"Kakak, di mana Tuan Azel?" tanya Amanda, dengan nada girang.
Arie yang tengah menonton TV dengan Ibu Mertuanya langsung menoleh bersamaan dengan Hera menatap wajah Amanda.
"Karena Nonanya sudah tidak tinggal di sini, jadi ia pindah ke dekat rumah mereka. Hari ini ia pindahan. Kamu bisa membantunya jika kamu meminta izin kepada Azel langsung," jelas Arie, menggeleng-gelengkan kepalanya ampun melihat kelakuan adiknya.
Amanda yang mendengar itu tiba-tiba merasa tidak senang dengan hal tersebut dan menatap wajah Hera dengan tatapan kesal tanpa sebab.
Hera yang melihat itu hanya bisa bersikap dingin dengan tidak menggubrisnya dan kembali mengalihkan pandangannya ke arah TV.
"Itu sebabnya Mina mulai tidak menyukainya," gumam Hera, dengak nada lirih dan terkesan dingin.
Arie yang mendengar itu dengan jelas hanya bisa diam dan tidak lagi memperhatikan adiknya yang terlihat begitu kesal dengan fakta Azel yang tidak akan berada di rumah ini mulai sekarang.
"Maafkan kelakuannya, Ibu. Dia masih muda dan labil. Ia dan Mina pasti bisa menyelesaikan kesalahpahaman di antara mereka. Ibu tidak perlu cemas," ucap Arie, menatap raut wajah Hera yang terlihat buruk.
"Baik bagaimana? Kamu tahu adik iparmu juga tidak senang dengan Amanda dan tidak mau menemuinya. Jika masalahnya semudah itu, Ibu juga tidak akan mencemaskan keduanya."
Hera menghela napasnya kasar dan mengambil secangkir tehnya di atas meja.
"Aku tidak memintamu memperhatikan sikap Amanda atau memarahinya. Tapi sikap Amanda yang egois seperti itu mungkin akan membuat Mina menjauh perlahan-lahan darinya. Kamu tahu sikap Mina, kan?" Hera menyesap sedikit tehnya dan meletakannya kembali ke atas meja dengan anggun.
"Ya, Bu. Aku tahu dengan jelas bagaimana sikap adik ipar. Dari pada menghadapi masalah yang merepotkannya, ia lebih suka menghindarinya sebelum memburuk. Walaupun ia terkesan lari dari masalah, tapi di beberapa situasi dia memang sangat pandai menghindari masalah tersebut agar tidak membesar," sahut Arie, mengulas senyuman lega dan menyesap tehnya dengan pandangan mata yang tidak lepas dari TV.
Hera tersenyum dan mengelus puncak kepala Arie lembut. "Aku tahu kamu tahu baik adik iparmu. Tapi ada baiknya jika kamu juga tahu bagaimana adikmu. Sepertinya dia seperti itu karena kamu kurang memperhatikannya."
"Bagaimana Ibu bisa berbicara soal kasih sayang kepadaku? Aku sudah memberikan semua yang dia mau. Bahkan barang-barang tidak penting dan tinggal di rumah ini walaupun aku tahu itu akan sangat merepotkan keluarga Ibu. Tapi kena–"
Sst ...
Hera menempelkan telunjuknya di depan bibir Arie dan mengulas senyumannya lembut. "Kamu pasti tahu bukan itu yang Ibu inginkan darimu, bukan?"
Arie terdiam dan menatapnya dengan tatapan ragu tapi di sisi lain ia juga merasa sedikit kesal karena Ibu mertuanya tidak mempercayai seberapa besar kasih sayangnya untuk adiknya.
"Kamu memang memberikan semua yang Amanda minta. Tapi kamu tidak pernah memberikan apa yang benar-benar ia inginkan dan malah memberikan hal itu kepada Adik Suamimu. Arie, sadar atau tidak tapi kamu lebih suka dan nyaman dengan Mina dari pada Amanda saat mengobrol bukan? Walaupun kamu tidak selalu memberikan hadiah kepada Mina, tapi orang yang selalu kamu ingat saat melihat benda-benda di mall itu Mina, bukannya Amanda. Benar, kan?"
Arie terdiam dan menatap wajah Ibu Mertuanya dengan kedua bola mata yang melebar. Banyak keraguan dan rasa bimbang di dalam matanya. Padahal ia hanya perlu menjawab 'tidak' tapi lidahnya terlalu kaku untuk mengucapkannya.
Hera tersenyum simpul dan melahap sebuah anggur. "Kamu tidak bisa menjawabnya, kan? Apa kamu tertampar realita? Sepertinya Ibu tepat sasaran ya?!"
Arie tidak membantah. Ia hanya diam dan menundukkan kepalanya setelah menyadari fakta-fakta tersebut.
"Apa kasih sayangku benar-benar berbeda?"
"Ya. Sangat. Bahkan Suamimu pernah mengeluhkan hal itu. Ia pernah berkata, bisa-bisa Mina di kira sebagai adik kandungmu, bukan adik kandungnya hahaha ... jika kamu melihat bagaimana ekspresi wajahnya saat itu, mungkin kamu akan tertawa. Arci benar-benar cemburu karena kamu lebih memperhatikan Mina dari pada dirinya."
Hera bercerita dengan nada riang dan tawa ringan. Namun entah kenapa Arie tidak bisa tersenyum seperti yang di lakukan oleh Ibu Mertuanya.
"Karena itu, berjanjilah agar kamu lebih mengutamakan adikmu sendiri dari pada Mina. Sekarang Mina sudah memiliki penjaganya dan kita tidak bisa terlalu dekat dengannya. Karena itu, mulai dekatlah dengan Amanda mulai sekarang, ya?" Hera menggenggam tangan Menantunya dengan lembut dan mengulas senyuman hangat agar Arie merasa tenang saat mendengarkan nasehatnya.
"Baik, Bu. Aku akan mencobanya mulai sekarang."
"Baguslah."
***
Tok ... tok ...
"Nona, saya membawakan baju yang Anda pesan kemarin. Apakah Anda sudah menerimanya? Karena saya sibuk, saya menitipkan kopernya pada Tuan Tama," jelas Azel, berdiri di depan pintu kamar Mina yang masih tertutup.
"Ah ... benarkah? Aku belum menerimanya. Kamu sudah sarapan? Makanlah bersamaku di sini. Sepertinya Tama juga sudah menyuruhmu sarapan tadi pagi. Aku harap kamu tidak menolak kebaikannya," ucap Mina, berjalan keluar dengan memakai setelan jas yang baru saja datang pagi ini.
"Benarkah? Saya sudah menitipkannya dari kemarin malam. Mungkin Tuan lupa memberikannya."
"Hem ... nanti aku akan menanyakan hal tersebut dengan Tama. Sekarang mari makan. Sepertinya semua orang sudah berkumpul di meja makan. Aku juga tidak biasa sarapan pagi. Tapi sepertinya Tama sangat keras akan hal ini. Semua orang harus sarapan terlebih dahulu sebelum bekerja." Mina berjalan menuruni tangga dan di ikuti oleh Azel.
"Benar, Nona. Tadi pagi juga saya sangat terkejut. Saya kira Tuan Tama akan marah karena saya datang terlalu pagi. Tapi beliau malah meminta saya masuk dan sarapan terlebih dahulu. Itu bukan keputusan yang buruk, malah saya tidak menyangka jika Tuan Tama benar-benar bersikap baik kepada para pekerjanya. Karena saat bertemu di acara resmi beliau terlihat dingin dan ketus."
"Benarkan?! Aku juga awalnya berpikir seperti itu. Tapi syukurlah jika dia orang yang baik. Jadi aku tidak perlu menghajarnya untuk menjadi orang baik. Bisa di bilang dia lolos dari tinjuku, hahaha ...." Mina tertawa keras dan membuat semua orang yang ada di ruang makan menatapnya dengan terkejut.
Semua pekerja di rumah itu duduk bersama di meja makan bersama dengan Tama. Namun saat Mina datang, semua orang langsung bangkit dan menepi dari meja makan dengan ekspresi wajah yang gugup.
"No-nona, makanannya sudah siap. Sebaiknya Anda segera makan sebelum semua makanannya menjadi dingin," ucap seorang wanita yang tidak di kenal oleh Mina tapi cukup jelas jika dia adalah asisten rumah tangga Tama.
"Ya? Barusan apa yang kalian lakukan?!"
Deg ...
"Bu-bukan sesuatu–"
"Bohong!"