Alice memonyongkan bibirnya. Ini tanda protes atas cerita Liam barusan. Liam dan Savitapun tertawa kecil.
"Eh, Aaron, jangan membuat Alice kesal!"
"Ya, Savita, tidak lagi."
Aaron menunjukkan simbol angka 2 dengan tangan. Ia lalu berusaha meredam tawanya sampai benar-benar berhenti.
"Ayo, jalan lagi!"
Semua mengangguk, menanggapi ajakan Liam. Sampai basement, langkah mereka tidak ada yang tersendat, aman-aman saja.
Kebetulan sekali, mobil Liam dan Aaron ternyata terparkir bersebelahan. Kedua CEO itu juga kompak memasukkan barang belanjaan kekasih ke dalam mobil masing-masing.
Selesai membereskan barang baru Savita, Liam segera masuk mobil dan duduk di kursi sopir. Saat Savita hendak menyusul, dengan sigap Aaron membukakan pintu mobil untuknya.
Ya, Aaron dan Alice mengantar kepergian Savita juga Liam. Soal Alice, ia sama sekali tidak punya prasangka buruk akan sikap ringan tangan Aaron itu.
"Terima kasih, Aaron."
"Oke, Savita, sama-sama."
Liam menghidupkan mesin. Ia membunyikan klakson juga. Aaronpun mengangkat tangannya, sedang Alice melambaikan tangan.
Mobil Liam melaju. Alhasil tinggal Aaron dan Alice yang masih berada di samping mobil.
"Huh, selesai juga kencan kita malam ini. Apa kamu menikmatinya, Aaron?"
Aaron mengacak rambut Alice. Perempuan itu sedikit kesal, tapi tidak mempermasalahkannya, karena ia betulkan lagi.
"Harusnya aku yang tanyakan itu, tapi jujur, aku sangat menikmatinya."
"Idemu memang selalu bagus dan berhasil, Aaron. Besok pikirkan lagi yang baru!"
Aaron merangkul pundak Alice.
"Siap, tapi sebaiknya kita pulang dulu sekarang. Ayo!"
Aaron membukakan pintu mobil untuk Alice. Ia mengarahkan perempuannya untuk seegra masuk.
Begitu poisis Alice aman, Aaron bergegas menempati posisinya. Tanpa bicara apapun lagi pada Alice, ia langsung tancap gas.
Perjalanan menuju rumah Alice dilewati dengan lancar. Entah kenapa justru sekarang terasa lebih cepat sampai daripada saat berangkat tadi.
Alhasil dalam waktu 5 menit lebih awal dari durasi perjalanan sebelumnya, mobil Aaron sudah sampai di depan rumah Alice. Iapun kembali sigap membukakan pintu mobil.
"Terima kasih, ya. Tidak mau ke dalam dulu?"
"Kurasa tidak. Lain waktu saja, ya, Alice. Aku takut ada sesuatu yang urgent di hotel."
"Oke."
Aaron membuka pintu mobil bagian tengah. Di sana ia mengambilkan barang belanjaan Alice. Dalam waktu singkat, beberapa paper bag itu sudah berpindah tangan, dari Aaron pada Alice.
"Bawa masuk dan bersenang-senanglah dengan ini di dalam! Dah!"
Alice cekikikan.
"Dah!"
Aaron pergi dari depan rumah Alice. Iapun sempat membunyikan klakson sebelum benar-benar lenyap dari hadapan sang kekasih.
"Oke. Mari kita unboxing!" seru Alice kegirangan.
Alice masuk rumah setelah memberi tanda agar securitynya membukakan pagar. Ia melangkah ke dalam rumah dengan santai. Ya, meski antusias, tapi Alice masih bisa mengontrol emosi.
Sampai kamar, Alice menyempatkan diri untuk mencuci wajah dan mengganti pakaian dengan piyama. Setelahnya ia baru membuka paper bag satu persatu.
Melakukan aktivitas pembongkaran di atas tempat tidur, Alice auto melihat dan fokus lagi pada tumpukan pakaian yang tidak terpilih tadi. Iapun menghembuskan napas berat, tanda malas menangani.
"Emhh, Bi ... Bibi!"
Alice terus membuka paper bag. Ia melihat-lihat lagi barang-barang terpilih dari butik tadi. Beberapa saat kemudian, asisten rumah tangganya lalu muncul dengan agak berlari kecil.
"Ya, Non? Ada apa?"
Alice menunjuk tumpukan pakaian.
"Ini ... tolong dilipat dan simpan lagi di lemari!"
"Baik, Non."
Terjadi 2 pemandangan berbeda di 1 tempat yang sama. Ya, Alice sibuk membongkar barang belanjaan, sedang asisten rumah tangga harus merapikan barang majikannya.
Alice yang sudah selesai melihat-lihat koleksi terbaru lemarinya itu lantas merebahkan diri. Tiba-tiba di pikirannya terlintas soal kejadian di mall tadi.
"Hmm, Liam .... untung saja ada dia tadi. Kalau tidak, aku pasti sudah jatuh. Kupikir dia baik juga, memberikan jam tangan cuma-cuma dan sigap menolong," batin Alice dengan senyum yang tersungging tipis.
Bukan Alice saja rupanya, tapi Savita juga. Sama, ia terpikirkan soal Aaron saat
"Aaron ... Aaron, kamu baik sekali, ramah, dan ringan tangan. Beruntungnya Alice punya kamu. Hmm, andai saja Liam setingkat lebih baik di atas kamu," banding Savita saat bermonolog.
***
Aaron melangkah dengan gaya cool. Pagi ini ia muncul lebih awal dengan semangat kerja yang membara.
Area front office jadi tujuan pertama sidaknya sekarang. Dari kejauhan, ia sudah disambut tatapan ramah dan senyuman hangat para staf di sana.
"Pagi, semuanya!"
"Pagi, Pak Aaron!"
"Pagi, Pak!"
"Bagaimana? Ada kendala?"
"Tidak ada, Pak. Justru dengan senang hati kami bisa katakan bahwa bulan depan hotel sudah full booking, Pak."
"Baguslah. Aku sangat bersyukur."
"Oh, ya, ini ada surat untuk Bapak."
Aaron mengernyit. Ia menerima surat beramplop putih polos.
"Dari siapa?"
"Ee, pengirimnya hanya katakan dari Royal Watch, Pak."
"Wah, Liam?"
***
Alice merasakan aroma parfum yang ada di tangannya kini. Ini termasuk dalam tahap uji coba sebelum peluncuran.
"Nice, tapi kurasa kurang. Tambah lagi aroma lavendernya, ya."
Alice memberikan parfum pada salah satu stafnya. Ia beralih fokus pada sosok staf lain yang sudah berdiri menunggu agak lama.
"Ya? Apa katamu tadi? Ada surat?"
"Benar, Nona Alice. Ini."
Alice menerima amplop yang diberikan. Ia mencoba mencari nama pengirim, tapi tidak menemukannya.
"Siapa yang kirim ini tadi?"
"Maaf, kurang tahu juga, Nona. Yang jelas pengirimnya tadi berpakaian tapi, dengan jas formal. Ada name tag. Tertulis namanya dan kata-kata Royal Watch di sana, Nona."
"Hmm, Royal Watch? Tunggu! Apa ini dari Liam? Serius?"
***
"Baiklah. Terima kasih sudah menemaniku presentasi tadi. File yang kamu siapkan benar-benar lengkap. Jujur, itu patut diapresiasi."
"Sama-sama, Nona. Terima kasih juga atas pujian Nona."
Savita membuka pintu ruang kerjanya.
"Oke. Kamu bisa lanjut kerja sekarang."
"Baik, Nona."
Savita masuk dan menutup pintu. Ia bisa dengar suara heels stafnya yang menunjukkan langkah menjauh.
Pandangan Savita lantas tertuju pada sesuatu yang ada di meja kerjanya. Alhasil ia agak mempercepat langkah, sebab ingin segera tahu.
"Surat?"
Savita meneliti amplop putih berukuran sedang itu. Tidak ada nama pengirim atau stempel perusahaan manapun.
Tidak ingin penasaran lebih lama, Savita segera membuka amplop. Ia membaca selembar kertas yang berisi beberapa baris tulisan itu.
"Undangan berlibur dan daftar kegiatan? Hmm, sepertinya aku tahu siapa yang ada di balik ini. Liam!"
Savita lekas menyambar tas kerjanya. Ia melangkah keluar dari ruangan CEO.
Savita terus melangkah dengan langkah khas wanita karir. Ia menuju resepsionis kantornya.
"Aku harus pergi. Tolong hubungi aku kalau ada yang mencari, ya."
"Baik, Nona Savita."
Savita menuju area parkir. Ia mengemudikan mobilnya menuju kantor Liam.
Soal jarak, memang cukup jauh dari Savita's Jewellery. Meski begitu, Savita mengemudi dengan santai dalam kecepatan normal.
Begitu sampai, Savita melangkah anggun dengan langkah yang sama seperti di kantornya sendiri tadi. Seperti biasa, ia bersikap ramah pada staf-staf Liam yang menyapa.
"Mau bertemu Pak Liam, Nona?"
Savita fokus pada sekretaris Liam yang berpapasan dengannya.
"Ya. Ada di dalam, bukan?"
"Benar, Nona. Kebetulan Pak Liam sedang kosong, tidak ada tamu. Silakan."
Sekretaris Liam mengulurkan tangan, mempersilakan. Savitapun melangkah lagi, meninggalkan bawahan Liam itu.