Delvin bangun dari tidurnya dan menatap Nikita dengan intens. Ia menghela napas lelah, saat mendengar nama Lavanya dipanggil di hadapannya pula.
"Mami, bisa tidak jangan bahas Lava di depan Delvin?" Delvin beranjak dari duduknya dan berniat untuk pergi ke balkon. Belum juga membuka pintunya, Nikita membuka suara.
"Mau ke mana kamu? Ini sudah menjelang maghrib, dan gak baik ada di luar seperti itu," tegur Nikita pada Delvin yang membuat urung untuk membuka pintu balkon. "Lebih baik, itu hordeng tutup!"
Delvin berjalan gontai dan mulai melakukan apa yang dikatakan oleh Nikita tanpa membantah sama sekali. Ia mendengkus kesal, sebab tidak diperbolehkan keluar untuk menikmati rona senja di langit yang kini sudah mulai berwarna jingga.
Delvin mengambil duduk di kursi sofa yang ada di depan tempat tidur. Tatapan matanya kosong, karena terus-menerus memikirkan keberadaan Ilona yang sampai sekarang saja belum diketahui olehnya sama sekali.
Nikita ikut duduk di samping Delvin, dan memperhatikan anak lelakinya itu yang sudah jauh berbeda.
Mata sayu, wajah sendu, dan rambut yang urakan. Kondisi Delvin yang sekarang benar-benar tidak tertata rapi, tidak seperti waktu dulu yang tampilannya selalu saja segar dan berseri.
Semua hal yang ada di masa lalu, Delvin tidak lagi melakukan hal itu. Nikita benar-benar melihat perubahan anaknya itu, dan sampai dibuat bingung.
"Kamu ini sebenarnya kenapa sih? Ada masalah apa?" tanya Nikita, dengan tangan yang menyentuh pundak Delvin lembut.
Delvin masih dengan tatapan kosongnya. Ia hanya menggeleng pelan atas pertanyaan dari Nikita, tidak berminat untuk membuka suara apalagi sampai bercerita--menurutnya semua itu percuma.
"Mami datang ke sini mau ngapain?" Delvin balik bertanya pada Nikita dengan pandangan yang lurus ke depan.
Nikita menjewer telinga Delvin hingga sang empunya berteriak kesakitan. "Enak tidak?"
"Sakit, Mami!" keluh Delvin dengan ringisan pelan yang keluar dari bibirnya. "Kenapa sih tiba-tiba menjewer gitu? Kayak Delvin masih anak kecil aja deh."
Nikita merasa puas dengan rintihan yang keluar dari mulut Delvin. "Mami jewer telinga kamu karena ... pertama, ditanya malah balik nanya. Dan yang kedua, kamu melamun mulu."
"Alasan yang tidak logis sama sekali," gerutu Delvin kesal.
Nikita tidak perduli dengan racauan dari anaknya itu, dan malah tertawa kecil. Ia beranjak dari duduknya, dan menatap Delvin yang masih mengusap-usap telinganya yang memerah.
"Nanti cepat turun buat makan malam," ucap Nikita pada Delvin sembari berjalan menuju pintu.
Delvin menatap Nikita dengan malas. Ia enggan untuk melakukan makan malam ini, karena lebih nyaman berada di kamar seperti ini. Sembari membayangkan Ilona yang datang menemuinya dan memperbaiki hubungan yang sudah kandas itu.
Delvin masih saja berharap jika hubungannya itu tidak benar-benar hancur, karena mau bagaimanapun yang dilakukannya adalah keterpaksaan.
"Lihat saja nanti ya, Mam. Delvin kalau mau turun pasti turun kok," kata Delvin, sembari merebahkan tubuhnya di atas sofa kembali.
Nikita melihat Delvin sembari menghela napas, dan berlalu pergi begitu saja.
Di dalam kamar, Delvin menatap langit-langit dengan tatapan kosongnya. Ia merasa sangat rindu dengan sosok Ilona yang entah saat ini berada di mana, dan sama sekali tidak diketahuinya.
Meskipun setiap hari Delvin tidak henti untuk mencari keberadaan pujaan hatinya itu. Baik rumah sakit ataupun mengawasi kediamannya, juga ia menyisir di berbagai tempat.
"Ilo, kamu pergi ke mana?" gumam Delvin dengan tangan kini mulai mengeluarkan rokok dan menyelipkannya di jari. "Tolong kembali secepatnya ya, aku rindu sekali."
Asap rokok kini keluar dari mulut Delvin dan membuat kamarnya penuh dengan bau tersebut.
Tolong katakan, bagaimana caranya untuk bisa tetap normal disaat orang yang paling kita sayang pergi begitu saja. Memang benar, Delvin terlalu pengecut untuk mempertahankan hubungannya hingga melepaskan sang pujaan hati begitu saja.
Namun, saat kini Ilona tidak ada lagi di sisinya, Delvin merassa sangat hampa. Karena kehidupan sehari-hari sudah terbiasa dengan segala ocehan dan sikap manjanya yang begitu menggemaskan.
"Delvin! Cepat turun!" Suara teriakan itu kini terdengar, hingga membuat Delvin terkejut dan lamunan indahnya seketika buyar.
"Mami berisik sekali sih? Tidak tahu apa jika anaknya sedang bahagia karena lamunannya sendiri, malah disuruh secepatnya turun!" Delvin menggerutu kesal. "Malas sekali!"
Delvin mau tidak mau akhirnya keluar dari kamarnya, dan berjalan dengan gontai untuk menuruni anak tangga.
Semua keluarga kini sudah berada di meja makan, dan satu orang asing ikut berkumpul bersama mereka semua.
Lebih tepatnya orang itu sangat asing bagi Delvin, tapi tidak untuk semua orang yang ada di sana.
"Delvin," ucap Nikita dengan senyum ramah dan menatap perempuan yang duduk tepat di sampingnya.
Delvin merotasikan bola matanya malas. "Untuk apa Mami undang dia ke sini? Tidak ada gunanya," ketus Delvin, sembari mengambil duduk di salah satu kursi.
Lavanya--orang itu adalah dirinya sendiri. Delvin sangat malas bertemu dengannya, sedangkan ia tidak mengetahui kenapa itu bisa terjadi?
Nikita menatap Delvin tajam. "Kamu ini benar-benar tidak tahu sopan santun ya? Hormati tamu yang sudah menyempatkan waktunya untuk datang ke sini, bukan ketus seperti itu!"
Delvin tidak perduli. Apa pun yang dikatakan oleh Nikita sama sekali tidak didengarnya, karena yang merasakan sakitnya di masa lampau itu dirinya sendiri, bukan orang lain.
Agung yang melihat Delvin sanga tidak sopan, kini langsung menegurnya. "Berbicaralah yang baik,, Delvin! Dia itu tamu malam ini, dan bersikaplah sopan."
Delvin seketika menoleh ke arah Agung dan menatapnya datar. Segera saja bangun dari duduknya, dan menatap semua orang yang ada di meja makan tersebut. "Dia tamu buat kalian semua, dan tidak ada urusannya dengan aku."
Melangkahkan kakinya cepat untuk keluar--kali ini tidak ingin masuk ke dalam kamar, karena sangat muak dan butuh suasana baru.
Delvin mengambik motornya untuk membawanya keluar dari rumah ini. Tujuannya sekarang adalah menuju bar dan berniat untuk meminum alkohol di sana, karena pikirannya sangat kacau dan sudah penuh dengan bayang-bayang Ilona.
"Delvin! Mau pergi ke mana kamu?" Nikita berteriak saat melihat Delvin melangkah dengan cepat untuk keluar dari rumah.
Pertama kalinya mereka melihat Delvin bertingkah sangat tidak sopan dan sangat memalukan seperti itu, hingga membuat NIkita dan Agung merasa malu.
"Mami, biarkan saja dia pergi jauh, ketimbang ada di sini dan berperilaku sangat tidak sopan seperti tadi," titah Agung dengan santainya. "Kamu makan saja Nak."
Lavanya mengangguk dan tersenyum canggung ke arah Agung. Sikap Delvin barusan membuatnya cukup malu, dan seakan tidak ada harganya sama sekali.
"Apa kesalahanku di masa lalu membuatmu membenci Delvin? Jika iya, kenapa kamu tidak melupakan semuanya?" batin Lavanya saat melihat Delvin pergi.