Chereads / GRANDE / Chapter 24 - Pelayanan Pemilik Hotel

Chapter 24 - Pelayanan Pemilik Hotel

"Ya. Terakhir kali bertemu saat pernikahan kalian, ya."

"Aha. Betul itu."

"Oh, ya, bagaimana Smith? Sudah temukan perhiasan baru yang cocok untuk istrimu?"

"Emhh, aku masih mempertimbangkan. Masalahnya banyak pilihan bagus di sini."

"Ya, begitulah. Suamiku ini memang sangat perfeksionis."

"Itu bukan masalah besar, Alexa, justru bagus. Kalau begitu cepat pilih, karena diskon besar-besaran sudah menanti kalian.

Alexa dan Smith, sepasang suami istri yang pernah memesan cincin kawin di Savita's Jewellery terperanjat. Mereka sampai membulatkan mulut mereka dan membuka mata lebar-lebar.

"Wow! Terima kasih, Savita."

"Ya. Terima kasih banyak, ya."

Savita tersenyum, amat ramah.

"Sama-sama, Alexa, Smith. Kalau begitu nikmati waktu kalian. Aku harus pergi. Permisi."

"Oke. Bye, Savita!"

Savita berlalu. Saat menjauh beberapa meter, client dari New Zealand yang sempat dibicarakanpun datang. Savita semakin menyiapkan keyakinan lalu menyambut mereka.

Sekitar setengah hari lamanya Savita larut dalam kesibukan. Karena banyaknya customer yang datang dan bagusnya pelayanan yang diberikan, Savita sampai melupakan makan siang, bahkan hanya untuk sekedar minum.

Alhasil Savita merasa limbung. Ini tepat terjadi saat Savita menuju lorong, hendak mencapai resto.

Aaron yang kebetulan lewat segera jadi penyelamat. Ia membantu tubuh Savita tetap tegak.

"Eh, tidak apa-apa. Aku baik-baik saja. Terima kasih "

Aaron melepas pegangannya pada pundak Savita. Ia menanti langkah apa yang akan Savita lakukan selanjutnya.

"Mau kemana? Lelah, ya?"

"Aku ...."

Tiba-tiba terdengar suara perut Savita yang keroncongan. 2 orang yang ada di lorong itupun terkejut. Aaron lalu berusaha meredam tawa kecilnya.

"Kamu lapar? Ayo, kita ke resto secepatnya."

"Ee, aku ... tidak ...."

"Sudah. Sebaiknya tidak perlu ucapkan itu. Aku tahu benar. Ayo, mari!"

Savita berusaha menyingkirkan ketidaknyamanan yang dirasa. Ia menyusul Aaron yang berada beberapa langkah di depan.

Sekitar 1,5 meter melangkah, Aaron dan Savitapun sampai di retro utama Golden Hotel. Mereka disambut senyuman di ambang pintu.

"Selamat sore, Nona, Pak!"

"Sore!"

"Selamat sore!"

"Silakan."

Seorang waitress mengulurkan tangan, menunjukkan arah kemana sebaiknya tamu mereka melangkah

"Ah, ya."

Savita, Aaron, dan 2 waitress yang menyertai berjalan beriringan. Mereka mengarah ke arah meja yang kosong.

Begitu mendapat tempat yang dirasa pas, waitress membantu menarikkan kursi untuk Savita. Aaron memerhatikan proses ini, lebih ke memastikan bahwa Savita mendapat pelayanan yang baik.

Waitress yang satu lagi segera mengambil 2 buku menu. Aaron dan Savita masing-masing mendapatkan 1.

"Silakan, Pak, Nona."

"Terima kasih."

"Oke."

Savita dan Aaron kompak membuka buku menu bersamaan. Mereka melihat secara random.

Sekilas Aaron mengarahkan pandangan pada Savita. Matanya lalu fokus lagi pada buku menu.

"Pesan apa, Savita?"

"Emhh ...."

Savita tampak bingung.

"Udang windu saos telur asin? Sup asparagus? Sapi lada hitam? Atau yang lain?"

Savita menutup buku menu. Ia lalu memandang Aaron, bersiap mengatakan sesuatu.

"Sepertinya restomu banyak menyajikan menu yang lezat. Kalau begjtu tolong pilihkan yang terbaik."

Mendengar ini Aaron tersenyum. Ia lalu memberi kode dengan gerakan tangan, meminta sang waitress untuk bersiap mendengarkan dan mencatat apa yang dipesan.

"Nasi putih 2, tumis kangkung saos xo 1, sapi lada hitam 1, sapo tahu seafood 1, dan healthy juice 2."

"Baik, Pak. Ada tambahan lagi mungkin?"

"Emhh, nanti saya panggil, ya."

"Siap. Harap ditunggu. Untuk buku menunya bisa saya ambil, ya."

"Oh, silakan."

Savita ikut menyerahkan miliknya. Ia meringankan beban pekerjaan waitress. Ya, meski teramat sedikit.

"Permisi."

Savita dan Aaron mengangguk. Waitress pun meninggalkan mereka berdua.

"Ee, Savita, aku pikir seharusnya kamu bisa menjaga diri. Event besar seperti pameran perhiasan ini membutuhkan tenaga dan perhatian khusus. Jadi, kamu perlu makan tepat waktu, dan mungkin mengonsumsi vitamin juga."

"Ah, ya, kamu benar, Aaron. Aku benar-benar lupa waktu hari ini."

"Aha. Untung saja aku ada di sana. Kalau tidak? Kamu mungkin sudah jatuh. Parahnya lagi bisa cedera."

Savita tersenyum kecut mengingat kondisinya sendiri.

"Ya. Beruntung sekali ada kamu, Aaron. Sekali lagi terima kasih, ya."

"Oke. Tidak perlu berlebihan! Santai saja!"

Untuk beberapa saat lamanya, obrolan antara Savita dan Aaron terhenti. Bukan karena faktor eksternal, tapi karena mereka sendiri yang bingung dengan topik pembicaraan.

Aaron yang sempat memindahkan vas juga memainkan bunga di dalam akhirnya berinisiatif untuk memecah keheningan. Ia juga akan mengakhiri moment ketidaknyamanan yang Savita rasa.

"Savita ...."

Savita yang sedang memandang ke sekitar itu otomatis fokus pada Aaron.

"Ya? Apa, Aaron?"

"Sepertinya Liam belum menyempatkan diri untuk melihat pameran, ya? Menemanimu juga."

"Ya. Benar itu. Dia sedang sibuk dengan urusan kantor."

"Sayang sekali. Padahal aku ingin mengobrol banyak dengannya kalau dia di sini."

"Wah! Kalau begitu semoga bisa bertemu. Ya ... kalau Liam sempat datang ke sini nanti."

"Ya."

2 waitress yang melayani Aaron dan Savita sejak awal kembali lagi. Mereka tidak sendiri, melainkan bersama sebuah trolley berisikan makanan dan minuman pesanan.

"Ah, sudah datang rupanya."

Savita bisa lihat dengan jelas aneka makanan yang diplating dengan apik itu. Jelas juga ada asap yang masih mengepul.

"Wow!"

"Kuharap kamu akan menyukainya, pilihanku."

"Uh, pasti, Aaron."

Waitress menata hidangan. Sebelumnya, salah satu di antara mereka ada yang sudah memindahkan penghalang, seperti vas bunga dan kotak tissue.

Seperti biasa, Aaron bersikap melayani penuh. Ia ikut menata, persis setelah para waitressnya meletakkan hidangan di atas meja. Ini dimaksudkan agar lebih dekat pada si tamu, Savita.

Begitu selesai memindahkan seluruh isi trolley, 2 waitress kompak undur diri melalui body language. Aaron menanggapi dengan anggukan.

"Oke. Terima kasih, ya."

"Sama-sama, Pak."

Sesaat Savita masih mengagumi seluruh hidangan yang ada di depan matanya. Tampak sekali ia juga sudah tidak sabar untuk mengisi perutnya yang sudah keroncongan sedari tadi.

Aaron yang melihat ini jadi agak tertawa kecil. Ia lalu mengetuk meja, membuyarkan tatapan Savita yang fokus pada makanan.

"Eh, ya?"

"Ayo, silakan!"

Savita tersenyum lalu mengangguk. Ia mulai memindahkan satu persatu lauk ke dalam piringnya yang hanya berisi nasi putih.

Aaron membiarkan Savita untuk mengambil yang disuka lebih dulu. Ia sungguh bersikap amat sabar.

"Ayo, Aaron! Giliranmu. Ambil juga!"

"Ok, my turn."

Sama, Aaron juga memilih beberapa, tidak semua. Savita juga masih menunggu Aaron, tidak makan lebih dulu.

"Mari makan!"

Savita tersenyum untuk ke sekian kali.

"Selamat makan!"

Savita dan Aaron mulai menyuapkan makanan ke dalam mulut mereka. Sesekali bahkan Savita mencecap, mencoba merasakan masakan dengan lebih menghayati.

"Enak?"

"Hmm ... ya! Tentu saja. Ini layak dapat nilai sempurna."

Savita menyuap lagi. Ia tampak rakus kali ini.

"Oh, syukurlah. Kusampaikan itu nanti pada chef di kitchen."

Savita dan Aaron terus makan. Mereka berdua sangat menikmati makan siang berdua.

Beberapa kali, Aaron menambahkan lauk ke piring Savita. Perempuan itu menolaknya, tapi Aaron memaksa. Mereka benar-benar terlibat dalam adu body language yang kuat.

"Nah, ini. Kamu juga harus makan yang banyak, Aaron. Bapak CEO sangat perlu asupan nutrisi."