Seorang perempuan cantik dengan dress selutut warna merah maroon sedang melayangkan tatapan menggoda pada Liam. Ia duduk di sofa dengan kaki menyilang.
Liam segera melihat sekeliling. Mendapati pintu ruang kerja yang masih terbuka, Liam segera menutupnya, plus mengunci.
Liam lalu berjalan mendekat pada perempuan itu. Ia juga ikut duduk di tempat yang sama, di sebelahnya.
"Hmm, kenapa ke sini di akhir jam kerja?"
"Tidak apa-apa, Pak. Baru sempat saja."
"Atau memang sengaja?"
"Emhh, mungkin ya ... bisa dikatakan begitu, karena kalau aku membicarakan tentang ini tadi, pastinya akan mengganggu Bapak."
Liam mulai menggerakkan tangannya, menyusuri tubuh si bawahan.
"Katakan! Apa yang ingin kamu bicarakan ?"
"Emhh, itu, Pak .... apa aku bisa naik jabatan?"
Liam agak terbelalak. Tidak ia sangka bawahannya akan meminta hal itu.
"Bagaimana, ya? Ee, bisa saja. Beri tahu saya jabatan yang kamu mau! Saya atur nanti."
"Sungguh? Aku mau jadi sekretaris Bapak. Bisa atur segera?"
Bawahan Liam membuka jas atasannya. Ia juga membuka 1 kancing plus mengendurkan dasi. Ini sudah hampir jam pulang, jadi ia bersikap meringankan.
"Di bagian lain oke saja, tapi kalau sekretaris belum bisa."
Bawahan Liam tidak terima. Ia menghentikan aktivitasnya dan mendorong sedikit tubuh Liam.
"Bapak jahat! Mana mungkin tidak bisa?"
Sang bawahan cemberut. Ia juga melipat tangan.
"Hei, sekretaris bekerja sangat bagus. Lagipula kalau kamu jadi sekretaris saya, orang-orang kantor pasti akan curiga dengan kedekatan khusus kita."
"Huh!"
Liam sungguh tidak suka melihat wajah cemberut perempuan. Iapun merangkul si bawahan.
"Sementara tetap bertahan di bagianmu! Kalau memang mau pindah, pertimbangkan area kerja yang lain!"
Liam mengelus-elus pundak si bawahan. Ia juga melanjutkan aksi menenangkan dengan mengeluarkan dompet dari dalam saku celana, dan mengambil beberapa lembar uang dari sana.
"Ini. Ambil dan pergi ke salon sana!"
Si bawahan girang melihat apa yang ada di hadapannya. Ia mengambilnya, menghitung, lalu memeluk yang memberi.
"Terima kasih, Pak."
"Ya. Ingat! Jangan mencoba untuk menggeser posisi sekretaris! Atau kita akan ketahuan dan kamu tidak dapat dana lagi."
"Oke. Aku pulang. Bye, Pak!"
Bawahan Liam bangkit. Ia melambaikan tangan dengan amat genit nan menggemaskan. Mendapat perlakuan seperti itu, Liam mengangkat tangannya saja, sok cool.
Pintu yang sempat dibuka sebagai akses keluar segera ditutup kembali. Liam yang masih bertahan pada posisinya itu menyamankan diri.
***
Mobil mewah Aaron sudah mendapat akses masuk dari security rumah Alice. Mobil itupun terparkir di halaman depan sekarang.
Aaron membawakan rangkaian bunga khusus vas untuk Alice. Dengan penuh percaya diri Aaron melangkah masuk, melewati teras, sampai berhenti di depan pintu yang masih tertutup.
Bel rumah dibunyikan. Sebentar menunggu, tidak ada jawaban. Aaron lalu memencet sekali lagi, dan ya ... sabar menunggu.
Aaron yang sudah senyum-senyum sendiri itu semakin melebarkan senyuman saat pintu terbuka. Bukan tersenyum pada asisten rumah tangga, tapi pada Alice, sosok yang membuka sendiri pintu rumahnya.
"Halo, Alice!"
Alice menunjukkan rasa antusiasme tinggi. Hatinya sungguh berbunga-bunga karena bertemu Aaron, si kekasih hati.
"Aaron, ayo, masuk!
Sambil mulai melangkah mausk, Aaron menyerahkan rangkaian bunga vas yang dibawa. Alice menerima dengan senang hati.
"Terima kasih. Bunga yang cantik dan warnanya juga soft. Ah, aku menyukainya."
"Letakkan itu di area foyer, agar semua tahu betapa bagusnya pilihanku."
Alice yang sudah berjalan beberapa langkah di depan Aaron itu berbalik. Ia mengurungkan niat untuk meletakkan bunga di dalam, dan lebih mendengarkan saran Aaron.
Bunga dalam vas kaca sedang diambil. Alice mengganti bunga yang hampir layu itu dengan yang baru, pemberian Aaron.
"Wah, indahnya ...."
"Senang?"
Alice mengangguk dengan gaya yang amat menggemaskan. Ia lalu memeluk Aaron dan mendapat balasan serupa.
"Terima kasih, ya."
"Sama-sama, Alice. Ya sudah, cepat ganti pakaian sana!"
"Oke. Tunggu sebentar!"
Aaron duduk di sofa ruang tamu tanpa dipersilakan. Sesaat matanya memandang ke sana ke mari, tapi setelah itu ia main smartphone juga.
Di dalam, Alice tampak menemui sedikit kendala. Bukan karena ada alat make up yang tidak bisa digunakan lagi, tapi karena bingung saat memilih outfit.
"Hmm, yang mana, ya?"
Alice terus membongkar isi lemari. Ia mengukur tingkat kepantasan lalu melempar ke atas tempat tidur saat dirasa kurang cocok.
Begitu hampir sebagian pakaian dalam lemari berpindah tempat, Alice mulai frustrasi. Rasa tidak nyaman itu baru hilang saat ia menemukan jumpsuit bernuansa earth tone.
"Ya! Ini saja. Aaron pasti suka."
Alice yang senang lekas mengganti pakaiannya. Begitu selesai, pandangannya kembali tertuju pada pakaian yang terlantar di atas tempat tidur. Ia ingin mengembalikan lagi ke tempat semula, tapi urung setelah berpikir akan mengerjakannya nanti.
Bergegas Alice menyemprotkan parfum dari salah satu koleksinya. Ia mengaplikaaikan itu pada beberapa titik tubuhnya.
Segera juga Alice menyambar tas selempang kecil berbentuk bulat. Ia mengisinya dengan smartphone dan dompet.
Alice berlari kecil menuju ruang tamu, tempat Aaron menunggu. Kedatangannyapun jadi pusat perhatian sang kekasih.
"Wah, imut sekali! Penampilanmu benar-benar mengingatkanku pada kencan pertama kita."
Alice tersipu malu. Aaron lalu bangkit dan Alice sigap menggamit lengannya.
"Ayo, berangkat!"
Aaron dan Alice melangkah bersama keluar rumah. Pemilik rumah sendirilah yang menutup sekaligus mengunci pintu.
Aaron selalu bersikap membuat kekasihnya bak ratu. Ia masih membukakan pintu untuk Alice.
2 orang CEO dalam bidang berbeda inipun menikmati perjalanan mereka. Butuh sekitar 30 menit lebih sedikit untuk sampai di tempat kencan malam ini.
Mall teramai kedua di kota, di disinilah lokasi tujuan Aaron dan Alice. Usai memarkirkan mobil di basement, mereka tampak mmesra, bergandengan tangan menuju bioskop.
"Eh, Aaron, apa aku bisa belanja 1 atau 2 potong dress di sini sebelum menonton?"
Aaron tampak mempertimbangkan.
"Emhh ...."
"Boleh, ya?"
Alice harap-harap cemas. Ia baru lega bercampur senang saat Aaron menampakkan senyum dan anggukan.
"Yeay!"
Alice menggandeng tangan Aaron. Ia agresif kini. Kekasihnya itu diarahkan menuju salah satu butik yang terkenal dengan produk mahalnya.
"Diam saja di sini! Atau ... kamu bisa pergi ke outlet lain, tapi nanti. Oke?"
Aaron membenci hal ini, tapi ia sudah terlanjur setuju dengan rencana mendadak Alice. Alhasil ia bersikap pasrah, tapi malas.
Aaron berdiri menunggu di salah satu sudut butik. Sementara itu Alice sudah mulai melihat-lihat, berkeliling.
Di awal, mata Aaron masih mengikuti jejak langkah Alice. Sekarang, di menit ke sekian, pandangan mata Aaron menyapu sekitar lagi, pada 2 sosok yang tidak asing lagi tepatnya.
Aaron bergegas mendekati Alice. Ia menepuk lengan kekasihnya.
"Hmm? Apa, Aaron? Tunggu saja di sana, sebentar lagi selesai."
"Itu ...."
"Itu apa?"
Alice masih belum menatap Aaron. Ia terlalu fokus memerhatikan detail pakaian yang saat ini sedang ada di tangannya.
"Hei, lihat dulu!"
Aaron memaksa Alice. Perempuan itu dibalikkan tubuhnya.
Sontak Alice bisa lihat apa yang Aaron ingin beritahukan sejak tadi. Ia jadi sedikit terkejut.
"Savita ... Liam ...."
"Ya. Mereka di sini juga ternyata."
"Ayo, ke sana, Aaron!"
Alice membawa serta pakaian yang belum sempat dinilai secara keseluruhan. Ia dan Aaron melangkah bersama, ke area butik yang lebih dalam lagi.