Arci membawa adiknya masuk ke dalam sebuah kampung kumuh setelah melewati terowongan gelap dan kecil di sebuah daerah terpencil.
Tempat yang begitu kumuh untuk dua orang anak Konglomerat singgah. Tapi kedua adik-kakak itu tidak protes atau mengomel tentang ini-itu saat melewati jalanan tersebut.
"Kamu yakin ia tinggal di tempat seperti ini, Kak? Ini bukan hanya jebakan semata, kan?" tanya Mina, mulai meragukan informasi Arci.
"Menurut data seperti itu. Tapi jika kita telusuri dengan baik jalanan ini, sepertinya tidak mungkin dua anak kecil tinggal seorang diri di tempat ini!" sahut Arci, menoleh ke arah Mina sejenak.
Mina mengembuskan napas lelah dan terus berjalan mengikuti Arci yang membimbing langkahnya.
"Mina, gubuk itu adalah gambar yang aku dapatkan. Itu pasti rumahnya! Kita–"
Tap ....
Mina membekap mulut Kakaknya dan menyeret Arci mundur dengan cepat saat ia melihat beberapa pergerakan yang mendekati gubuk yang di maksud oleh Arci.
Arci melepaskan tangan Mina begitu ia menyadari alasan dari tindakan adiknya ini. Mereka berdua bersembunyi di balik sebuah dinding rumah tak berpenghuni sambil mengawasi gubuk tersebut.
"Sepertinya banyak orang yang tengah mengincar anak-anak itu. Ada baiknya jika Kakak mengejek daftar pelelangan anak," gumam Mina, terus mengawasi.
Sementara Arci tidak lagi mengawasi gubuk tersebut, melainkan hanya duduk dan menatap wajah adiknya yang tengah mengintai.
Sesekali Arci tertawa. Sesekali Arci membatin banyak hal tentang kenapa adiknya terlihat begitu bisa di andalkan saat krisis! Tapi malah banyak julukan bodoh yang melabeli dirinya.
"Yang bodoh itu pasti orang-orang," gumam Arci, tersenyum tipis dengan menatap kedua manik mata adiknya yang menatap lekat ke arah depan.
"Kakak mengatakan sesuatu?" tanya Mina, menoleh sejenak ke arah Arci yang baru saja bergumam tidak jelas.
Arci hanya menggeleng dan kembali menatap ke arah gubuk tersebut. "Bagaimana jika kita pergi dari tempat ini? Sepertinya akan lebih banyak orang yang datang karena kedua anak itu memiliki banyak musuh yang sedang mengincar mereka!"
"Kamu benar. Sebaiknya kita kembali dan membuat referensi tempat duduk. Sebentar lagi acaranya di mulai! Atau Kakak bisa mengutus seseorang untuk masuk ke dalam sana terlebih dahulu."
Arci menganggukkan kepalanya dan mereka lekas pergi meninggalkan tempat tersebut. Namun sayang, sebuah teriakan kesakitan dari seorang anak perempuan menghentikan langkah Mina.
"Argh!!"
Arci menoleh ke arah adiknya. Memandangnya dengan tatapan tajam dan mencengkeram erat tangannya.
Arci menggelengkan kepalanya pelan dan melarang Mina untuk melakukan sesuatu yang gegabah atau yang bisa membahayakan dirinya sendiri.
"Jangan bertindak bodoh. Kita tidak memiliki satu pengawal pun untuk membantumu melawan mereka." Arci terus menahan Mina walaupun gadis itu berusaha menarik tangannya. "Jangan bodoh!"
Deg ....
Mina tak lagi meronta. Ia menatap wajah Arci yang baru saja mengatakan kalimat bodoh yang seharusnya tidak ia katakan dengan frontal kepada adiknya.
Arci tidak takut karena Mina tersinggung. Ia takut karena kalimat 'bodoh' akan membangkitkan rasa gila terhadap adiknya.
"Tidak, bukan itu maksudku, Mina. Jangan melakukan hal gila!!" seru Arci, tanpa sadar membuat suara lantang.
Mina dan Arci langsung melebarkan matanya begitu suara langkah kaki seseorang mulai terdengar mendekati posisi mereka.
"Kakak yang gila! Kenapa berteriak sangat keras? Kita bisa ketahuan jika seperti ini caranya, aduh!!" omel Mina, berjalan pelan untuk membimbing Kakaknya memasuki sebuah bangunan tua yang akan menjadi tempat persembunyian mereka.
"Maaf ... maaf! Aku tidak sengaja Mina." Arci berulang kali meminta maaf sambil berbicara pelan karena suara langkah kaki itu makin lama makin terdengar banyak.
Mina hanya bisa menghela napasnya kasar dan akhirnya mereka bersembunyi di atas sebuah loteng yang cukup luas dan aman untuk di gunakan tempat bersembunyi. Bahkan Mina bisa mengawasi pergerakan mereka dengan aman melalui lupang ventilasi.
Sementara Arci menatap ke arah luar, menatap 4 orang preman yang tengah menyeret keluar 2 orang anak kembar lelaki dan perempuan yang berusia 7 tahun dari dalam gubuk tersebut.
"Sepertinya ini akan memakan banyak waktu. Pereman yang di utus oleh pihak lawan sangatlah banyak." Arci menoleh ke arah Mina dan membuat gadis itu ikut menatap ke arah luar.
"Seharusnya aku tidak hanya mengajakmu pergi. Maafkan aku! Kita berdua jadi berada di dalam bahaya karena aku berusaha menolong temanku," lanjutnya, merasa bersalah.
"Tidak apa. Aku senang bisa membantumu, Kak. Lagi pula, aku punya seorang pengawal yang cukup posesif." Mina melirik ke arah Arci dan tersenyum. "Mungkin ia sedang mengomel sambil melaju gila membelah jalanan karena harus segera menyusulku."
Arci hanya terdiam beberapa saat dan tersenyum. "Azel memang sangat menyayangimu. Tidak heran jika nanti aku akan di omeli olehnya," ucapnya, menyunggingkan senyuman culas.
"Karena Kakak sudah mengetahui jika pengawalku akan segera datang, kalau begitu jangan jengah aku untuk melakukan sesuatu atau anak-anak Kak Zain akan tewas di tangan mereka bahkan sebelum di lelang!" ucap Mina, menatap serius ke arah Kakak lelakinya.
Arci mengembuskan napas kasat dan menatap wajah Mina yang tampak begitu serius. "Kamu membawa sebuah alat? Stun Gun misalnya?"
Mina mengeluarkan sebuah tongkat panjang berwarna hitam dari balik punggungnya dan memberikan benda itu kepada Kakaknya.
"Aku akan mengamankan jalanmu. Kamu pergilah selamatkan anak-anak. Itu akan jauh lebih aman karena orang-orang yang mengejar kita jauh lebih banyak dari yang berjaga di gubuk!"
Mina menganggukkan kepalanya dan mereka berdua bangkit dari tempatnya untuk keluar dari dalam persembunyian.
Namun sayangnya, begitu Mina membuka pintu, seorang lelaki dengan beberapa luka gores di wajah tampannya terlihat begitu murka melihat kehadiran Mina di dalam ruangan tersebut!
"Nona!! Kenapa Anda meninggalkan saya saat mendapatkan misi seperti ini?!! Ini sangat curang!!" seru Azel, berteriak begitu keras dalam memprotes Mina.
Mina yang melihat hal itu, hanya bisa terkekeh dan meminta maaf kepadanya. "Salahkan lelaki yang berdiri di belakangku ini, Azel. Ia yang memintaku pergi secara tiba-tiba di jalan pulang. Ia yang menarikku kemari!"
Azel langsung menatap wajah Arci dengan tatapan penuh dendam. "Tuan Muda! Anda tega sekali!!" teriaknya, sekali lagi.
Arci yang mendengar hal itu hanya bisa tersenyum masam dan meminta maaf kepada bodyguard pribadi adik perempuannya ini.
"Sudahlah, jangan ribut! Sebaiknya kita lekas pergi meninggalkan tempat ini dan menolong anak-anak itu. Kita benar-benar harus menyelamatkan mereka sekarang sebelum semuanya terlambat!" tegas Mina, berlalu meninggalkan kedua lelaki itu.
"Saya akan memberi Anda perhitungan setelah masalah ini beres, Tuan Muda. Saya benar-benar akan memberi Anda pelajaran!" pekik Azel, mewanti-wanti Arci yang terus tersenyum masam setiap ia mengomel.
"Baik-baik. Kamu bisa melakukannya. Sekarang ayo kita turun dan bantu Nonamu itu. Jangan terus mengomeliku!"
"Tuan memang menyebalkan! Pantas untuk di omeli."
"Ajudan kurang–"
Dor!!
"Mina tidak membawa pistol. Lalu siapa yang tertembak?!"