Zidan menuntun Mina untuk menemui Direktur mereka. Mereka berjalan memasuki sebuah ruangan dengan pintu ganda. Satu pintu depan yang bisa di masuki oleh siapa pun yang ingin menemui Direktur dan pintu kedua adalah ruangan direktur yang terletak di dalam ruangan tersebut.
Mina dan Zidan memasuki ruangan pertama di mana mereka bisa menemui meja sekretaris milik Zidan di sana.
"Ruangannya cukup kecil untuk ukuran ruangan Direktur ya? Apakah Pak Wijaya mendapatkan perlakuan tidak adil di sini?" tanya Mina, sebelum mereka memasuki pintu kedua yang berisikan ruangan Direktur.
Zidan menatapnya dengan tatapan ramah dan tersenyum. "Siapa yang berani? Tentu saja tidak. Anda ini seperti Tidak mengenal beliau saja." Zidan mencibir sambil tersenyum manis.
Mina hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Karena ia sudah cukup lupa bagaimana kepribadian gurunya itu. Bahkan wajahnya saja ia sudah sedikit melupakannya. Apa lagi kebiasaannya.
"Maaf, saya sedikit lupa karena kami sudah lama tidak bertemu. Setahuku beliau memang tidak senang dengan sesuatu yang berlebihan. Tapi di dalam ruangan ini, apakah tidak keterlaluan?"
Zidan menggeleng-gelengkan kepalanya pelan dan membuka pintu ruangan Wijaya setelah mengetuk pintunya sebanyak 3x.
"Pak, si pegawai baru sudah berada di sini." Zidan menatap ke arah Wijaya dengan tatapan lurus dan tegas.
Mina menatap ke dalam. Menatap seorang lelaki berusia 56 tahun tengah duduk di kursi kerjanya dengan di sibukkan oleh beberapa dokumen. Walaupun sudah berumur, lelaki itu masih terlihat berwibawa dan menakutkan dengan sorot matanya yang tegas.
Namun semua citra menakutkan itu sirna saat kedua manik mata gelap itu menatap wajah mungil muridnya yang tengah tersenyum cantik menatap dirinya.
"Selamat datang, muridku." Wijaya terlihat antusias ketika melihat Mina yang berdiri tegap di belakang sekretarisnya.
"Selamat siang, Pak. Anda masih terlihat menakutkan dengan kumis yang semakin memutih itu. Bahkan sorot mata tajamnya tidak pernah berubah. Saya yakin semua anak didik Anda di sini selalu menundukkan kepalanya agar tidak melihat tatapan itu," ucap Mina, berjalan mendekat dan langsung berjabat tangan dengan Wijaya.
"Hahaha ... kamu bisa saja. Aku bahkan tidak pernah menatapmu dengan garang. Bisa-bisanya kamu mengucapkan hal jahat seperti itu kepada gurumu, terlebih saat pertemuan kedua kita setelah sekian lama. Hahaha ... memang anak muridku yang satu ini tidak pernah berubah," ucap Wijaya, tersenyum dengan sangat lebar.
Zidan yang melihat itu hanya tersenyum senang. "Kalau begitu saya akan menyiapkan jamuan untuk kalian berdua, saya permisi."
"Ya ... ya ... siapkan manakan manis agar muridku ini sedikit gemuk. Ia terlalu kurus. Tambahkan saja gula dan susu di dalam tehnya, hahaha ....," seru Wijaya, dengan suara lantang.
Zidan pun menganggukkan kepalanya pelan dan meninggalkan tempat itu setelah mendengarkan permintaannya.
Mina dan Wijaya beranjak duduk di sofa dan berbincang tentang masa lalu. Mengenang kenangan mereka dengan tawa ringan sampai suara mereka terdengar keluar dari ruangan Wijaya.
"Pak Zidan, siapa yang berada di dalam sana? Saya barusan mendengar suara Pak Wijaya tertawa. Atau mungkin aku salah mendengar? tanya seorang lelaki, memiliki kantung Panda yang begitu parah di wajahnya.
"Pegawai baru. Anda ingatkan, kemarin saya bercerita tentang gadis yang bertanding dengan saya sampai hasil pertandingannya seri? Itu adalah orangnya," jawab Zidan, menjelaskan.
Akbar, selaku kepala bagian keamanan, hanya bisa tersenyum dan menganggukkan kepalanya pelan.
"Aku ingin melihat gadis itu. Jika ia bisa mengalahkanmu dengan satu tangan, mungkin jika ia menggunakan kedua tangannya, kamu akan babak belur bahkan sebelum pertandingannya berakhir. Aku juga ingin mencobanya," ucap Akbar, menguap dan mengambil sebuah apel lalu ia lahap tanpa di cuci.
"Cobalah memintanya. Aku dengar ia orang yang cukup ramah. Bahkan ia mau mengajariku. Tapi entah kapan, sepertinya ia sedikit sibuk. Karena itu ia masih belum bisa meluangkan waktunya untukku," ucap Zidan, meletakan dua gelas teh dan beberapa biskuit di atas nampan dan membawanya masuk ke dalam ruangan Direktur.
"Aku pergi dulu. Makanlah, ada beberapa makanan di lemari pendingin. Tadi pagi Hasna membawa lauk karena tahu kamu begadang semalaman, katanya Ibumu yang mengirimkannya," ucap Zidan, sambil berjalan meninggalkan lelaki itu di dalam dapur.
Akbar hanya menganggukkan kepalanya pelan dan berjalan ke lemari pendingin untuk melihat apa saja yang di bawa oleh wanita itu kali ini.
Karena minggu kemarin ia hampir memenuhi semua rak yang ada di dalam lemari pendingin dengan berbagai macam lauk pauk.
Clek ....
Akbar terdiam saat hanya ada satu kotak bento di dalam sana dengan memo kecil di atasnya.
Selamat makan, Pak Akbar.
Akbar hanya tersenyum kecil melihat tulisan tangan gadis itu. "Bahkan ia menambahkan hati di sampingnya, gadis yang sangat pemberani," gumamnya, berjalan pergi dengan membawa kotak makan tersebut.
***
Fuh ....
Hasna menghela napasnya kasar dan berjalan memasuki ruangan divisinya. Badannya terasa sangat pegal karena harus mengawal seorang Nona yang banyak berbicara dan manja. Ia sangat kerepotan dan sekarang tubuhnya terasa sangat lelah.
Tapi walaupun ia merasa sangat lelah, ada seorang lelaki yang setiap hari ia temukan tengah duduk di hadapan komputer dengan lupa waktu makan dan istirahatnya.
Lelaki yang begitu gila kerja hingga membuat Hasna merasa mual dan lelah sendiri saat melihatnya begitu giat.
"Kamu tidak pulang lagi?" tanya Hasna, kepada Akbar.
Akbar menoleh ke arahnya dan menggelengkan kepalanya pelan. "Kamu pergi saja dulu. Tolong bilang pada Ibu jika putranya akan pulang terlambat."
Hasna menghela napasnya kasar dan segera mengemasi barang-barangnya. "Katakan sendiri. Kamu dan Tante Mari sangat jarang berbicara bukan? Sejak Om Desta pulang, kamu jadi seperti ini."
Akbar tampak diam. Ia menatap wajah gadis berhijab itu dengan tatapan lekat sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke arah jam dinding.
01:00 AM
"Sudah subuh? Kenapa kamu belum pulang? Biasanya kamu pulang tepat waktu, kan?"
"Aku mengawal Nona Marta hari ini. Gadis itu hampir 7 jam mengelilingi mall hanya untuk mencari beberapa tas dan baju. Aku yang mengikutinya bahkan sangat lelah, tapi gadis itu bahkan tidak mau di ajak pulang padahal Mall akan segera tutup. Nona Muda yang gila!" cibir Hasna, mendenguskan napas kasar sambil membawa barang-barangnya yang selesai di kemas.
"Kalau begitu aku pergi seka–"
Dap ....
Seluruh lampu di dalam gedung Hacin Grub padam seketika. Hasna langsung berjalan mendekat ke arah mejanya dan berpegang pada sesuatu agar ia tidak terjatuh.
"Hasna? Kamu baik-baik saja?" tanya Akbar, berjalan mendekat dengan cepat setelah menghidupkan santer di dalam ponselnya.
"Tidak, aku tidak baik-baik saja. Aku takut gelap dan kamu tahu itu! Aku harus segera keluar supaya bisa sedikit tenang." Hasna berusaha mengontrol dirinya. Namun sepertinya sulit karena Akbar tidak akan bisa memeluknya di saat mereka berdua bukanlah muhrim.
"Ada orang? Kalian baik-baik saja?" tanya seorang wanita, menyorot lampu senternya ke arah mereka berdua.
"Ya kami–"
"Ternyata masih ada orang. Hei, di sini masih ada orang. Apakah aku bisa membereskannya?!"
"???"