengan tangan yang memberikan minuman mineral untuk Ilona.

Ilona yang tengah menatap lurus ke depan, kini menengok ke arah sang kakak. Ia menatapnya dengan salah satu alis yang kini terangkat naik.

"Kenapa, Kak?" tanya Ilona dengan bibir yang tersenyum tipis. "Ada yang mau dibicarakan tidak?"

Kenzo menatap Ilona yang kini duduk di atas kursi roda. Perasaannya juga dituntut untuk tabah, ketika melihat keadaan yang tidak lagi sama.

Namun, anggap saja jika sekarang ini adalah sebuah ujian. Dan semua orang hanya bisa berdoa untuk hal-hal terbaik, agar secepatnya segera hadir.

"Beberapa hari ini, kamu begitu sangat antusias untuk melakukan pengobatan. Lalu, apa yang tubuh kamu rasakan sekarang ini?" Kenzo menatap adiknya dengan tatapan sendu.

Ilona menarik napas pelan, dan merasakan hangatnya mentari pagi. Ia kemudian tersenyum dan menatap Kenzo intens.

"Ilo sekarang sudah lebih baik, ketimbang beberapa hari kemarin, Kak. Jangan risau ya, karena pasti sebentar lagi Ilo sembuh," papar Ilona dengan jelas.

Kenzo tersenyum. "Ya sudah, Kakak bahagia dengarnya."

"Iya, Kak. Ilona sebenarnya ada risau sedikit," ungkap Ilona dengan wajah yang sendu.

Kenzo mengulas bibirnya dan tersenyum tipis. "Kamu risau kenapa? Apa ada masalah?"

"Iya, sebenarnya Ilona ... takut jika nanti tidak bisa jalan seperti dulu lagi."

"Kamu bisa, Dek! Kan Kakak sedang mengusahakan untuk mendapatkan orang khusus untuk membantu kamu terapi, jangan risau lagi, ya." Kenzo menenangkan Ilona untuk tidak perlu mengkhawatirkan hal seperti itu.

Kenzo dan Ilona tengah asyik berbincang satu sama lain, hingga akhirnya obrolan mereka terhenti saat Kenzi datang dengan tangan yang membawakan makanan.

"Kakak bawa apa itu?" tanya Ilona antusias.

Kenzi menyerahkan satu bungkus makanan pada Ilona. Ia juga tidak lupa untuk memberikannya pada kakaknya itu, dan kini mulai mengambil tempat duduk di sampingnya.

"Ilo, kamu mau tetap di sini atau kita pulang di Indo?" Kenzi menatap Ilona dengan raut wajah yang sangat antusias.

"Ilona mau pulang ke Indonesia saja, Kak. Kangen sama Ibu dan Ayah di sana," ucap Ilona mantap.

Kenzo sendiri tidak banyak mengetahui rencana dari Kenzi. Otomatis, ia hanya diam untuk menyimak pembicaraan mereka berdua saja, dengan memakan makanan yang diberikan padanya itu.

Kenzi mengangguk mantap. Ia tersenyum lebar, dan menatap dua orang bergantian, dan berniat untuk menceritakan semuanya pada mereka.

"Dengarkan aku, sekarang mau memberi tahu hal yang sangat penting."

"Apaan itu, Kak? Ilona mau denger dong!"

"Dengerin cerita Kakak, tapi kamu juga sambil makan, oke?"

"Iya, Kak, Ilona makan sekarang juga."

Kenzi tersenyum mendengarnya. "Kakak sudah menemukan orang yang tepat dan berpengalaman untuk membantu kamu terapi."

Kenzo yang asyik makan, langsung berhenti dan menoleh ke arah Kenzi yang tengah berbicara. "Seriusan, kamu?"

"Iya, Kak. Makanya aku nanya ke Ilo, mau menetap di sini atau pulang tadi, karena dia ada di Indonesia juga," ungkap Kenzi mantap.

Ilona tersenyum lebar. Ia tidak sabar untuk pulang, dan memeluk ibunya yang sudah sangat dirindukan.

"Kapan kita pulang, Kak? Ilo tidak sabar sekali buat bertemu dengan Ibu dan Ayah juga."

"Nanti, untuk pulang adalah surprisenya."

Ilona langsung merengut kesal mendengar pernyataan dari Kenzi barusan. Padahal ia ingin sekali untuk mengetahui jadwal kepulangannya itu, tapi sayang sekali malah disembunyikan seperti ini.

Kenzo dan Kenzi tertawa terbahak kala melihat ekspresi Ilona yang kesal itu. Mereka berdua tidak bisa menahannya, lantaran sangat menggemaskan sekali.

Kenzo kini menghampiri Ilona dan berdiri di belakangnya. "Kita akan pulang ... besok nanti."

"Seriusan, Kak? Ah! Ilona benar-benar tidak sabar sekali, ingin segera pulang dan bertemu dengan orang-orang yang ada di rumah," keluh Ilona dan satu butiran bening lolos dari pelupuknya.

Bisa dibilang itu adalah air mata haru. Bagaimana tidak? Tinggal di negara orang, sangat tidak enak--untuk Ilona.

Di samping merasa asing dengan lingkungan yang ada di sini, dan juga makanannya pun tidak sesuai dengan lidah mereka yang memang sudah sangat mencintai masakan Nusantara.

Kenzi menggeleng pelan. Benar-benar sangat menggemaskan sekali melihatnya seperti itu, ia jadi tidak bisa menahan tawanya.

"Nanti siang akan ada pemeriksaan terakhir Dek, itu kata dokter."

"Baiklah, Kak!"

Ilona sangat antusias untuk melakukan apa pun agar bisa segera kembali ke tanah air. Merasa sangat bahagia, mendengar kabar yang tidak terduga dari kedua kakaknya itu.

Sedangkan, di lain tempat, Delvin merasa sangat sedih sebab akhir-akhir ini tidak pernah berjumpa dengan pujaan hatinya. Semangat yang dulu ia punya, kini terkikis begitu saja.

Nikita sampai dibuat heran dengan perubahan sikap dari Delvin ini. Dulu sangat jarang sekali untuk merokok, tapi sekarang hampir setiap menit tidak pernah lepas dari benda tersebut.

Pun sama dengan minuman alkohol yang sangat dilarang keras untuk diminum, tapi Delvin meminumnya. Sebagai pelampiasan hati yang resah, dan tidak mengerti harus melakukan apa.

"Ilo, kamu cepat datang, ya," gumam Delvin saat tertidur di sore hari.

Delvin kini jarang sekali keluyuran malam, dan sering menghabiskan waktu di dalam kamar.

Nikita masuk ke dalam kamar Delvin yang kini berubah menjadi kapal pecah, karena banyak sekali sampah di dalamnya.

"Delvin! Bangun kamu!" teriak Nikita sembari menggoyangkan tubuh anak lelakinya ini untuk segera bangun dari tidur sore menjelang maghrib.

Delvin menggeliat pelan di atas tempat tidurnya. "Ada apa sayang? Hmm ... kamu mau apa? Katakan saja, nanti aku akan belikan asal kamu cepat pulang, ya."

Nikita mengernyitkan dahinya. Mendengar Delvin yang meracau aneh disaat tidur, membuatnya heran.

"Kamu kenapa sih, Nak? Ngomongnya aneh begitu, memang sedang mimpi apaan sih?" gerutu Nikita yang tetap untuk menggoyang tubuh Delvin untuk segera bangun.

Delvin yang sangat terusik karena tubuhnya terus menerus digoyang seperti ini, langsung membuka matanya.

"Mami? Kenapa ada di sini?"

Nikita menghembuskan napasnya. "Akhirnya kamu bangun juga! Tidak baik tidur menjelang maghrib seperti itu, cepetan bangun."

Delvin mengucek matanya. "Memang Delvin bangun mau ngapain, Mam? Apa dia sudah pulang?"

NIkita menatap tajam Delvin. Ia merasa heran sekaligus bingung dengan anak lelakinya ini, terasa sangat aneh dan bahkan hampir tidak dikenalinya belakangan ini. "Maksud dari dia itu siapa, Delvin? Kamu mau ketemu sama Lava, ya? Nanti Mami akan undang dia untuk makan malam di sini."