Chereads / Friend(Shit) / Chapter 5 - Sungguh Ironi

Chapter 5 - Sungguh Ironi

Natasha buru-buru bangkit dari lantai, di susul Alardo yang turut serta berdiri juga. Tatap Alardo tak lepas sama sekali dari Calisa. Lelaki itu berdiri kaku, seakan baru saja kepergok berselingkuh, padahal nyatanya, ia dan Calisa hanya sebatas sahabat saja.

Alardo tersentak ketika merasakan dua buah lengan menggelayuti tangan kirinya, juga pipi yang di senderkan di bahunya. Tanpa perlu menoleh, ia sudah tahu siapa pelakunya. Alardo kembali menatap ke depan, memastikan ekspresi seperti apa yang di berikan oleh seseorang yang kini menatap keduanya dengan tatapan yang ... entahlah, Alardo sendiri tidak dapat menebaknya.

Sementara di sisi lain, Calisa hanya terdiam melihat Natasha yang kini malah menggelendot manja di lengan Alardo.

"Lisa ... maaf baru bisa ngasih tahu sekarang. Gue dan Al sudah resmi pacaran sejak dua bulan yang lalu. Bukan begitu, Al?" ucap Natasha dengan riang, matanya berbinar menatap ke samping, dimana Alardo malah menatap gadis di depan mereka. Hal yang diam-diam membuat Natasha mendengus sebal.

Calisa masih diam membisu, namun alisnya terangkat naik menunggu penjelasan dari pria itu.

"Ya." Satu kata di susul anggukan singkat dari Alardo cukup memperjelas semuanya.

Natasha tertawa kecil, senang dengan Alardo yang mengakuinya di depan 'sahabat' mereka yang satu itu. Natasha menatap ke samping lagi, berniat mencium bibir Alardo, namun sialnya, lelaki itu seperti sudah memprediksi apa yang akan ia lakukan sebelumnya, sehingga Alardo malah membuang wajah ke samping, dan ciuman itu malah mendarat di pipi kirinya.

Natasha tersenyum kecut.

Calisa malah seperti di hantam godam besar bertubi-tubi melihat pemandangan di depannya. Fakta bahwa kedua manusia yang sama-sama sahabatnya di depan sana terasa menyayat, pun mengetahui bahwa bukan dia satu-satunya gadis yang bisa mencium wajah pria itu. Natasha juga memiliki hak yang sama atas Alardo, atau mungkin lebih.

Mengendalikan ekspresi, Calisa malah mengibaskan tangannya dan tertawa kecil, "Bagus deh. Waktu itu gue pikir si Al gak suka cewek, eh taunya malah straight."

"Lo juga, Nat. Pacaran dari dua bulan lalu, gak ada kabar-kabarin gue. Emang udah lupa lo sama gue sekarang. Apa-apa gak bagi-bagi tahu lagi," lanjut Calisa lagi sembari maju dan menepuk lengan Natasha singkat.

Calisa menatap keduanya bergantian, "Semoga langgeng ya kalian. Jangan lupain gue meskipun sekarang Lo berdua udah pacaran. Gue gamau jadi nyamuk pokoknya kalau kita hangout bertiga. Kecuali kencan, kalian baru boleh berduaan," cetus Calisa seolah tanpa beban, padahal tak ada yang tahu, kata per kata yang ia keluarkan mengandung sesak yang menyesakkan.

Natasha mengangguk-angguk setuju sembari turut tertawa, "Itu bisa di atur," katanya dengan santainya.

"Lo tadi ke sini mau ngapain?" Akhirnya, satu-satunya lelaki di ruangan itu membuka suara yang sedari tadi terdiam.

Calisa mengangkat pandangan, menatap Alardo sebelum kemudian menggeleng, "Gak. Tadi gue habis dari cafe gak jauh dari sini, pulang dari sana sekalian mampir ke sini, gabut gue di rumah mulu. Tapi gak jadi deh, gue juga gak mau kali gangguin orang pacaran," cerocos Calisa sembari nyengir lima jari.

Ting!

Sebuah notifikasi dari ponsel Calisa terdengar.

Calisa dengan segera merogoh isi clutch-nya dan mengambil benda pipih yang kini menampilkan pesan dari seseorang yang sudah beberapa hari ini bertukar chat dengannya. Arga Wijaya.

Arga (gebetan ke-6)

Ketemuan, Yuk. Hari ini gue free.

Calisa mengerutkan kening, dan kemudian teringat bahwa beberapa hari lalu, ia memang meminta ketemu dengan pria bernama Arga ini.

Calisa

Oke. Cafe Starlight. Gue gak jauh dari sana soalnya.

Arga (gebetan ke-6)

Otw. 10 menit lagi, gue sampai.

Calisa memilih membacanya saja, tak berniat membalas lagi. Ia segera memasukkan ponsel kembali ke dalam clutch miliknya.

Ketika ia mengangkat pandangan, serangan tatapan penasaran dari kedua manusia di hadapannya membuat Calisa menggendikkan bahu acuh.

"Oke, sekarang gue pergi dulu. Ada urusan. Urgent!" ucap Calisa dengan senyum pongah. Di susul tatapan jengah dari Natasha dan pandangan datar dari Alardo.

"Mau kemana Lo?" tanya Alardo dengan suara rendah.

"Adalah. Ini urusan kaum jomblo. Gue pergi dulu, bubay!" kata Calisa lalu segera berbalik dan keluar dari ruangan itu, melangkah ceria ketika melewati kubikel Siska. Seolah-olah tanpa beban.

Namun itu hanya bertahan sebentar, karena setelahnya, ketika ia memasuki lift khusus petinggi, ia meluruh bersamaan dengan tangis yang pecah. Bersandar pada dinding lift. Kali ini, untuk pertama kali Calisa bersyukur dengan lift yang hanya memuat dirinya seorang diri. Jika tidak, Calisa tidak yakin, sejauh mana lagi ia bisa menahan perasaannya sejak dari ruangan Alardo tadi.

Calisa merasa, hal yang selama ini ia lakukan sia-sia. Usahanya untuk melupakan rasa aneh yang tumbuh pada orang yang sudah menyandang status sebagai sahabatnya sejak kecil, ternyata tidak berhasil sampai sejauh ini.

Menggebet pria sana-sini, berharap ada salah satu dari mereka yang dapat membuatnya melupakan perasaannya pada seorang Alardo. Namun segala usaha dan keyakinan dirinya melepas Alardo, kalah hanya dengan satu kenyataan bahwa Alardo telah berpacaran dengan orang yang berstatus sebagai sahabatnya sejak empat tahun yang lalu.

Menyedihkannya lagi, ia seakan merasa di khianati oleh mereka dari belakang, padahal nyatanya tidak seperti itu. Sungguh ironi.

Sungguh. Calisa bukan egois, hanya saja kenapa orang yang di sukai Alardo malah sahabatnya sendiri? Jika saja pria itu memilih bersama dengan gadis lain, Calisa tidak akan sesakit ini.

Ting!

Pintu lift yang terbuka membuat Calisa tersentak dari pikirannya sendiri. Ternyata ia sudah sampai di lantai dasar. Sebelum benar-benar keluar, Calisa menyempak diri mengusap wajahnya yang basah, dan kembali memastikan senyum riang terpancar dari wajahnya. Orang-orang di sini tak boleh tahu. Karena mereka bisa saja menggosipkannya yang muram sejak dari ruangan Alardo, dan Calisa tidak mau berita itu sampai di telinga lelaki itu.

Helaan napas lega lolos dari bibir tipis Calisa ketika sudah berada di luar gedung. Ia menatap Cafe Starlight, yang berada di seberang jalan. Tidak tepat berseberangan, Cafe tersebut dengan gedung ini agak menyerong, akan tetapi tidak terlalu jauh.

Calisa memantapkan hati, semoga saja gebetannya kali ini bisa membantunya melupakan rasa lebih pada Alardo. Ia tidak boleh lagi memiliki rasa itu. Alardo sudah dengan pilihannya. Calisa juga tidak mau jadi pengganggu di hubungan orang, atau bahkan memikirkan secara berlebihan lelaki yang sudah jadi hak milik orang lain.

Mulai saat ini, Calisa harus segera membunuhnya.

***

Sementara di ruangan Alardo, Natasha kesal habis-habisan karena sejak kepergian Calisa, Alardo malah semakin mendiaminya.

"Kamu kenapa sih hah! Kenapa nolak aku cium tadi? Kamu jaga perasaan Calisa, iya? Lalu kamu pikir perasaanku kayak gimana hah?! Aku malu, kamu tolak kayak tadi, di depan Calisa pula!" Natasha kesal, wajahnya memerah menahan letupan kekesalan.

"Bisa diem gak! Gue lagi pusing!" ketus Alardo dengan mata mendelik tajam.

"Kenapa! Kamu mau marah sama aku? Mau ku ingatkan lagi tentang malam dimana kamu meniduriku, hah?!" Natasha meledak.

Sementara Alardo terdiam seketika hanya dengan satu kalimat terakhir Natasha. Semua kesalahan ini, memang berawal darinya.

***

Bersambung.