"Hasna? Kamu baik-baik saja?" tanya Akbar, berjalan mendekat dengan cepat setelah menghidupkan santer di dalam ponselnya.
"Tidak, aku tidak baik-baik saja. Aku takut gelap dan kamu tahu itu! Aku harus segera keluar supaya bisa sedikit tenang." Hasna berusaha mengontrol dirinya. Namun sepertinya sulit karena Akbar tidak akan bisa memeluknya di saat mereka berdua bukanlah muhrim.
"Ada orang? Kalian baik-baik saja?" tanya seorang wanita, menyorot lampu senternya ke arah mereka berdua.
"Ya kami–"
"Ternyata masih ada orang. Hei, di sini masih ada orang. Apakah aku bisa membereskannya?!"
"???"
*****
"Mereka bukan rekan kerja kita?" tanya Hasna, menatap wajah Akbar yang tiba-tiba mengeras karena marah.
"Sudah pasti bukan. Niat mereka sudah sangat buruk dengan mengatakan hal seperti itu." Akbar terdengar menakutkan. Nada bicaranya menjadi begitu berat dengan penekanan di setiap katanya.
"Jika dalam keadaan seperti ini, seharusnya mereka bukan orang yang baik. Dengan keadaanmu yang seperti ini juga, sepertinya aku tidak akan bisa menyelamatkan diri sendiri. Kalau begitu pergilah, gunakan santer ini untuk mencari jalan keluar atau bala bantuan. Aku akan berusaha melindungi diri sebisa mungkin," ucap Akbar, lalu memberikan ponselnya dan berjalan pergi meninggalkan Hasna.
Dap!!
Namun sayangnya lampu tiba-tiba menyala dan Hasna tampak lega dengan hal itu. Namun anehnya, hanya ruangan kerja mereka saja yang hidup. Sementara ruangan lainnya masih tetap padam dan gelap.
"Apa ada yang membantu kami?" gumam Hasna, dengan menatap sekelilingnya.
Semua perampok itu panik begitu mereka melihat listriknya kembali menyala perlahan-lahan.
"12 orang dengan senjata tajam. 8 orang lainnya dengan pistol dan beberapa tas hasil pembobolan dokumen di tempat para direktur. Lalu mereka berjalan ke arah gedung dalam divisi untuk mencari brangkas. Wah ... hari ini pekerjaan kalian banyak ya?!" ucap Akbar, menyunggingkan senyuman iblis dan berjalan mendekati mereka.
12 orang itu tak gentar. Mereka masih berdiri dengan tegap dan menatap Akbar yang semakin mendekat.
Clek ....
"Sampai di sana saja jika kamu tidak ingin terluka. Atau kamu bisa pergi meninggalkan kami dalam hitungan ke 10. Jika kamu berhasil kabur, aku akan membiarkanmu pergi," ucap salah seorang di antara mereka.
Akbar tak menggubrisnya. Ia semakin mendekat dan mendekat. Bahkan beberapa orang yang berdiri di baris terdepan mulai ragu untuk mempertahankan posisi mereka.
Merek yakin jika semua tim di anggota mereka jauh lebih kuat dari para pengawal yang ada di tempat ini. Tapi entah kenapa aura perempuan berhijab itu semakin menakutkan sesaat mereka telah mengizinkan mereka keluar dalam hitungan ke 10.
"Menyebalkan sekali. Kamu pikir kami akan mengemis nyawa dan membiarkan kalian mulai berhitung?"
Akbar menatap tajam. Jarak mereka hanya 5 langkah dari dirinya. Tanpa senjata apa pun, Akbar menantang ke-20 orang tersebut dengan sorot tajam.
"Harusnya kamu lebih Berhati-hati jika ingin berucap. Kamu kira kami akan mengikuti permainanmu, sementara menghabisi kalian bukanlah perkara yang sulit bagi kami? Jangan konyol!!"
Akbar membentak. 20 orang itu terkejut. Namun 8 orang yang membawa pistol langsung menodongkan moncong senjata api mereka kepada Akbar.
Keadaan mulai memanas. Bahkan Hasna hendak ikut campur setelah melepaskan jaket jasnya dan menggulung lengan kemejanya hingga ke bawah siku.
"Banyak omong, majulah. Kami–"
"Jangan bergerak!"
Selesai sudah. 1 unit anggota kepolisian di panggil dan sekarang tengah memenuhi area divisi tersebut.
20 orang itu di kepung, tanpa tahu jika para polisi mulai berdatangan tanpa mengenakan alas kaki.
Tanpa mengenakan alas kaki??
Hasna, Akbar dan ke-20 perampok itu pun terheran-heran saat melihat semua anggota kepolisian tidak mengenakan sepatu melainkan sedang telanjang kaki di sana.
"Pak, di mana sepatu Anda?" tanya Hasna, menatap salah seorang anggota kepolisian di antara sekian banyak.
"Kami meletakkannya di dalam mobil. Seseorang yang memanggil kami tidak ingin kami mengenakannya karena terlalu berisik dan lagi, jika kamu mendekat dengan suara sebising itu, orang-orang ini pasti sudah berhamburan keluar dari tempat ini. Kami tidak menginginkan hal tersebut," jelas salah seorang anggota kepolisian.
Hasna dan Akbar saling bertatapan dan menatap seorang gadis yang datang dengan mengawal seorang lelaki berusia 58 tahun.
"Direktur." Hasna dan Akbar membungkukkan badannya sejenak saat menyapa lelaki tua itu.
Sementara itu, Wijaya hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya pelan. "Nak, coba cari siapa dalang dari semua ini di antara mereka. Jika kamu bisa melakukannya aku akan–"
"Saya tidak perlu hadiah, Pak. Saya akan lakukan tugas saya saja." Mina menyela dan menatap tegas ke arah lawan bicaranya.
Sementara Hasna dan Akbar hanya melebarkan matanya karena pegawai baru di divisi mereka, baru saja menyela perkataan Direktur mereka bahkan di hari pertama bekerjanya.
"Anak gila, ia akan membuat Pak Wijaya murka bahkan di hari pertamanya!" pekik Hasna, bergumam.
"Tapi sepertinya mereka mengenal satu sama lain. Lihatlah, Pak Wijaya tidak tampak kesak dengan sikap kurang ajarnya," sahut Akbar, melirik ke arah Hasna.
Hasna pun terdiam dan hanya memperhatikan interaksi antara Mina dan Wijaya di depan sana.
"Hahaha ... kamu tidak pernah berubah, Nak. Baiklah, coba lakukan apa yang aku pinta tadi," seru Wijaya, menatap wajah Mina yang menganggukkan kepalanya pelan.
Mina berjalan mendekat ke arah mereka tanpa mengenakan alat pelindung ataupun senjata untuk melindungi dirinya nanti.
Gadis muda itu berjalan dengan santai di antara banyaknya senjata yang menodong ke arahnya. Pisau, pistol dan stun gun sudah mengarah ke arahnya.
Di tengah bahaya gadis itu terlihat begitu tenang. Bahkan dengan kemungkinan jika ia akan di jadikan sandera untuk meloloskan diri di sana.
Tap ...
Mina menyentuh bahu seorang bertubuh kurus tapi padat dengan otot. Lelaki berbadan bongsor itu menodongkan belati ke arah kening Mina saat Mina menepuk pundaknya pelan.
Hasna dan Akbar yang melihat hal itu langsung menjadi kaku. Tubuh mereka seakan membeku saat melihat sorot mata Mina yang tajam dan di mana letak benda runcing itu berada.
"Itu berbahaya. Mundurlah!" gumam Hasna, menatap ragu.
Sementara Akbar hanya bisa menelan ludahnya susah dan menatap wajah Direktur mereka yang tidak tegang sama sekali saat melihat hal tersebut. Sebaliknya, lelaki itu malah tersenyum miring dan memperhatikan dengan tenang apa yang terjadi di depan matanya.
"Dasar psikopat!" pekik Akbar, geram. Ia melangkah mendekat dan semua senjata kembali mengarah ke titik lain dan titik itu adalah dirinya.
"Mundurlah, anak baru. Jangan membahayakan dirimu. Ingatlah, nyawamu paling penting di sini. Jangan mengambil tindakkan yang akan merugikan dirimu!!" seru Akbar, cemas.
"Terima kasih senior. Aku akan baik-baik saja karena anak ini tidak akan bisa menusukku!" Mina menatap ke arah lelaki yang ada di hadapannya dengan tatapan dingin.
"Lebih tepatnya ia tidak berani membunuh! Benarkan, Tuan Muda Zhair?!"
"Apa yang kamu–"