Savita memindahkan beberapa sendok lauk ke piring Aaron yang nyaris kosong. Ini bak pembalasan atas tingkah Aaron tadi.
"Eh ...."
"Diam! Jangan menolak dan nikmati saja!"
"Emhh, baiklah. Selama ini permintaan tamu, oke-oke saja."
Aaron langsung menyendok tambahan lauk yang baru saja mengisi space kosong di piring.
"Bagus!"
Aaron plus Savita terus makan. Mereka benar-benar menghabiskan apa yang dipesan, kecuali garnishnya. Soal minuman, itu juga tersisa hanya sekitar 2 teguk saja.
Savita menunjukkan sikap lega karena bebas dari perut keroncongan. Aaron juga sampai mengendurkan sabuknya, dan agak bersandar.
"Aaron, terima kasih untuk pilihanmu. Aku sangat puas. Good job!"
Aaron segera memperbaiki gaya duduknya. Ia ingin terlihat menghargai sosok yang sedang mengajaknya bicara.
"Sama-sama, Savita. Terima kasih juga untuk kesediaanmu menerima apapun yang kusuguhkan."
"Oke."
Savita mengangkat tangan. Alhasil ia kedatangan seorang waiter. Aaron yang menyaksikan ini jelas dibuat bingung dengan alasan pemanggilan yang dilakukan Savita.
"Ya? Ada yang bisa dibantu, Nona?"
"Tolong, bill."
"Baik."
Waiter menyingkir. Ia menuju meja kasir, menyiapkan apa yang diminta Savita.
"Savita, biar aku saja yang menangani pembayaran. Kamu tidak perlu repot."
"Tidak apa-apa, Aaron. Lagipula ini sebagai bentuk terima kasihku untuk treatment bintang limamu."
"Oh, jangan! Tidak bisa begitu. Tetap aku yang urus."
Waiter kembali lagi ke meja yang ditempati Aaron juga Savita. Ia membawa serta sebuah kertas yang terletak di tray kecil.
Savita menerima bill. Saat akan membaca, Aaron tiba-tiba merebut kertas putih itu.
"Aaron...."
"Sudah kukatakan. Biar aku saja."
Savita menunjukkan kepasrahan. Aaronpun mengembalikan bill pada waiter.
"Ini. Minta nanti pada accounting, ya."
"Baik, Pak. Permisi."
"Oke."
Waiter pergi. Aaron fokus lagi pada Savita.
"Terima kasih sekali lagi, Aaron."
"Sama-sama, Savita."
Savita meraih tasnya yang sempat diletakkan di kursi sebelahnya. Ia bersiap pergi.
Aaron terkejut dengan apa yang akan Savita lakukan. Ia jadi bangkit dari duduknya, bahkan sebelum Savita berdiri dengan sempurna.
"Sudah mau pergi? Pulang ke rumah? Atau mau ke tempat lain?"
"Tidak, Aaron. Aku harus kembali ke acara pameran."
"Oh. Ayo, kalau begitu kita kesana bersama. Aku juga harus mengecek lagi."
"Ayo!"
Aaron dan Savita berjalan berdampingan. Mereka keluar resto dengan tatapan heran dari beberapa stafnya.
"Eh, itu siapa, ya? Biasanya Pak Aaron tidak pernah membawa perempuan lain. Dia juga jarang turun langsung melayani client perempuan, apalagi yang umurnya sama dengan Nona Alice."
"Ya. Entahlah."
***
Seperti biasa, orang-orang selalu tampak sibuk dengan bagiannya masing-masing di Royal Watch. Ya, itu nama brand yang Liam usung.
"Permisi, tolong setelahnya layani aku, ya, sangat butuh konsultasi."
"Baik. Harap tunggu sebentar, Bu, sabar antri."
"Baiklah."
Liam tiba di area perusahaan yang dikhususkan untuk mendisplay aneka jam tangan mewah. Ia bisa saksikan keramaian yang sedang berlangsung di sana.
"Oh, tidak. Semoga saja semua bisa tertangani dengan baik," batin Liam.
Liam segera berjalan mendekat. Kehadirannya seketika jadi pusat perhatian para pengunjung.
Sadar diperhatikan, Liam memberikan senyuman terbaiknya. Iapun dapat balasan setimpal dari mereka semua yang memang mengharap kehadiran atasan tertinggi Royal Watch.
"Halo! Cari apa, Nona? Saya akan bantu."
Seorang remaja yang fokus melihat jam tangan mendongak. Ia agak meneliti sosok yang mengobrol dengannya.
"Oh, ya. Ini, Kak, aku butuh jam tangan simple yang cocok untuk remaja."
"Oke, sebentar."
Liam yang sudah ada si balik etalase itu mencari jam tangan yang Pas. Matanya menyapu dengan cepat sampai akhirnya memilih 1 yang terbaik.
Liam mengeluarkan jam tangan. Ia memperlihatkan pada gadis remaja.
"Ini. Simple, kecil, tapi berkelas."
Gadis remaja memerhatikan, menilai dengan masih berjarak, karena jam tangan ada di tangan Liam.
"Emhh, bagus! Sepertinya aku suka ini, Kak."
Liam tersenyum. Ia sudah antusias, karena pasti teknik penjualannya berhasil. Iapun menyodorkan jam tangan.
"Coba saja dan buktikan sendiri! Ya, agar semakin yakin untuk memilih yang ini."
Gadis remaja mengambil apa yang sisodorkan. Ia memakai gelang di pergelangan tangan kirinya.
Kembali gadis remaja itu menilai. Memainkan tangan, melihat keindahan jam tangan dari berbagai sisi.
"Emhh, oke. Jadi pilih ini, ya, Kak. Tolong bungkus."
"Oke."
Liam tidak memanggil stafnya untuk melakukan tahap akhir ini. Ia benar-benar turun tangan melakukan segala sesuatunya sendiri.
Sebentar saja menunggu, gadis remaja itu kembali di sodori. Alhasil di hadapannya sudah ada paper bag berstamp Royal Watch berisikan jam tangan terpilih.
"Untuk pembayarannya ... cash? Mobile banking atau yang lain?"
"Cash saja, Kak. Sebentar."
Gadis remaja mengeluarkan segepok uang dari dalam tasnya. Tidak aneh, karena dari penampilannya saja, gadis remaja itu tampil bersih dengan aneka merk branded yang membungkus tubuhnya.
Dari segepok itu, gadis remaja mengambil seperempat bagiannya. Ia langsung menyodorkan pada Liam.
Bak menjelma jadi petugas bank, Liam menghitung uang itu dengan professional, menggunakan alat. Angka yang tertera di monitorpun menunjukkan jumlah yang pas, sesuai harga.
"Pas. Terima kasih, Nona."
"Sama-sama."
Gadis remaja mengambil miliknya. Ia lalu pergi dari hadapan Liam.
Liam keluar dari dalam area khusus staf. Ia menghampiri bagian cashier yang kebetulan masih santai, menunggu datangnya customer dan uang mereka.
"Bagaimana sejauh ini? Pendapatannya banyak?"
"Ya, Pak. Hari ini sudah menyentuh angka puluhan, padahal belum penutupan."
Liam membelalak tidak menyangka. Sejujurnya ini sedikit berlebihan.
"Wow! Bagus! Tingkatkan sampai melampaui target bulanan!"
"Baik, Pak. Semua staf akan berusaha melakukan yang terbaik."
"Oke."
Liam pergi dari area cashier. Ia berpindah ke titik tengah. Dari sini, ia bisa melihat dengan jelas seluruh area, betapa ramai dan sibuknya tempat display sekaligus penjualan hari ini.
Ketika pandangan Liam sampai ke salah satu area, CEO itu lantas menyipitkan mata. Bukan tanpa sebab, tapi karena ia harus memastikan apa yang dilihatnya adalah kebenaran. Ya, ini soal sosok perempuan cantik.
"Ah, dia datang rupanya. Kalau begitu aku harus ke sana," kata Liam, antusias saat melakukan monolog.
Liam melangkah dengan penuh percaya diri untuk mendekati perempuan tinggi, berambut panjang lurus, dan berkulit mulus. Tampak jelas jiwa player dalam dirinya.
"Hai!"
Perempuan yang sedang asyik melihat koleksi jam tangan eksklusif itu lantas melihat Liam. Ia lalu memberikan senyum dan tatapan genit pada sang CEO.
"Hai! Sensormu mendeteksi keberadaanku, ya?"
Liam tertawa mendengar kalimat yang sarat akan humor itu.
"Ya ... anggap saja begitu!"
"Aww! Sakit."
Perempuan yang sudah bisa ditebak berprofesi sebagai seorang model itu terkekeh.
"Ayo, pilihkan yang pas untukku!"
"Beli? Jadi?"
"Tentu saja. Kamu pikir?"
"Okelah. Aku akan pilihkan yang paling bagus dan mahal."
Liam segera beralih masuk. Ia menempatkan diri kembali di balik etalase.
Liam membuka etalase. Ia lalu mengambil 1 setelah menyapu apa yang tersaji dalam kotak kaca itu.
Tanpa basa-basi, Liam meraih tangan si model. Ia juga langsung memakaikan jam yang penuh dengan permata itu.
"Wow! Cantik sekali! Kamu memang hebat, Liam. Pilihanmu selalu tepat."
Liam menunjukkan gaya soknya.
"Terima kasih untuk pujianmu, Nona. Kalau begitu ini kuberikan gratis."