Vivi dan Septa sedang bersembunyi di tangga darurat. Nafas mereka sudah tidak teratur. Jantung mereka berpacu cepat.
"Gila. Takut beneran gue ketemu dia. Anjir", ucap Vivi pelan. Vivi mencoba mengatur kembali nafasnya.
Setelah Rina menghilang di balik pintu laboratorium, Vivi dan Septa segera keluar dari persembunyian mereka. Suara ponsel Vivi mengagetkan mereka yang masih ketakutan.
"Iya..halo, Sak"
"Kenapa nafas lo ngos-ngosan gitu Vi? Lo lagi di hotel, yaa?", tanya Sakti bercanda.
"Lo jangan gila, Sak. Boro-boro ke hotel bisa ngadem. Ini gue baru aja lepas dari macan Sumatera, asal lo tahu", kesal Vivi yang membuat Sakti terkekeh di seberang sana.
"Gimana, pengintaiannya? Aman?"
"Aman dari macan Sumatera, iya", ketus Vivi lagi-lagi.
"Apaan sih, dari tadi macan Sumatera mulu", ujar Sakti penasaran.
"Gue hampir ketahuan Rina. Dia tadi denger rencana gue pas di kantin. Jadi gue sama Septa coba menghindar dari dia. Gila lo". Sakti sukses terbahak-bahak mendengar sahabatnya kesusahan.
"Ketawa lagi lo", kesal Vivi.
"Sorry Vi. Lagian lucu banget sih"
"Siapa? Gue apa macan Sumateranya?, tanya Vivi sedikit tersenyum.
"Lo", jawab Sakti singkat sukses membuat Vivi baper. Vivi sebenarnya sudah lama memandam kekagumannya kepada Sakti. Tapi ia tidak bisa berbuat banyak.
"Tapi sudah ketemu Arga sama Arum belum?", tanya Sakti memastikan.
"Belum. Mereka nggak ada di kelas"
"Kemana?"
"Peninjauan ke rumah sakit katanya Senja tadi. Baru pulang nanti siang"
"Senja? Lo ketemu Senja juga, Vi?"
"Iyaa. Pokoknya hari ini sial banget gue. Gue langsung laper lagi, kan nih. Gara-gara lari-larian terus"
"Iya sudah nanti makan lagi sama gue", ajak Sakti.
"Lo mau kesini, Sak?", tanya Vivi antusias.
"Iya..gue nggak tega sama lo berdua. Baru sekali pengintaian udah lari-larian gitu. Eh...tapi gimana Senja? Dia nggak tahu rencana kita, kan?"
"Untungnya Senja polos banget anaknya. Nggak kayak Rina. Dia nggak curiga sama sekali. Nggak tahu lagi nanti kalau Rina ngadu"
"Baiklah. Gue habis ini meluncur kesana. Kalian istirahat aja dulu di markas"
"Ok, Sak". Vivi memutus sambungan teleponnya.
"Sakti, Vi?", tanya Septa yang baru saja datang membawa sebotol air minum.
"Iya. Dia mau kesini katanya"
"Ngapain?"
"Mau ikut bantu kita ngintai katanya"
"Oh..". Vivi dan Septa memutuskan untuk menunggu Sakti di markas Keris Dewa.
Senja dan Rina sedang menikmati sarapan sederhana mereka di laboratorium. Beberapa kali, Rina menoleh ke arah Senja. Ada yang mengganjal di pikirannya. Jelas tentang ucapan Vivi tadi di kantin. Tapi ia tidak tega untuk bertanya ke Senja langsung.
"Kenapa kamu, Rin?", tanya Senja.
"Eh..gak ada kok. Emm...lo baik-baik saja kan sama Arga, Sen?", tanya Rina sukses membuat Senja menoleh ke arahnya.
"Baik kok. Kenapa sih dari kemarin kamu tanya itu mulu?"
"Kamu nggak sedang menutupi sesuatu kan, Sen?", tanya Rina lagi. Senja menghela nafasnya, "Beneran Rin. Gue baik-baik saja. Hubungan gue juga baik-baik saja. Kamu nggak perlu terlalu khawatir. Oke". Senja melanjutkan sarapannya. Rina hanya menatap sahabatnya itu dengan penuh kasih. Senja gadis yang baik dan polos. Rina tidak akan membiarkan jika ada yang berani menyakiti Senja.
Di rumah sakit, Arga dan Arum sedang melakukan peninjauan bersama dengan teman seangkatan mereka. Rumah sakit inilah yang akan menjadi tempat mereka praktik semester depan. Sejak tadi, Arum selalu di samping Arga. Beberapa kali, ia memberanikan diri menggandeng lengan Arga. Arga sedikit risih sebenarnya. Karena memang, ia dan Arum sepakat untuk menutupi hubungan mereka dari para sahabatnya.
"Gue kangen banget sama lo, Ar", bisik Arum pelan. Arga hanya menampilkan deretan gigi rapinya.
"Gue tunggu di toilet, yaa", goda Arum. Arga sedikit bergidik geli, karena Arum sedikit menghembuskan nafasnya di dekat telinganya.
Arum segera menjauh dari rombongan. Ia berjalan sedikit terburu-buru ke toilet rumah sakit. Arga menatap Arum tak percaya. Tapi ia juga tidak bisa menolak. Arga segera menyusul Arum. Ia mencari-cari Arum di toilet wanita. Untunglah toilet sepi. Ia segera masuk dan mendapati Arum di dalam bilik nomor 4 di paling pojok. Arum segera menarik jas kedokteran milik Arga dan mengunci pintu toilet.
"Kenapa sayang?", tanya Arga pelan sambil mengusap pipi Arum.
"Gue kangen lo, Arga". Detik berikutnya Arum mencium bibir Arga. Tangannya ia kalungkan ke leher Arga dan menekannya. Ciuman mereka semakin mendalam. Arum mengusap lembut kepala Arga membuat Arga semakin bergairah.
"Kamu sungguh berani melakukannya di sini", ucap Arga pelan di sela-sela ciuman mereka.
"Gue sudah tidak tahan", Arum menampilkan seringainya.
Ciuman Arga semakin menuntut. Ia menyesap dan melumat pelan bibir Arum. Masih terasa nikmat sama seperti saat pertama kali. Tangan Arga meraba setiap jengkal tubuh Arum. Tangan kirinya ia gunakan untuk memeluk pinggang Arum. Sedangkan tangan kanannya ia gunakan untuk menjamah tubuh Arum. Tangan Arga bergerak lembut mengusap mulai dari paha kemudian terus bergerak mendalam. Rok yang Arum gunakan sudah tersibak oleh pergerakan tangan Arga.
"Aaahh...", desah Arum tertahan. Ia membakap mulutnya sendiri agar tidak mendesah terlalu keras.
Arga terus bergerak ke atas. Membuka dua kancing kemeja Arum. Kemudian ciumannya beralih ke leher dan dada Arum. Setiap jengkal leher Arum tak terlepas dari ciumannya. Ia menghisap kuat kulit leher Arum sampai meninggalkan bekas kemerahan.
"Aahh...jangan membuat tanda. Tolong", pinta Arum di tengah kenikmatannya. Arga tidak menggubrisnya.
"Salah siapa sudah membangunkanku, heemmm". Arga menghisap kuat leher belakang Arum. Membuat Arum melenguh kuat.
"Mmmphhh...Arga. Please", rancau Arum tidak jelas. Mereka melakukan kegiatan panas itu dengan cepat. Desahan dan erangan memenuhi bilik. Tempat yang sempit menambah hawa panas di dalam. Keringat percintaan memenuhi toilet ini.
"Kemana Arga dan Arum", tanya salah satu rombongan mereka.
"Emm..tadi Arum ijin menemui temannya sebentar. Kalau Arga..ke..ke toilet. Iya ke toilet", jawab Melodi sedikit gugup.
"Pergi cari mereka, Mel", pinta ketua rombongan.
"Baik, kak", jawab Melodi singkat.
Melodi tahu betul kemana perginya dua kucrut itu. Melodi segera menyusul mereka.
Hanya ada satu bilik yang tertutup di sini. Jelas mereka pasti di dalam sana. Dari luar, Melodi, samar-samar mendengar desahan Arum.
"Yaakk...keluar kalian. Sudah di cari yang lain tuh". Melodi menggedor-gedor pintu toilet.
"Gue tahu yaa kalian di dalam ngapain. Arga cepet lo selesaikan. Gue tunggu di depan", kesal Melodi.
"Aaahhh...ouuhh. Me..lo..diihh", ucap Arum terbata-bata. Teriakan Melodi tidak membuat mereka berhenti. Arga malah semakin menaikkan temponya. Ia segera mencapai klimaks.
"Ber..hen..tiihh. Aaahh..Argaa"
"Sebentar lagi...aaahh sayang. Kita tuntaskan ini dulu ouuhhh..." desah Arga tertahan.
"Dia sudaah..hh..menunggu kitaa aaaahhhhh". Arga semakin bergerak cepat. Arum mengeratkan kakinya ke pinggang Arga.
"Biarkan dia menunggu. Akuuhh..hh..tidak bisa berhenti sekarang. Aaahhkkkk". Arga mencapai klimaks diikuti Arum. Nafas mereka saling memburu.
"Thanks Arum. Lain kali kalau tidak punya nyali. Jangan pernah membangunkanku lagi. Aku tidak akan berhenti jika kita sudah bermain", Arga menampilkan smirknya.
"Siapa yang tidak punya nyali sayang, aku bahkan sangat berani sekarang", goda Arum.
Arum keluar begitu saja disusul Arga dibelakangnya. Sampai di depan toilet, mata Arga membulat seketika saat melihat Zidan berdiri di depannya.
-oo0oo-
Nb : Jreng...jreng..jreng...mau diapakan nih Arga sama Zidan??
Ikutin terus ceritanya yaa...