Mina berjalan menyusuri kompleks Tama dengan terus bergumam kesal mengingat apa yang akan terjadi pada dirinya jika ia benar-benar jadi tidur dengan Tama di rumah.
"Hah ... harus ke mana coba aku. Apa aku harus tidur di jalanan. Kenapa pula aku tadi keluar rumah?! Seharusnya aku tidur saja di ruang tamu. Ah ... tidak! Tama tidak mengizinkannya." Mina terus bergumam sepanjang perjalanan hingga akhirnya ia sampai di pinggiran jalan besar.
Ia melihat sebuah motel kecil di persimpangan lampu merah yang memiliki jarak 500 meter dari tempatnya berdiri.
"Apa aku tidur di sana sa–"
Greb ...
Tama mencekal pergelangan tangan Mina dan membuat gadis itu menoleh cepat dengan memasang posisi menyerang. Namun saat ia tahu jika itu suaminya, ia malah menatapnya dengan tatapan bingung dan aneh.
"Ken–"
"Kenapa kamu pergi sejauh ini? Ayo pulang. Aku hanya bercanda. Kamu boleh tidur di mana saja. Rumahku juga rumahmu, bodoh!" marah Tama, menatap wajah Mina dengan tatapan kesal.
Mina yang melihat itu hanya bisa mengerjapkan matanya dan menatap kondisi pakaian Tama. Ia hanya mengenakan celana piama dan kaos oblong tanpa mengenakan alas kaki.
Untung saja ini sudah malam dan tidak banyak orang yang berlalu lalang di kompleks elite ini saat jam seperti ini. Kan tidak lucu jika nanti ada seseorang yang memotret Tama dalam keadaan seperti ini.
"Kenapa tidak memakai alas kaki?! Kamu sangat panik melihatku keluar rumah sampai melupakan hal dasar ya?!" ucap Mina, malah menggodanya.
Tama menatapnya dengan mengerjapkan matanya polos dalam beberapa saat kemudian, sebelum akhirnya ia merasa kesal dengan apa yang tengah di lakukan olehnya.
"Kamu tidak kenal takut ya?! Aku ini suamimu loh," ucap Tama, menepuk jidatnya kasar.
Namun Mina malah mengulas senyumannya lebar dan menatap wajah Tama dengan tatapan lekat.
"Karena kamu suamiku, bukannya aku harus tambah berani? Aku akan menjadi orang penting di dalam hidupmu, jadi kamu tidak akan mungkin menyakitiku," ucap Mina, bahagia.
Tama terpesona. Seperti biasa, Mina selalu terlihat cantik tapi kenapa kali ini ia memiliki pesona yang sangat memikat. Terlebih lagi perkataannya Mina barusan cukup memperkuat damagenya.
Tama sampai bengong beberapa saat sebelum akhirnya ia sadar dengan perasaannya saat ini.
'Aku tidak mungkin suka dengan bocah secepat ini, kan? Ini sangat tidak masuk akal,' batin Tama, berpikir keras.
"Padahal tadinya aku mau tidur di motel yang ada di depan sana. Tapi kamu sudah terburu menemukan aku. Cukup hebat. Padahal jalanku sangat cepat tapi sepertinya kamu berlari saat pergi ke sini ya?" tanya Mina, menatap wajah Tama yang mulai kembali menjadi kesal olehnya.
"Tidak penting. Ayo pulang. Kita ini masih pengantin baru dan kamu sudah kabur dari rumah hari ini juga? Kalau mau kabur besok saja. Tapi aku pasti akan menemukanmu!" ucap Tama, meliriknya dengan tatapan dingin.
"Janji?"
"Janji untuk apa?"
"Yang barusan kamu katakan. Kalau aku pergi, kamu akan selalu menemukan aku. Berjanjilah kepadaku!" Mina menatap Tama lekat. "Berjanjilah."
Tama menyodorkan kelingkingnya ke depan Mina. "Aku berjanji. Kelingkingmu?! Bukankah anak-anak selalu membuat janji seperti ini? Apakah aku salah? Kamu terlihat kebingungan sekarang."
Mina mengerjapkan matanya beberapa kali dan mengulas senyumannya lembut seraya melingkarkan kelingkingnya ke kelingking Tama. "Dasar kekanak-kanakan."
"Apa?"
"Tidak ada. Sekarang kita pulang?" tanya Mina, menatap sekelilingnya yang sangat sepi. "Ah ... benar, pakai ini!"
Mina melepaskan sandalnya dan memberikan benda itu kepada Tama. Sementara dirinya sendiri hanya mengenakan kaos kaki yang cukup tebal sebagai alas kakinya.
"Apa-apaan ini? Pakai saja. Sandal kamu tidak akan muat di kakiku."
"Pakai saja. Lebih bagus kalau kamu masih mengenakan alas kaki. Jika kaki si Tuan Tama sang pengusaha terkenal ini tergores kerikil, bisa saja kamu tidak akan bisa mengenakan sepatu besok pagi. Pakai!" tegas Mina, memerintah.
Tama pun menghela napasnya kasar dan menuruti permintaannya sebelum akhirnya ia menggendong Mina tiba-tiba.
"Kamu pikir ini sinetron. Turunkan aku. Aku hanya tidak memakai sandal. Aku masih bisa berjalan!" marah Mina, menatap tajam Tama.
"Terserah aku. Kamu sudah memberikan sandalmu. Biarkan aku melakukan ini. Aku juga tidak suka jika kaki istriku terluka."
"Wah ... menggelikan sekali. Kamu mengatakan hal seperti itu dengan mudah. Seakan-akan kamu benar-benar memperhatikan dan mencintaiku. Menggelikan sekali," ejek Mina, menatapnya geli.
Tama meliriknya pelan dan mengulas senyumannya lembut. "Rencananya memang seperti itu. Aku berencana menyukaimu."
Mina memutar bola matanya malas dan menatap wajah Tama dengan ekspresi dingin dan malas. "Terserah kamu saja. Aku tidak terlalu percaya dengan omongan laki-laki karena adikmu. Jadi berusahalah."
"Tentu saja. Kamu tidak perlu cemas."
Setelah itu keadaannya menjadi hening. Hanya ada suara angin dan jangkrik di sana. Malam hari yang cukup tenang karena tidak ada tetangga di dalam kompleksnya yang melakukan pesta seperti biasanya dan itu cukup membuat Tama bersyukur karena tidak akan ada yang mengganggu waktu tidurnya malam ini.
"Jangan tidur." Tama menatap Mina yang mulai kehilangan kesadarannya karena terlalu nyaman di gendongan Tama.
"Aku tidak tidur. Hanya jalan-jalan," sahut Mina, semakin merapatkan dirinya pada tubuh Tama.
"Tidak tidur tapi sudah berjalan-jalan ke mimpi. Sebentar lagi kamu akan tidur pulas dan aku akan memindahkan ke ranjang. Lalu bagaimana jika aku tidak akan meninggalkanmu dan tidur bersamamu?"
Grok ...
Tama langsung diam dan memandang wajah Mina yang benar-benar tidur dengan pulas sampil meletakkan kepalanya di sandaran pundaknya. Jika diperhatikan, wajah Mina benar-benar sangat dekat dengan lehernya dan itu sedikit membuatnya geli saat terkena embusan napasnya.
"Min, jangan tidur dalam posisi itu. Kamu membuatku geli," keluh Tama, terus menarik lehernya agar jauh dari Mina.
Namun semuanya percuma karena ia masih tetap bisa merasakan dengan jelas bagaimana rasa embusan napas gadis itu saat mengenai wajahnya.
"Argh ... itu menggelikan." Tama langsung menghempaskan tubuh Mina begitu saja dan membuat gadis itu bangun secara tiba-tiba dan berputar di udara agar ia tidak jatuh dengan cara yang menyakitkan.
Namun sayangnya, Mina lupa jika ia sedang bertumpu pada aspal dan membuat tangannya tergores tanpa sengaja pada permukaan kasar tersebut.
"Ah ... tetap saja sakit. Kenapa kamu menjatuhkan aku!" marah Mina, menatap suaminya dengan pandangan horor.
Tama yang melihat itu hanya bisa tersenyum kecut dan meminta maaf kepadanya.
"Maafkan aku. Tadi kamu bernapas di dekat sini. Aku geli," ucap Tama, dengan gelagat sungkan sambil menunjuk lehernya.
Mina mengerjapkan matanya polos dan menatap Tama dengan pandangan bengong. 'Hah? Ia bisa berlaku menggemaskan?!' batinnya, terkejut.