"Liam, kamu mau muntah? Di sini saja. Ayo!"
Liam menggeleng. Ia terus saja menunjukkan bahwa ia kuat memakannya sampai habis.
Mama tergelak. Ia menertawakan Liam yang konyol di matanya.
Melihat ini, Savita menyayangkan tindakan sang mama. Ia menunjukkan itu dengan ekspresi yang amat tegas.
"Ma ...."
***
"Halo, Nona!"
Savita membenahi posisi smartphone yang sudah ditempelkan ke telinga itu. Ia juga melakukannya sambil mengemas beberapa file ke dalam sebuah map.
"Ya. Apa?"
"Hanya mengingatkan Nona, tolong kehadirannya segera, ya. Kami semua di sini membutuhkan Nona."
"Ya ... ya. Sekitar 20 menit lagi aku sampai. Handle dulu semampumu, ya."
"Baik."
Panggilan berakhir. Savita yang masih belum memakai alas kaki itu lantas memilih 1 yang terbaik, high heels dengan model formal dan hak yang tidak terlalu tinggi, untuk memudahkan mobilitas tentunya.
Segera Savita berlari keluar kamar. Ia sampai lupa berpamitan pada orang rumah. Jadi, kepergiannya hanya diiringi gelengan kepala.
"Ck ... ck ... ck. Apa yang membuatnya sampai terburu-buru seperti itu?" keluh Mama Savita sambil memoles perabotan makan dan minum.
"Yang jelas pasti karena urusan pekerjaan. Sudah, jangan pusingkan itu! Ini, mari kerjakan semuanya lalu poles yang masih tersisa di gudang," ujar Bibi yang sedang memoles dengan kekuatan penuh, amat bersemangat.
"Ya," ucap Mama lalu fokus lagi pada apa yang sedang dikerjakan.
Sementara orang rumah sibuk dengan pekerjaan mereka, Savita juga sibuk mengemudi di jalanan kota. Biasanya tidak mengebut, tapi kali ini sebaliknya. Sebab, ia harus sampai cepat di lokasi tujuan.
Golden Hotel, di sini mobil Savita berhenti. Ia langsung keluar dan menyerahkan kunci pada bellboy.
Saat Savita berjalan masuk, maka bellboy akan membantu memarkirkan mobil. Dan, Savita tinggal terima beres, hanya mengambil kunci pada sosok yang sama saat pulang nanti.
Dengan langkah dan penampilan yang anggun khas wanita karir, Savita sudah tentu jadi pusat perhatian semua pengunjung hotel, juga staf-stafnya. Sadar mendapat perlakuan penuh cinta, Savita hanya bisa melempar senyuman dan menunjukkan kepercayaan diri penuh.
Ballroom hotel jadi tujuan utama. Segera Savita menuju lift terdekat, beberapa meter dari lobby.
Ting!
Pintu lift terbuka. Setelah melalui beberapa lantai, Savita akhirnya sampai juga di ballroom yang berada di lantai pertengahan.
Melihat kedatangan Savita, seorang staf berlari kecil menghampiri. Ia meninggalkan pekerjaan sebelumnya, melayani tamu yang datang ke acara pameran perhiasan.
"Nona ...."
"Ya? Kenapa panik begitu? Santai saja!"
Staf Savita merendahkan pandangan. Ia tidak merasa percaya diri.
"Tidak bisa tanpa Nona. Masalahnya ini adalah pameran pertama dengan mayoritas pengunjung luar negeri."
Savita tersenyum. Ia memancarkan aura, seolah menyalurkan energi.
Pundak sang staf lantas dipegang. Ia siap memberikan wise word sekarang.
"Yakin saja, ya. Akupun begitu tanpa kamu dan rekan kerja lainnya. Ayo, semangat!"
Staf Savita menunjukkan keyakinan dan kepercayaan diri. Ini persis setelah tangan Savita lepas dari pundaknya.
"Baik, Nona. Siap."
Savita menunjukkan jempol, tanda memuji.
"Bagus! Ayo, kita kesana!"
"Mari!"
Savita dan stafnya melangkah bersama menuju ke area dalam ballroom. Mereka langsung melempar senyuman pada para pengunjung yang mengalihkan fokus.
Langkah pertama yang Savita lakukan ialah mengecek kondisi perhiasan yang dipamerkan. Alhasil ia berkeliling.
"Oke. Bagus! Pakai selalu hand gloves, ya! Semuanya harus tetap bertahan di kondisi baik dan berkilau. Plus, pastikan semua dipoles secara berkala! Sampaikan ini ke semua anggota tim!"
Savita dan stafnya terus berjalan.
"Baik, Nona. Saya mengerti dan akan menyampaikan nanti."
"Good!"
Saat hendak menghampiri salah satu pengunjung untuk bertanya soal pendapatnya, Savita ternyata dipertemukan dengan sosok pemilik Golden Hotel, Aaron! Ini terjadi saat Savita melihat ke arah berlawanan yang membuatnya menabrak Aaron.
"Aww!" pekik lirih Savita sambil memegang pundaknya yang sedikit kesakitan.
Melihat ini, Aaron bersikap responsif. Otomatis ia merasa khawatir.
"Maaf, Nona. Apa itu sangat sakit?"
Savita melihat sosok yang mengajaknya mengobrol itu. Ia sontak terkejut. Orang itu juga.
"Aaron ...."
"Savita?"
Aaron dan Savita berusaha lepas dari momen keterkejutan mereka. Dalam sekejap, keduanya bersikap normal.
"Aku tidak apa-apa. Maaf, ya. Ini salahku."
"Ah, jangan begitu! Ini sebuah ketidaksengajaan. Maaf juga, ya."
"It's ok, Aaron."
Aaron membenahi jasnya yang sebenarnya tidak apa-apa itu.
"Oh, ya, ada acara apa sampai ke hotel ini? Eh, tunggu ...."
Aaron melihat sekeliling. Cara pandangnya yang seperti sensor itu lantas terhenti tepat saat melihat instalasi tulisan Savita's Jewellery.
"Ya, karena itu."
Aaron fokus lagi pada Savita.
"Wah, perusahaanmu ikut juga ternyata. Congrats! Semoga sukses sampai akhir acara, ya."
Savita tersenyum sekaligus tersipu maluu mendapati pujian dan dukungan dari Aaron.
"Terima kasih, Aaron. Sukses juga untukmu sebagai salah satu vendor, ya."
"Ah, terima kasih juga."
Staf yang tadinya berjalan bersama Savita memanggil. Untungnya Savita peka, melihat kode lambaian tangan dari jarak yang cukup jauh.
"Eh, Aaron, maaf, kita lanjut lagi nanti, ya. Staf di sini membutuhkanku. Sampai jumpa!"
"Oke ... oke. Dah!"
Aaron masih mengikuti langkah Savita beberapa saat. Ia lalu menyingkir dari area pameran perhiasan di ballroom, melanjutkan sidak paginya.
Sebelum Aaron benar-benar keluar ballroom, Savita jelas sudah sampai pada staf yang memanggil. Ia lantas bertanya dengan body language, gerakan kepala berarti 'apa?'.
"Ada info, Nona. Ini ... kedatangan client dari New Zealand akan dipercepat. Apa kita perlu melakukan treatment khusus?"
"Oh, begitu, ya? Emhh, tidak usah. Selama perhiasan aman, masih mengkilap, jangan memoles, ya! Polesan berlebihan justru akan merusak perhiasan nanti. Begini, siapkan mental saja, ya!"
Staf menunjukkan anggukan siap, sekali tapi mantap.
"Good! Ya sudah, aku akan lanjut berkeliling, mencari tahu testimoni pengunjung."
"Baik, Nona."
"Oke."
Savita melenggang santai. Ia meninggalkan stafnya yang sibuk berkoordinasi lagi dengan rekan kerja lain.
Oh, Savita sungguh jadi pusat perhatian para pengunjung, terutama sesama pebisnis yang juga ikut pameran perhiasan. Kedatangannya seolah sudah dinantikan.
"Halo!"
"Selamat pagi jelang siang, Savita!"
Savita dan pebisnis perempuan lain itu saling memeluk dan melakukan cipika-cipiki.
"Senang bertemu denganmu di sini."
"Aku juga. Hei, kenapa tidak chat dan beri tahu? Emhh, sebenarnya aku sudah bisa tebak, kamu pasti ikut acara ini."
Savita tertawa kecil.
"Sama. Aku yakin pasti bertemu kamu di sini. Tentu saja, kamu pengusaha besar."
"Ah, tidak sesukses dirimu."
"Eh, jangan merendah begitu! Nanti pasti ada waktunya."
"Emhh, kapan? Apa saat perusahaanku berkolaboraai dengan perusahaanmu?"
"Uh, boleh. Nanti kita bahas lebih lanjut, ya."
"Siap."
"Sebentar aku temui pengunjung dulu, ya."
Rekan sesama pengusaha mengangguk. Ia melepas Savita dengan lambaian tangan.
"Dah, Savita!"
Savita kembali melenggang cantik dengan langkah khas wanita karir, penuh percaya diri. Ia menghampiri sepasang pengunjung yang sedang menengok koleksi perhiasan terbaru Savita's Jewellery.
"Hai!"
Sepasang suami-istri yang asyik melihat detail sebuah perhiasan itu mengalihkan fokus pada sosok penyapa.
"Oh, hai, Savita! Apa kabar? Lama tidak bertemu, ya."