Film perlahan mulai di putar, tapi Alardo sama sekali tidak fokus. Ia hanya sibuk memperhatikan tangan lelaki itu yang sudah mulai mengelus-elus lengan Calisa.
Sebagai seorang lelaki, Alardo tentu tahu sentuhan semacam itu adalah sebuah godaan lelaki untuk menaikkan kadar keintiman sebuah sentuhan.
Benar saja, tak lama kemudian, ia bisa melihat lelaki itu mendekati dan mulai mendekatkan wajah pada leher Calisa yang terfokus pada film di depan sana.
Sial!
Secepat kilat, Alardo sudah tiba di kursi kedua orang itu dan menarik kerah kemeja lelaki itu dari belakang.
"Brengsek!" Sebuah pukulan membuat lelaki itu terhuyung. Sementara beberapa dari penonton kini memekik melihat kejadian itu.
"Jangan berhubungan dengan Calisa lagi, kalau gak mau gue buat masuk rumah sakit."
Setelahnya, tanpa mempedulikan apapun, Alardo segera menarik tangan Calisa untuk keluar dari sana dengan wajah menahan murka.
Setelah sekian lama ia selalu menemani Calisa berkencan dengan teman kencannya, baru kali ini ia merasa semarah ini, hanya karena pria itu ingin mencoba mencium Calisa. Bagaimana tidak, teman-teman kencan Calisa sebelumnya, memang hanya berani sampai di tahap pegangan tangan atau mungkin berpelukan jika berjumpa dan akan pamit pulang.
***
"Al, Al ... lepasin. Tangan gue sakit, ish!" rengek Calisa menarik tangannya dari genggaman tangan Alardo yang terasa mencengkram kuat.
Alardo terhenti sejenak, tanpa berkata apa-apa, ia melonggarkan cengkramannya, lalu kembali berjalan tanpa melepas tautan tangan mereka.
"Masuk!" titah cowok itu sembari mendorong pelan tubuh Calisa yang enggan masuk ke dalam mobil.
"Lo kenapa sih marah-marah kayak tadi. Malu-maluin tahu gak. Film-nya masih belum jalan setengah juga. Teman kencan gue jadi babak belur kan lo buat," kesal Calisa sembari mencubiti lengan Alardo yang fokus menyetir di sebelahnya. Calisa masih tidak terima perbuatan lelaki itu yang semena-mena dengan calon pacarnya tadi.
"Dia udah kurang ajar," jawab Alardo disertai dengusan kasar. Perihal Calisa yang mencubiti lengannya, biarlah gadis itu berbuat sesukanya. Lagipula, Alardo sudah hampir seumur hidup mendapatkan perlakuan seperti ini ketika gadis itu tengah kesal padanya seperti sekarang ini.
Calisa menggeleng tidak setuju, tatapannya menajam, menghunus Alardo yang sama sekali tidak terusik. "Kurang ajar apanya sih? Dia cuma mau cium gue aja tadi, 'kan gue udah bilang pengen tahu rasanya ciuman." Suara Calisa melengking nyaring, sesaat sebelum gadis itu menutup kembali mulutnya karena keceplosan.
Ah, sial! Padahal tadi ia sengaja tidak menahan 'si teman kencan' agar bisa melakukan first kiss, tak menyangka bahwa Alardo saat itu benar-benar tak mengalihkan perhatian sedikitpun dari mereka.
Alardo meliriknya sekilas, namun lelaki itu memilih bungkam, tak berniat berbicara sedikitpun dengan Calisa yang mungkin sedang sibuk merutuki dirinya sendiri.
***
"Papa," gumam Calisa saat melihat sesosok pria paruh baya bertubuh tegap sudah berdiri bersiap menyambut mereka di teras rumah, begitu mobil milik Alardo berhenti tepat di depan pagar rumah Calisa.
Calisa dengan cepat melirik lelaki di sebelahnya, "Lo pasti bilang sesuatu ke papa, 'kan?" tembak Calisa langsung. Tak biasanya sang ayah — Satya — pulang cepat seperti ini, dan menunggu di teras pula.
"Masuk sana," suruh Alardo dengan teganya.
Calisa menggeleng menolak, ketika sadar bahwa Alardo tidak ada tanda-tanda akan menemaninya menghadapi 'masalah' yang mungkin sudah menunggu di depan sana.
"Temenin gue!" Calisa melepas paksa sabuk pengaman Alardo dan mendorong lelaki itu dengan sangat berperipersahabatan keluar dari mobil, sampai Alardo hampir tersungkur karenanya.
"Lisa ..." Alardo mendesis menahan kesal.
Calisa tertawa senang melihat penderitaan Alardo. Kenapa tidak sekalian tersungkur saja? Pikirnya. Lumayan menjadi hiburan baginya. Memang Calisa, sahabat terbaik sepanjang masa.
Calisa keluar dari mobil, segera mengekor di belakang Alardo yang sudah duluan berjalan menghampiri sang ayah.
"Darimana saja?" tanya Satya menatap Calisa kini sudah berdiri di samping Alardo.
"Alardo, jawab." Dengan santainya, Calisa malah melempar pada Alardo untuk menjawab, padahal ia tahu betul bahwa pertanyaan itu ditujukan untuknya.
Alardo memincingkan mata sejenak, mengangguk pelan dan berkata, "Temenin Calisa kencan sama calon pacar, Om."
Calisa syok! Melirik takut-takut pada sang papa yang kini menatapnya dengan tatapan meminta penjelasan. Seumur-umur dirinya di temani kencan oleh Alardo, baru kali ini lelaki itu menjawab dengan jujur pada Satya. Biasanya, jika Calisa melempar pertanyaan 'Darimana saja?' Alardo pasti akan menjawab, 'Habis main diluar, Om'. Kali ini, Alardo sudah tidak bersekutu dengannya lagi.
"Benar itu, Calisa?"
"T-tapi, c-cuma kencan biasa doang kok, Pa. Gak ngapa-ngapain." Calisa membalas dengan suara pelan.
"Teman kencannya yang kurang ajar. Dia mau cium-cium Lisa. Lisa-nya juga gak berniat nolak, Om. Jadi saya bawa pulang aja," sahut Alardo tanpa dosa.
"Lisa!" teguran penuh peringatan. Memberi alarm pertanda bahaya bagi Calisa. Alamat bakal dapat ceramah berkepanjangan dia kalau begini jadinya.
"Alardo!!!!!" Calisa memekik, sebelum memukuli lengan Alardo sekuat tenaga.
"Pulang dulu, Om!" Alardo berteriak sembari berlari ke rumah sebelah — rumah Alardo — demi menghindari Calisa. Satya sempat tertawa melihat pemandangan yang cukup sering terjadi itu, sebelum kembali memanggil Calisa untuk melakukan sidang perkara apa yang diperbuat anak itu kali ini.
***
"Papa tahu kamu sudah besar. Sudah bukan putri kecil papa lagi yang bisa papa lindungi setiap saat. Tapi, Lisa, kamu seharusnya bisa menjaga dirimu sendiri dari laki-laki di luar sana. Kita tidak tahu bagaimana sifat mereka sesungguhnya dan yang benar saja kamu langsung mengizinkan dia menciummu di pertemuan pertama," ceramah Satya tak habis pikir dengan putri satu-satunya itu, bahkan kini pria paruh baya itu sudah memijit pelipisnya sendiri.
"Tapi Lisa juga cium Alardo hampir setiap saat, dan papa sama sekali tidak keberatan. Kenapa dengan teman kencan Lisa tidak boleh lakuin itu?" Calisa mengutarakan pembelaan, naik banding menuntut sang ayah yang tampak tidak adil itu.
"Alardo kecuali," sahut Satya tenang, menyandarkan punggung pada sandaran sofa.
"Kenapa kecuali? Alardo juga pria papa!" protes Calisa greget sendiri.
"Ya beda. Papa sudah kenal Alardo bertahun-tahun, sejak dia masih bayi sampai sebesar ini sekarang. Papa tahu dia anak yang baik. Dia selalu menjaga kamu, sebagaimana papa menjaga kamu. Lagipula, kenapa kamu tidak pacaran dengan Alardo saja, sih?"
Tubuh Calisa seketika bak disambar petir, ketika mendengar kalimat terakhir Satya. Sesaat sebelum ia tertawa terbahak-bahak, merasa geli sekaligus aneh dengan kalimat itu.
"Lisa? Pacaran sama Alardo? Ya ampun, papa. Yang bener aja! Kita sahabatan sudah seumur hidup, sejak masih piyik. Bakal aneh gak sih kalau sekarang Lisa jadi pacarnya?" Calisa masih tidak bisa membayangkan apapun yang ada di benaknya.
Astaga? Pacaran dengan orang yang sudah kau kenal tabiat baik buruknya, yang juga sudah mengenal baik buruknya dirimu, apa itu enggak akan aneh nantinya. Karena jujur, menurut Calisa, mengganti status yang sudah melekat di antara mereka berpuluh tahun itu, bahkan tidak pernah ada di dalam kamus hidupnya. Sama sekali.
***