Risa sedari tadi tak henti melirik kedua orang yang interaksinya tampak aneh hari ini. "Kalian berdua itu kenapa sih? Kenapa jadi diam-diaman gini sejak mama pulang dari kondangan?" cecarnya penasaran.
Calisa langsung tersedak, karena dengan kurang ajarnya, momen ciumannya dengan Alardo malah melintas dengan tidak terduga.
"Uhuk!! Uhuk!!"
Alardo yang tadinya juga nampak diam, kini malah berganti raut wajahnya menjadi khawatir dan dengan sigap memberikan gelasnya pada Calisa yang berhadapan dengannya.
Sayangnya, perempuan itu malah meraih gelas lain dan meneguknya, seraya melengos tanpa mempedulikan Alardo yang kini menurunkan gelasnya sendiri dan menatapnya terang-terangan.
Risa yang duduk di sebelah Calisa, mengusap-usap punggung anak gadis satu itu. "Makanya, kalau makan pelan-pelan, Lisa."
"Iya, Tan." Calisa menjawab kalem.
Sementara Dion di tempatnya hanya geleng-geleng kepala, sempat menangkap interaksi aneh Calisa dengan Alardo barusan. Pasti mereka berdua lagi berantem. Ntar lagi juga bakal balik kayak semula, pikirnya.
Yang pada nyatanya, tidak sesederhana yang terlihat.
"Jadi, kalian bener lagi diam-diaman?" Kenapa? Bertengkar lagi?" tanya Risa belum puas karena tidak mendapat jawaban.
"Iya, Tan."
"Gak, Ma."
Calisa mendelik, menatap tajam Alardo yang menunjukkan raut tak bersalahnya. Apa lelaki itu pura-pura lupa, kalau saat ini mereka tengah perang dingin. Malah, ini lebih hebat dari pada perang dingin mereka yang lalu-lalu.
"Yaudah-yaudah. Cepet habisin sarapannya. Mama nanti mau shopping, sekalian treatment ke salon. Kamu pasti ikut, 'kan, Calisa?"
Dion yang tengah makan, segera mengangkat kepala. Mengkode Calisa agar mengiyakan ajakan Risa, karena jika tidak, maka ia yang akan mengantarkan nyonya ratu satu itu.
Bahkan tanpa di perintah pun, Calisa malah dengan senang hati menerima tawaran Risa. Namun, ternyata alam seolah tidak membiarkannya bahagia barang sekejap.
"Gak boleh, Ma. Weekend ini, Calisa harus quality time sama aku di rumah aja. Ga ada keluar-keluar. Akhir-akhir ini, dia sibuk banget kayaknya," sindir Alardo keras.
Risa akhirnya menatap Alardo. Pun Dion yang protes atas aksi anaknya itu. Kalau buka. Calisa yang bareng Risa kan, bisa bahaya waktunya sampai beberapa jam ke depan. Bisa-bisa, Dion mati kebosanan.
"Kamu itu kenapa sih? Pacar juga bukan. Biarinlah Calisa jalan-jalan bareng mama kamu. Jangan ganggu girl's time gitu dong." Dion akhirnya mengeluarkan suara, menolak mentah-mentah.
Alardo kesal setengah mati. Kalau bukan papanya, sudah ia asingkan Dion ke Antartika. Bisa-bisanya bicara pake kalimat yang bikin Alardo panas luar dalam.
Pacar juga bukan, kata papanya? Memangnya, kalau si Agra yang bilang, Calisa baru boleh nurut gitu? Ya gak bisa begitu dong! Calisa itu udah sejak lahir sama dia, siapapun yang mengaku pacar Calisa selain Alardo, bukan apa-apa.
"Papa aja sana, anterin mama. Aku tahu, papa dukung Calisa karena gak mau di minta anterin mama belanja kan? Tuh, Ma. Papa tuh sekarang udah gak sayang lagi sama mama," cetus Alardo dengan senyum liciknya.
Bagaimana bisa ia melewatkan kesempatan ini begitu saja. Ia pastikan hari ini, dirinya dan Calisa akan kembali baikan lagi. Bagaimanapun caranya.
Dion seketika menggeleng cepat ketika di tatap penuh aura membunuh dari sang istri tercinta.
"Papa anterin mama shopping hari ini, atau tidur di luar nanti malam."
Ah. Ancaman yang paling bisa membuat para suami malam ini tidak berkutik. Kalau ia tidur di luar, nanti malam tak ada yang peluk-peluk dan sayang-sayang dong.
"Siapa bilang papa gak mau nganterin. Papa mau kok. Alardo ngawur banget kalau bicara," kata Dion dengan senyum semeyakinkan mungkin, sementara sekilas ia melempar tatapan sinis pada anak lelakinya yang tersenyum menunjukkan kemenangannya.
Biarlah dia jadi pria menderita beberapa waktu ke depan, asal jatah malam nanti gak di cancel oleh sang istri. Kasihan si Junior kalau gak masuk sarang malam ini.
***
Alardo kali ini sudah mengecek setiap ruangan, tapi sama sekali tak menemukan Calisa. Entah kemana perginya perempuan itu setelah Alardo selesai mandi pagi ini.
"Calisa! Lisaaa! Lo dimana sih?" panggil Alardo celingak-celinguk. Perempuan itu pikir, gampang apa nyariin dia di rumah yang besar ini. Mana batang hidungnya gak nongol sedikitpun lagi.
Setibanya di ruang keluarga, Alardo mendapati televisi yang menyala, namun ia tidak menemukan keberadaan Calisa di sana. Berjalan mematikan televisi, ketika berbalik Alardo malah dikejutkan dengan pemandangan seseorang yang tertidur pulas dengan satu badan memenuhi sofa panjang di depan televisi.
"Pantes di panggilin gak nyaut-nyaut, tau-taunya udah molor aja nih anak. Dasar kebo," gumam Alardo sembari berjalan mendekat.
Lelaki itu duduk bersila tepat di atas karpet yang berada di depan sofa, membuat wajahnya berada tepat di depan wajah Calisa yang tengah tidur menyamping.
Enggan membangunkan perempuan itu, Alardo pun menggeser pelan tubuh Calisa, turut berbaring di sebelah perempuan itu di atas sofa. Sofanya cukup untuk di pakai berdua, hanya saja mereka harus tidur berdempetan.
Alardo tidak peduli. Toh ia sudah sangat rindu dengan si pemilik wajah cantik ini. Alardo mengangkat kepala Calisa, membiarkan kepala itu bersandar di dadanya, pun tangan dan kaki Alardo memeluk tubuh Calisa lembut.
Terserah jika setelah ini Calisa akan menamparnya atau sejenis itu. Alardo tidak akan marah. Karena nyatanya, ia tidak tahan di diami Calisa selama kurang dari seminggu ini. Rasanya menyesakkan dan hatinya terasa kosong dan hampa tanpa cerocosan perempuan menyebalkan yang sayangnya telah berhasil merebut hatinya itu.
"Gue sayang lo, Lisa. Always," bisik Alardo mesra, tepat di telinga Calisa, sebelum tanpa basa-basi mencium bibir ranum itu sebentar. Lalu terlelap akibat nyamannya posisi mereka saat ini. Semua terasa benar bagi Alardo.
***
Calisa melenguh pelan sebelum kedua kelopak matanya terbuka perlahan. Matanya mengerjap-ngerjap berusaha menerima cahaya yang masuk ke matanya.
Tersadar, Calisa bisa merasakan napas hangat yang menerpa wajahnya. Pun dengan detak jantung teratur yang terdengar telinganya. Dan, sejak kapan sofa mahal nan empuk di rumah Alardo berubah menjadi sekeras ini?
Calisa bergerak pelan, lalu mendongak dan mendapati wajah damai Alardo yang masih pulas dalam tidurnya. Menyadari bahwa sekarang, ternyata ia berada dalam pelukan Alardo.
Tapi, bagaimana bisa? Seingat Calisa, tadi ia masih tidur di sofa, sementara Alardo sendiri masih di kamarnya.
Namun, tak urung, Calisa mengangkat kedua sudut bibirnya menyadari saat ini, Alardo masih memeluknya.
"Akhirnya lo bangun juga," ujar suara itu, sehingga menyentak Calisa dari lamunannya. Calisa kembali mendongak dan menatap wajah Alardo yang matanya kini telah terbuka dan balik menatapnya sayu.
"Kenapa lo ikutan tidur di sini?" tanya Calisa dengan tubuh yang hendak bergerak bangkit. Namun sepertinya Alardo dapat membaca pergerakannya, sehingga kedua tangan lelaki itu menahan Calisa dengan memeluknya erat. Tak membiarkan Calisa beranjak dari posisi ini.
"Karena gue mau," jawab Alardo enteng, lalu menunduk dan meraup bibir Calisa dalam ciumannya.
Dan Calisa ... perempuan itu sama sekali tidak menolak.
Benar-benar hubungan friendshit!
***