Chereads / Apakah Kita Bisa Menyatu? / Chapter 17 - Chapter 17

Chapter 17 - Chapter 17

Lavanya menatap Delvin dengan sendu. Ia hampir saja menjatuhkan air mata, jika saja dering telepon tidak ada umtuk mengalihkan perhatian.

Delvin menatap tajam Lavanya. Kehadiran wanita itu saja sudah cukup membuatnya risih, apalagi ditambah dengan suara bersik dering telepon itu, membuatnya semakin muak.

"Angkat tuh telepon kamu, dan ... sana pergi keluar!" bentak Delvin pada Lavanya yang tengah menatap ponsel miliknya.

"Delvin, jangan kasar-kasar begitu sama aku," peringat Lavanya yang kini berjalan untuk duduk di salah satu sofa yang ada di ruangan Delvin.

Lavanya langsung mengangkat panggilan tersebut, dan wajah Nikita--ibu Delvin terpampang jelas.

[Tante, ada apa?] tanya Lavanya dengan senyum ramahnya yang mampu menghipnotis siapa pun yang melihat.

Namun, berbeda dengan Delvin. Ia sangat muak dengan perilaku dari Lavanya--sang mantan yang kini kembali dalam hidupnya, entah untuk tujuan apa lagi, dirinya bahkan tidak mengetahui itu.

Nikita terkekeh pelan. [Sayang, jangan Tante dong panggil aja Mami, biar sama kayak Delvin.]

Lavanya mengangguk pelan. Ia akan memanggil Nikita sesuai dengan apa yang diinginkannya, yaitu Mami.

[Iya, Mami. Ava sekarang ada di kantornya Delvin nih,] unjuk Lavanya dengan senyumnya yang menawan.

[Kamu ketemu sama Delvin, kan?]

[Iya, Ava ketemu kok sama dia. Itu lagi duduk di mejanya.] Lavanya segera mengarahkan kamera belakang pada Delvin yang tengah sibuk dengan berkas-berkasnya.

Alih-alih memperhatikan Lavanya yang tengah mengangkat panggilan telepon dari Nikita, Delvin memilih untuk sibuk dengan semua tumpukan berkas yang harus diberikan bubuhan tanda tangan olehnya.

Nikita menggeleng pelan saat melihat Delvin yang begitu sibuk dengan pekerjaannya. Benar-benar anak yang tidak mengerti etika menurutnya, karena seorang tamu itu harusnya diperlakukan dengan baik, bukan dibiarkan begitu saja.

[Mami minta maaf ya atas kelakuan Delvin yang tidak sopan sama kamu,] pinta Nikita dengan senyumnya yang merekah. [Lain kali kita lanjut lagi, Mami masih banyak kerjaan.]

Lavanya mengangguk tidak masalah. Tidak lama sambungan telepon kini terputus, membuatnya hanya diam dan melihat Delvin.

Lelaki itu kini menatap tajam Lavanya yang tengah duduk cukup jauh dari hadapannya itu. Sedikit kerinduan pasti ada di dalam hati, tapi kala mengingat apa yang pernah terjadi di masa lampau antara mereka berdua, kini yang tersisa hanya benci.

"Lava! Saya capek buat ngusir kamu dari sini, tapi saya harap ... kamu mampu memahami." Delvin kini berbicara dengan suaranya yang terdengar sangat dingin.

Lavanya menatap Delvin dengan raut wajah yang sangat terluka. Ia tidak menyangka, jika kehadirannya kembali di dalam hidup lelaki itu, hanya membuahkan penghinaan semata.

Bangkit dari duduknya, dan berjalan menuju pintu. Lavanya menoleh sekilas untuk melihat Delvin yang tak acuh dengan kepergiannya, lalu memilih untuk menutup pintu begitu saja.

"Untuk pertemuan pertama kita, mungkin kamu membenciku Delvin. Namun, lain waktu, aku pastikan kamu tidak akan bertingkah kasar seperti tadi," ucap Lavanya sesaat sebelum keluar dari ruangan Delvin.

Delvin terdiam di tempat duduknya. Menatap panggung Lavanya yang kini menjauh, dengan tatapan kosong.

"Sial! Dasar wanita licik, dia akan memperlakukan apa untuk saya tunduk dengannya coba? Semoga bukan dengan cara yang di luar nalar," harap Delvin sembari menepis pikiran buruk yang melintas.

Ketimbang memikirkan hal-hal yang tidak jelas, Delvin lebih memilih untuk menatap bingkai foto yang terpajang di meja kerjanya.

Di sana, foto Delvin dengan Ilona yang tengah tertawa renyah, tertampil dengan jelas. Di sebuah kafe yang merupakan tempat favorit mereka kala menghabiskan waktu bersama, itu tempat pengambilan gambarnya.

"Ilo, aku gak mungkin kok untuk mengkhianati kamu," gumam Delvin dengan senyum yang susah payah untuk dilakukan.

Ada gelenyar aneh yang tiba-tiba saja ada di dalam hatinya, Kala mengingat Ilona yang sekarang entah ada di mana, membuat Delvin frustasi dibuatnya.

Saat Delvin fokus dengan bingkai foto yang ada di dalam genggamannya, dan menatap kekasihnya dengan intens hingga melamun. Eva datang untuk mengejutkan dirinya dan membuat sadar jika tadi hanya hayalan saja.

"Pak Delvin!" Eva memanggil Delvin sedari tadi, tapi tidak ada jawaban sama sekali. Padahal posisinya ini, hanya terhalang oleh meja dari sang bos.

Delvin mengerjap beberapa saat. "Eh, Eva? Ada apa kamu ke ruangan saya? Mana tidak manggil sama sekali pula," protes Delvin sembari membenarkan duduknya.

Eva menggeleng pelan. "Bapak ini, saya dari tadi manggil terus-menerus juga, tapi malah diam dan melamun saja ... sembar pegang itu foto."

Menatap bingkai foto yang kini masih ada di tangannya, Delvin tersadar jika ucapan Eva itu ada benarnya. Malu? Tidak sama sekali. Ingatlah pepatah, 'bos selalu benar'.

"Sudahlah! Kamu ke sini ada apa?"

Eva segera mengulurkan beberapa berkas di hadapan Delvin yang hanya menatapnya tidak mengerti. "Ini beberapa berkas yang harus anda pelajar, Pak."

"Berkas ini materi untuk proyek yang besar itu?"

"Iya, benar. Besok di jam 11.00, kita akan melakukan meeting di salah satu restoran yang sudah kita reservasi," terang Eva dengan mantap.

Delvin mengangguk pelan. Oke, tugasnya ini sudah biasa, bertemu dengan kolega dari perusahaannya, dan melakukan meeting untuk membahas suatu proyek yang besar seperti ini.

Sebenarnya tidak begitu sulit untuk seorang Delvin melakukannya, hanya saja entah kenapa semenjak tidak ada Ilona di sisinya, seolah tidak ada semangat lagi.

"Terima kasih, nanti saya akan pelajari semua ini. Kamu masih ada yang ingin disampaikan tidak?" tanya Delvin dengan tangan yang mulai mengambil salah satu berkas, dan kini membacanya.

Eva menggeleng dan tersenyum. "Hanya itu saja, Pak. Saya pamit untuk kembali bekerja," ucap Eva seraya membalikkan badan untuk kemudian pergi dari ruangan Delvin.

"Ilo, aku dapat job baru lagi nih, doain semoga menang seperti biasanya, ya," gumam Delvin dengan mata yang menatap bingkai foto itu.

Bisa dibilang, Ilona adalah semangatnya untuk menjalani hari, tapi saat tidak ada di sisinya entah kenapa seakan rapuh begitu saja.

Di lain tempat, Nikita kini duduk di meja makan dengan semua teman arisannya ada di sana.

Mereka semua begitu asyik untuk bercerita tentang kehidupannya, dan ada juga yang sibuk membahas tentang kegiatan bisnisnya.

Nikita sendiri hanya diam dan mendengarkan semua orang yang berbicara. Terlalu malas untuk bercerita hal yang tidak penting, kecuali jika ada yang bertanya, maka ia akan menjawab sebisanya.

"Jeng Nikita," panggil salah satu teman arisan dari Nikita.

Nikita yang tengah asyik tertawa karena lelucon dari seseorang, kini menoleh saat namanya dipanggil.

"Iya, Jeng, kenapa?"

"Anak Jeng itu ... ada berapa, ya?" tanya perempuan itu yang ingin mengetahui anak dari Nikita.

Nikita tersenyum ramah dan terkekeh pelan. "Buat apa menanyakan hal itu?"