Bermainlah sepuasmu. Layang-layang tidak akan marah jika ditarik ulur, tapi ketahuilah ada saatnya benangmu bisa putus.
---
"Loh kamu mau ke mana, Ci?" tanya Malik saat melihat Suci tampak bergegas untuk meninggalkan area Firma. Itu diperjelas dengan langkahnya yang tampak panjang juga tergesa-gesa.
"Pulang, Kak." Sebelah alis milik Malik juga Ghea terangkat naik saat mendengar apa yang dikatakan oleh Suci barusan. Mereka tidak ingin mempercayai itu tapi sayangnya untuk saat ini keduanya tak ada pilihan lain mempercayai itu semua.
"Waktu istirahat aja belum, Ci!" kata Malik memperingatkan sahabat dari adiknya itu.
"Mentari kecelakaan, Kak!" Benar saja kedua manik mata milik Malik serta Ghea lantas membulat dengan sangat baik mungkin sebentar lagi itu akan jatuh dan berserakan di lantai.
"Terus sekarang keadaannya gimana, Ci?" Malik sangat sulit untuk mengontrol rasa khawatirnya saat ini. Ghea bisa melihat hal itu dengan sangat jelas.
"Nggak tahu, Kak."
"Kamu boleh pulang sekarang, tapi kalau ada apa-apa jangan segan buat hubungi aku atau Akbar, ya?" Meskipun dia tahu kalau Suci tidak mungkin melakukan hal itu. Jangan menistakan takdir wahai engkau Malik Bagaskara.
Suci Indah Lestari itu lebih kaya dibandingkan kamu, meskipun pada akhirnya kita juga tidak bisa untuk mendustakan kodrat kalau manusia itu adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu satu sama lain.
Selalu ada hubungan timbal balik untuk untuk ini semua 'kan?
Melihat sikap Malik pada Suci entah kenapa itu justru menimbulkan gelenyar aneh dalam benak milik Ghea. Sekali lagi dia seperti melihat sisi berbeda dalam diri atasannya itu.
"Mas, apa yang sebenarnya ingin kamu perlihatkan padaku? Kenapa kamu terlalu abu-abu untuk bisa aku tebak?" gumam Ghea sambil menilik tajam sosok yang berada tepat di sebelahnya saat ini.
"Iya, Kak. Makasih," jawab Suci dengan singkat lalu kembali membawa kedua kaki jenjangnya untuk meninggalkan area firma tempat dia saat ini berada.
"Kita berangkat sekarang?" tanya Malik pada Ghea saat Suci saat ini tidak lagi terjangkau oleh kedua manik mata mereka.
"Iya, Pak." Saat mendengar persetujuaan yang dikatakan oleh Ghea dengan langkahnya yang tegap, Malik membawa dirinya diikuti oleh Ghea di belakangnya.
"Aduh!" Karena keluhan yang terlontar dari kedua bibir ranum milik Ghea, mau tidak mau akhirnya Malik harus mengalihkan atensinya.
"Kenapa, Ghe?" Malik bukannya tidak tahu apa yang saat ini sedang menjadi keluhan milik Ghea, Malik hanya ingin mengetes Ghea saja.
"Seatbeltnya macet, Pak. Nggak bisa terpasang!" kata Ghea yang berusaha bagaimana caranya agar seatbelt itu terpasang.
"Sini aku bantu," kata Malik menawarkan dirinya tanpa menunggu lagi persetujuan dari Ghea.
Untuk saat ini jarak antara Malik dan juga Ghea berada dalam jarak yang sangat dekat. Saking dekatnya Malik bisa merasakan hembusan napas dari Ghea, dan Ghea pun juga demikian dia bisa menghirup aroma parfum milik Malik. Seperti candu yang ingin terus Ghea ulang.
"Sudah," kata Malik dengan sangat cepatnya. Ghea sampai bertanya-tanya apakah ada yang salah dengan dirinya saat ini? Kenapa untuk Malik dia sangat mudah untuk melakukannya sedangkan untuk Ghea tidak. Sampai pada akhirnya Ghea tersadar kalau mobil ini adalah milik Malik, tentu saja pria itu lebih paham dari Ghea.
"Terima kasih," jawab Ghea dengan terbata-bata. Jangan tanya bagaimana degup jantungnya untuk saat ini. Itu sangatlah jauh dari kata baik-baik saja.
"Kita berangkat sekarang?" Ghea terlalu gugup sehingga dia hanya menjawab apa yang menjadi pertanyaan Malik hanya dengan gerakan kepala naik turun.
Kereta besi yang dikemudikan oleh Malik kini telah terparkir dengan sangat rapi pelataran firma di yang bertuliskan Firma Hukum Agasa dan Rekan.
"Kita sampai Ghe." Perkataan yang terlontar dari kedua bibir ranum milik Malik sontak saja membuat Ghea menatap secara intens gedung berlantai tiga yang ada di hadapannya saat ini.
"Firma Hukum Agasa dan Rekan," eja Ghea dan hal itu langsung saja mendapatkan pembenaran dari lelaki yang masih ada di hadapannya.
"Kita turun, Ghe!" kata Malik dan langsung saja dituruti oleh Ghea tanpa bantahan.
"Siapa yang akan kita temui Ghe?" Malik memang tidak tahu siapa yang menjadi rivalnya saat ini apakah Rafa atau Firman. Karena pada awalnya perkara ini dihandle oleh Akbar dan Suci lalu secara mendadak keduanya mundur sebagai kuasa hukum. Mungkin tidak ada yang tahu mundurnya kedua pengacara hebat itu, tapi hal itu tidak berlaku untuk Malik, dia tahu apa alasan Suci dan Akbar untuk tidak berhubungan dengan Firma ini. Apalagi kalau bukan luka di masa lalu yang belum juga usai.
"Sebentar, Pak!" Ghea meminta waktu untuk mengeceknya karena takutnya dia salah menyebutkan namanya.
"Dengan Pak Firmansyah Satria Utama." Intonasi suara Ghea melemah di bagian akhir. Dan itu mau tidak mau membuat Malik haruslah mengubah titik atensi kembali pada wanita yang selama ini sukses membuat relung hatinya yang paling dalam merasakan jedag-jedug tak karuan.
"Kamu kenal dia?" tanya Malik dengan kedua manik matanya terus saja menilik tajam pada seorang wanita cantik bernama Ghea Laurensia.
"Mantan pacarnya--"
"Iya, mantan pacar dari Suci. Dan yang meminta saya untuk menangani ini adalah Akbar. Dia tidak ingin kalau Suci ada hubungan lagi dengan Firman." Mendengar apa yang baru saja dijelaskan oleh Malik itu sudah lebih dari cukup untuk membuat rahang bawah milik Ghea terbuka dengan sangat lebar. Stimulus otaknya tak dapat berfungsi dengan sangat baik kali ini.