Calisa menghentikan langkah ketika mendapati pemandangan dua anak manusia di depan sana. Seharusnya Calisa baik-baik saja, terlebih saat ini di sampingnya, ada sang kekasih dan Calisa baru saja menghabiskan waktunya dengan Agra.
Namun, Calisa malah merasa jantungnya mencelos begitu saja mendapati kedua sahabatnya tengah berciuman di teras rumah.
"Calisa?" bisik Agra menyadarkan Calisa yang mematung bak orang bodoh di tengah jalan.
Lengan kokoh Agra menarik Calisa dalam rangkulannya. Mengusap pelan punggung perempuan itu.
"Lihat aku," panggil Agra menangkup pipi Calisa, membawanya untuk menatapnya.
Agra menatap tepat iris tajam Calisa. Ia tahu, kekasihnya tak baik-baik saja. Agra tahu, sejak Calisa melihat kedua orang di depan sana, perubahan ekspresi dari yang awalnya ceria itu, kini tampak muram. Dan Agra jelas tahu, ada yang aneh dari hubungan persahabatan Calisa dengan Alardo.
"Kamu punya aku sekarang, kalau gak kuat, nangis aja," ucap Agra sembari mengusap pelan pipi Calisa.
Calisa merasa sesak, namun ia tidak mau menangis sekarang. Alhasil, logika Calisa hilang akal dan berjinjit untuk mencium bibir dari sang kekasih.
"Maaf," sesal Calisa kala tahu bahwa Agra tampak mematung dengan aksinya barusan, setelah seminggu lebih menjalin hubungan, baru kali ini bibir keduanya saling bertemu.
Agra segera menahan tengkuk Calisa saat merasa perempuan itu akan menjauh, berganti jadi mengulum bibir manis itu perlahan. Menikmati rasa yang mengalir dalam ciuman keduanya.
***
"Kenapa pulang telat," tanya Alardo ketika mengikuti Calisa yang memasuki dapur dengan tergesa dan mengambil minuman dingin dari kulkas dan menegaknya rakus.
Calisa diam, memilih menetralkan detak jantungnya yang terasa lari maraton saat Agra malah membalas kecupan singkatnya tadi menjadi sebuah ciuman.
Calisa nyaris berteriak kencang, mengatakan bahwa ini adalah pengalaman pertamanya. Ini ciuman pertamanya.
Perempuan itu tidak tahu saja, bahwa sebenarnya ciuman pertamanya adalah dengan seseorang yang kini ada di depannya dan menatapnya dengan amarah yang tertahan.
Alardo jelas melihat apa yang dilakukan oleh Calisa dan pacarnya tadi sebelum keduanya berjalan mendekat dan menghentikan aksi gila Natasha yang menciumnya tiba-tiba.
Mengetahui bahwa ada lelaki lain yang sudah mencium bibir Calisa selain dirinya membuat Alardo hendak mengamuk dan menghajar Agra sampai babak belur, jika tidak ingat bahwa Agra memang berhak mencium Calisa. Mereka berpacaran. Dan Calisa sama sekali tidak menolak.
Merasa tidak ada tanda-tanda dari Calisa menjawab pertanyaannya, Alardo kembali berkata. "Gue bilang jam sembilan harus udah sampe di rumah, kenapa dia baru pulangin lo hampir jam sepuluh malam?" Alardo menggeram.
Calisa meletakkan botol minuman ke atas meja, lalu mendongak untuk menatap Alardo yang tampak marah, entah karena apa. Mungkin sedang bermasalah dengan Natasha dan melimpahkannya kepadanya.
Calisa menghela napas, meraih kedua bahu kokoh Alardo dan melempar tatapan seriusnya, "Bisa gak, mulai sekarang kita urus hidup masing-masing? Gak semua urusan percintaan gue harus lo urusin, Al. Sama kayak gue, yang gak ngurusin lo sama Natasha."
Alardo mendengus, menepis tangan Calisa dari bahunya.
"Gak bisa! Gue gabisa biarin lo gitu aja!" Alardo mengacak rambutnya frustasi. Bagaimana bisa perempuan ini memintanya untuk tidak ikut campur, sementara Alardo bahkan nyaris gila membiarkan Calisa sebentar saja dengan lelaki lain tanpa pengawasannya.
"But why, Al? Lo bisa lepas tangan sekarang, udah ada yang bisa gantiin Lo buat jagain gue." Calisa juga tak habis pikir dengan Alardo.
Alardo marah mendengar kalimat itu. Ia tidak akan membiarkan siapapun menggantikan posisi dalam hidup Calisa. Tidak siapapun, termasuk kekasih perempuan itu sendiri. Katakan Alardo egois, namun hanya itu yang bisa ia lakukan untuk tetap mempertahankan Calisa untuknya.
"We just friend, okey. Lo ga—hmpphh,"
Calisa melotot. Kaget setengah mati dengan Alardo yang tiba-tiba menciumnya dalam. Calisa dapat merasakan pinggang dan tengkuknya di tarik merapat hingga tak tersisa jarak satupun antara dirinya dan Alardo saat ini.
Jantung Calisa mencelos berkali-kali lipat. Ini lebih mengejutkan daripada ciumannya dengan Agra belasan menit lalu. Calisa mematung, bahkan tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Blank. Itulah yang dapat mendeskripsikan dirinya saat ini.
Decapan lidah Alardo yang menerobos masuk ke dalam mulutnya membuat Calisa terhenyak bagai di hantam godam. Ini bukan mimpi. Alardo, sahabatnya, sekaligus kekasih dari sahabatnya, kini tengah melahap bibirnya dengan rakus.
Alardo menjauhkan wajah sejenak, membiarkan Calisa menarik napas beberapa saat. Kening keduanya menyatu, pun benang saliva yang tercipta, dan Alardo sama sekali tidak berniat untuk menghapusnya.
"Gue gak bisa. Gue gak bisa lepasin lo gitu aja," bisik Alardo dengan mata terpejam.
Belum sempat Calisa menjawab, Alardo malah kembali menyatukan bibir mereka.
***
Setelah kejadian tak terduga tadi, Calisa terdiam sendiri di kamarnya. Menatap pantulan dirinya yang tampak kusut dari cermin. Seharusnya ia senang. Alardo tadi menciumnya. Tepat di bibir. Biasanya, Calisa-lah yang menggoda lelaki itu dengan mengecup sudut bibir Alardo.
Tapi sekarang, nyatanya semua salah. Alardo sudah memiliki Natasha, pun ia yang sudah menerima Agra sebagai kekasihnya.
"Calisa, please. Lupain semua kejadian tadi. Lo gak boleh kayak gini," tekan Calisa pada dirinya sendiri. Menekankan berkali-kali bahwa segala apa yang terjadi beberapa saat lalu, hanya mimpi buruk yang tidak perlu ia ingat-ingat lagi mulai besok sampai seterusnya.
Calisa mundur hingga terduduk di tepi tempat tidur. Matanya mulai memanas setelah beberapa kilas balik momen dirinya dan Alardo sebelum ini berputar begitu saja di ingatan. Momen di mana mereka masih bersama, tanpa memiliki hubungan masing-masing.
"Gue mau kita kayak dulu, Al. Hanya gue dan lo," gumam Calisa dengan setetes air mata, menyusul air mata yang mulai mengalir deras selanjutnya.
***
Alardo yang sedari tadi menguping di depan pintu kamar Calisa, hanya menghela napas lelah. Tangannya bergerak meremas rambutnya kencang. Kepalanya berdenyut ngilu.
Andai saja ia tidak melakukan kebodohan itu. Ia pasti tidak akan menjadi kekasih Natasha saat ini. Dan hubungannya dengan Calisa pasti baik-baik saja. Alardo pun sama. Ia merindukan mereka yang dulu. Hanya ia dan Calisa. Tanpa perempuan yang mengaku telah di tiduri olehnya, pun dengan Agra yang sekarang menyandang status sebagai kekasih dari perempuan yang ia cinta.
Ponselnya yang bergetar di saku celana membuat Alardo menunduk sebentar. Merogoh sakunya dan mengeluarkan benda pipih dengan nama seseorang yang tampil tanda sedang menghubunginya.
Bagai mendapatkan oase di tengah padang gurun, Alardo dengan cepat menegakkan tubuh dan berjalan menjauh dari kamar Calisa, menuju kamarnya sendiri yang berada tepat di sebelah kamar perempuan itu.
"Lo udah tahu siapa yang tidur sama Natasha malam itu?" tanya Alardo dengan tergesa. Ia tidak bisa menahan diri lagi saat ini. Ingin segera lepas dari jeratan Natasha yang seperti memanfaatkan keadaan. Padahal Alardo yakin sekali, malam itu dia hanya minum dan langsung tidur. Tidak terjadi apapun.
"Malam itu, cuma ada lo, gue, sama satu orang lagi yang baru gue tahu ternyata dia ada di tempat yang sama, dan sempat bicara juga sama Natasha. Namanya, Arga Narendra."
Alardo terdiam sebentar mendengar nama terakhir itu. Arga Narendra? Alardo jadi teringat percakapannya dengan kekasih Calisa tadi.
'Saya Agra Narendra, pacar Calisa.'
Namanya hampir sama. Apa mereka orang yang sama? Tapi, kenapa Natasha tampak tak mengenal lelaki itu, padahal tadi mereka sempat berpapasan sebentar?
***