Tangan Alardo perlahan terulur, mengusap pipi Calisa. Gadis itu bergerak pelan, semakin menyelusupkan pipinya pada belaian tangan besar Alardo. Nafas gadis itu kembali teratur setelah mendapatkan kenyamanannya.
Alardo pelan-pelan menunduk, sebelum akhirnya mempertemukan bibir dinginnya dengan bibir merah Calisa yang sedikit terbuka. Alardo mempertahankan posisi itu untuk beberapa saat. Tidak. Ini bukan ciuman pertama mereka sebenarnya.
Calisa bahkan tidak tahu, bahwa Alardo sudah mencuri ciuman pertama gadis itu diam-diam saat mereka kelas satu SMA. Tepat seperti saat ini. Saat Calisa tengah tertidur, dan Alardo hanya bisa menjadi pengecut dengan mencuri ciuman dari gadis yang tidak akan ia biarkan jatuh pada siapapun sampai kapanpun.
Mengambil jarak, Alardo tak lantas menjauhkan wajah. Membiarkan napas keduanya saling beradu.
"Maaf untuk yang kemarin. Tapi gue gak akan biarin lo ngasih bibir ini ke siapapun. Lo cuma punya gue," gumam Alardo lalu membubuhkan kecupan penuh sayang pada kening Calisa. Alardo ingin mengubah status mereka, namun sekarang rasanya sangat sulit, karena saat ini Alardo sudah menjadi kekasih dari seorang Natasha, sahabat satu-satunya Calisa sejak kelas dua SMA.
Puas memandangi wajah sang sahabat, Alardo pun segera bangkit dari sana, meraih tas kerja, jas serta dasi yang tadi ia tanggalkan. Berlalu keluar kamar.
"Alardo?"
Gumaman bernada serak itu membuat langkah Alardo terhenti, ia berbalik dan mendapati Calisa yang sudah duduk, menatapnya linglung dari tempat tidur, sepertinya gadis itu masih mengumpulkan nyawanya.
"Tidur. Udah malem, lo pasti capek 'kan seharian ini bereksperimen di dapur?" ucap Alardo.
Mendengar kata dapur, Calisa sontak dapat mengumpulkan nyawa dalam sekejap, ia segera bangkit terburu-buru dan melangkah mendekati Alardo.
Alardo yang melihat itu, menatap Calisa horor. Calisa yang seperti ini, mau tidak mau membuatnya siaga satu. Benar saja, belum sempat Alardo melarikan diri, Calisa sudah menemplok pada tubuh bagian depan lelaki itu, memeluknya kian erat. Sampai-sampai Alardo merasakan sesak yang tak terbantahkan.
Bukan. Bukan karena pelukan Calisa yang kuat mencengkram tubuhnya. Calisa tak sekuat itu. Namun, Alardo merasa sesak karena benda kembar Calisa yang kini menempel begitu lekat pada dadanya. Alardo bukan tidak tahu, bahwa di balik kaos tipis yang digunakan Calisa, tidak ada penutup apa-apa lagi di baliknya.
"Lisa, lo gak pake bra!" desis Alardo, lama-lama frustasi juga dengan Calisa yang keseringan memancing jiwa lelakinya.
Calisa tertawa kecil menyadarinya, gadis itu lantas berlari menuju lemari, mengambil sebuah bra dan segera membuka kaos tipisnya tanpa ragu-ragu di depan Alardo.
Alardo belum sempat berbuat apa-apa. Sengaja atau tidak, saat ini ia malah terpaku pada kedua aset yang tengah bergelantungan tanpa penghalang itu. Alardo tanpa sadar meneguk saliva susah payah.
"Biasa aja kali ngeliatnya, udah sering juga," ujar Calisa sembari menggandeng lengan Alardo yang seperti sudah kehilangan jiwa dari raganya.
Memang segampang itu Calisa melupakan kekesalannya pada Alardo. Cukup melihat wajah syok lelaki itu saja, Calisa sudah mampu melupakan bahwa kemarin ia kesal setengah mati sampai inginnya membuang Alardo ke rawa-rawa.
"Jangan lakuin itu ke cowok lain," ujar Alardo sembari meraih wajah Calisa dan mendaratkan kecupan di pipi gadis itu. "Gue gak yakin, mereka bisa tahan godaan sekuat gue." Alardo memperingati dengan sungguh-sungguh.
"Iya-iya, cuma ke lo doang kok," jawab Calisa sembari melanjutkan langkah, tetap menyeret Alardo untuk mengikuti langkahnya menuju ruang makan.
***
"Gue tadi buat satu mangkuk sup ayam khusus buat lo. Sekarang cobain," ujar Calisa sembari menghidangkan satu mangkuk sup ayam yang baru saja ia panaskan.
Alardo menatap wajah Calisa yang penuh binar, membuatnya tak tega untuk menghilangkan binar dari mata gadis itu. Baiklah, ini untuk kesekian kali ia dijadikan kelinci percobaan dari hasil eksperimen Calisa. Semoga kali ini tidak keasinan seperti sebulan lalu karena kebanyakan garam, atau seperti tiga bulan lalu yang terlalu berlebihan merica.
Alardo mengambil satu sendok sup lalu diicip pelan-pelan. Alardo sudah berdoa dalam hati untuk diberi kekuatan pada lidahnya. Namun, ternyata kali ini eksperimen Calisa tidak semengenaskan sebelumnya. Sup-nya benar-benar hambar. Namun Alardo sepertinya masih sanggup menghabiskan ini dengan keadaan lambung yang tetap sehat daripada yang lalu-lalu.
"Gimana?"
Alardo mengangkat wajah menampilkan senyum kecil dan mengangguk-angguk, "Lumayan," ujarnya kemudian.
"Akhirnya, gue dapat nilai lumayan enak." Calisa menghela napas lega, wajahnya dibuat sedramatis mungkin seperti seseorang yang akhirnya berhasil setelah berkali-kali gagal dan putus asa.
Alardo melanjutkan dalam hati, "Bukan lumayan enak, Lisa. Tapi lumayan, masih bisa dimakan."
***
Ini sudah hari ke-empat sejak Calisa nginap di rumah Alardo. Tapi dua hari belakangan, lelaki itu bahkan tidak pulang ke rumah. Bukan cuma Alardo doang sih, Om Dion juga ikutan lembur. Tapi, 'kan Calisa rasanya gak lengkap kalau gak jahilin Alardo barang sehari aja.
Alhasil di sinilah Calisa sekarang, membujuk Risa untuk datang ke kantor anak dan suaminya itu.
"Tante, aLisah kita ke kantor. Calisa kangen jahatin Alardo masaaa," rengek Calisa dengan sangat tanpa dosa. Tidak peduli bahwa yang di depannya adalah ibu dari lelaki yang rencananya akan ia ganggu habis-habisan karena meninggalkan Calisa sendirian tanpa teman dua hari ini.
"Masa tante gak kangen sama Om Dion, sih? Siapa tahu, Om Dion lagi butuh tenaga ekstra buat kerja, jadi tante dateng aja ke kantor buat jadi mood booster-nya si Om. Sekalian anterin Lisa, ya, Tan," bujuk Calisa lagi.
"Yaud—"
"Sayang, aku pulang," teriakan dari arah luar, sudah bisa dipastikan siapa pemiliknya. Siapa lagi si bucin di keluarga ini kalau bukan Om Dion bucinnya si tante.
"Yah, Om Dion gak asik ah. Kok pulangnya sekarang sih?" kesal Calisa dengan muka sebal.
Dion yang datang-datang kena semprot anak perempuan kesayangannya itu pun cemberut seketika.
"Lisa kok gitu sih, gak seneng apa om-mu paling tampan sejagat raya ini pulang?" tanya Dion dengan tampang ternistakan.
"Gak. Lisa nunggunya Alardo kok Om yang muncul sih?" ujar Calisa buang muka.
"Udah-udah." Risa melerai sebelum terjadi drama yang panjang antar dua tukang drama ini. "Mending sekarang Lisa siap-siap ke kantor aja. Tante anterin," ujarnya yang mendapat protes dari sang suami.
"Gak bisa gitu. Aku kan baru pulang, Lisa biar di antar Kang Mamat aja. Nanti kamu mau jadi nyamuk antar dua anak muda apa?" cetus Dion tidak setuju. Siapa sangka, bahwa Dion bahkan sangat ingin Calisa bukan cuma jadi sekedar sahabat putranya saja. Dion pokoknya tim shipper Alardo Calisa garis depan.
***
Calisa tanpa segan naik lift khusus petinggi di gedung bertingkat ini. Semua karyawan di sini mengenalnya gadis kesayangan dari Alardo Maheswara, putra pemilik perusahaan.
Calisa tersenyum ramah, sesekali menyapa beberapa karyawan lama kemudian yang dikenalnya saat di koridor menuju ruangan Alardo yang terletak di ujung lorong ini.
Ia juga menyapa sekretaris Alardo yang duduk di depan kubikel seberang ruangan Alardo.
"Alardo ada kan, Sis?" tanya Calisa pada Siska. Siska itu udah kepala tiga. Tapi Siska gak mau dipanggil, Bu. Biar tetap terlihat awet muda katanya. Calisa juga ayo-ayo aja. Malah ia lebih senang panggil nama orangnya langsung dari pada pake Bu Pak segala. Menghemat kosakata pikirnya.
"Dari tadi Pak Alardo belum keluar-keluar dari ruangan, Calisa," jawab Siska sembari tersenyum kecil.
"Okedeh, aku masuk dulu kalau gitu. Sampai ketemu nanti, Sis," ujar Calisa dengan ceria, ia lantas melompat-lompat kecil menuju pintu ruangan Alardo.
"Alardo! Kenapa dari kemarin lo gak pulang-pu —"
Calisa terdiam, terkejut, syok, berpadu pada dirinya saat ini. Posisi Alardo yang sedang di tindihi seseorang di lantai, memuat berbagai spekulasi di kepala cantik Calisa.
"Alardo, Natasha kalian ...." Calisa menggeleng tak percaya, di sana ada dua orang yang sangat dirinya kenal tengah berada dalam posisi yang penuh keambiguan.
***