Chereads / GRANDE / Chapter 22 - Membaik

Chapter 22 - Membaik

"Oh, ya, aku dan Savita sudah mengenal satu sama lain. Kalian berdua juga pasti sudah saling kenal. Sayang, tim perempuan saja, ya, yang belum mengenal pihak laki-laki."

"Ayo, kenalan kalau begitu."

2 pasang kekasih itu kompak mengulurkan tangan. Mereka saling bersalaman. Ini berlaku hanya untuk mereka yang sama sekali belum tahu nama masing-masing.

"Senangnya bisa bertemu teman baru, ya," ucap Alice antusias.

"Rekan bisnis baru maksudmu?" respon Savita.

"Ya ..., sebut saja begitu," kata Alice.

"Betul ... betul. Nanti kita bicarakan lagi soal kolaborasi yang tepat," ujar Aaron menambahkan.

"Nice!" puji Liam atas ide itu.

"Oh, ya, apa kegiatan kalian selanjutnya?" tanya Alice.

Liam merangkul pundak Savita, lebih mendekatkan sang kekasih pada dirinya.

"Emmhh, kami pikir akan langsung pulang. Aku akan mengantarnya meski kami membawa mobil masing-masing. Bukan begitu, Savita?"

Savita bingung sebenarnya harus menjawab apa. Ini terbukti dari dahinya yang agak berkerut.

"Ee, ya. Benar."

"Uh, sayang sekali. Kita jadi tidak bisa hangout bersama. Kalau begitu lain kali, ya."

"Ya, Alice. Benar."

Liam mengiyakan dengan gerakan tangannya yang cool.

"Setuju."

Aaron mengangguk-angguk.

"Ya ... ya."

Alice menggamit lengan Aaron.

"Baiklah. Kita pamit, ya."

Liam mengangkat tangan, ciri khas laki-laki, tanda mempersilakan untuk pergi. Soal Savita, ia hanya mengangguk dan melambaikan tangan dalam lambaian tangan yang lemah.

Liam dan Savita masih menyaksikan kepergian Aaron dan Alice yang mengendarai mobil masing-masing. Mereka juga melintasi jalan yang sama.

Savita akhirnya melepas rangkulan Liam. Kekasihnya jadi sedikit mempertanyakan hal ini dengan raut bingung, tapi biasa saja setelahnya.

"Kamu berlebihan sekali, Liam."

"Bukan begitu, tapi ini hanya bentuk rasa senang karena sudah kembali denganmu."

"Hmm ...."

"Pulang?"

"Tentu saja. Kita bertemu lagi nanti, ya. Aku akan infokan, mungkin makan malam atau kegiatan seru lainnya."

"Emhh, tidak ... tidak. Kita akan pulang bersama. Aku mengantarmu sampai rumah."

"Mengantar saja atau menemui orang tuaku juga?"

"Yang kedua."

Savita menampakkan ekspresi tidak percayanya.

"Hah? Serius?"

"Ya."

"Kamu tidak takut?"

"Tidak."

"Baiklah. Kita pergi sekarang."

Savita dan Liam masuk mobil masing-masing. Savita lalu melintas lebih dulu. Ia berada di depan, dan Liam seperti penjaga yang setia mengawal di belakang.

Sepanjang perjalanan lancar-lancar saja. Tidak ada hal abnormal yang membahayakan, seperti saling salip atau mengebut.

Pun begitu sampai rumah, Savita turun lebih dulu. Ia juga langsung masuk.

Liam menyusul Savita. Di dalam tampak Savita sudah mengobrol dengan keluarganya yang terkejut dengan kedatangan Liam.

"Kamu baru pulang kencan, Savita?"

"Tidak, Ma. Savita tadi ke klinik kecantikan. Ternyata bertemu Liam di sana. Eh, ayo, masuk, Liam."

Liam duduk di tempat yang dipersilakan oleh Savita. Mama yang wajahnya teramat mirip dengan Savita itu lantas mengubah gaya menjadi sok, bak siap menghakimi.

"Oh, begitu. Kenapa kamu ke sini, Liam? Tidak bekerja hari ini, ya?"

Bisa terlihat, Liam tersenyum kecut setelah mendengar perkataan Mama Savita. Ini terlihat di mata orang yang peka, dan orangnya adalah Savita. Jelas perempuan itu merasa tidak enak hati.

"Kerja, Tante. Tadi Liam sudah sempat mengecek kantor. Jadi, bisa memperbaiki hubungan dengan Savita, menyusul ke klinik kecantikan. Lalu mengantar sampai rumah."

"Jadi hubunganmu dengan Savita rusak, ya? Itu akibatnya kalau kamu melakukan hal yang nekat. Bukan hubunganmu saja yang rusak, tapi Savita dan keluarganya juga sempat renggang."

Liam terdiam. Ia tidak menyangka bahwa hubungan antara Savita dan keluarganya pernah memburuk. Parahnya, diri sendiri tidak ada untuk menenangkan Savita atau mempercepat perbaikan hubungan.

"Karenanya saya menyesal, Tante. Maafkan saya. Sungguh, tidak sengaja mabuk waktu itu. Semua karena lassi bercampur bhang, pasti terlalu banyak."

Dahi Mama Savita mengerut.

"Lassi? Bhang? Kamu meminumnya? Ceritamu sungguh terjadi?"

"Ya, Tante. Itu memang memabukkan. Parah! Tapi, rasanya enak, benar-benar wine tradisional."

"Tentu saja. Lassi memang seperti itu, apalagi saaat bercampur dengan bhang. Itu favorit kami, orang India. Seharusnya bukan lassi saja yang kamu puji. Makanan lain juga banyak yang enak, dan kamu harus belajar menyukainya."

Liam mengangguk. Ia seperti anak kecil yang menurut pada orangtuanya.

"Ya, Tante. Liam pelan-pelan belajar untuk mencicipi yang lain, membiasakan diri dengan rasanya. Liam yakin pasti akan suka juga "

"Wah, bagus itu! Kalau begitu sebentar, ya, Tante ke belakang dulu. Mengobrol saja dengan Savita!"

Liam kembali menunjukkan rasa sopan yang terlampau tinggi.

"Ya, Tante."

Savita langsung mendekat pada Liam. Ia menepuk pahanya.

"Bagaimana bisa kamu akrab lagi dengan Mama secepat kilat?"

Liam tersipu malu mendapat pujian dari Savita. Di lain sisi, tentu ia juga amat senang.

"Entahlah. Itu terjadi begitu saja, secara alami. Jadi, aku hanya mengikuti arusnya."

"Bagus ... bagus! Aku mengakui kehebatanmu."

Savita menepuk-nepuk pundak Liam. Mama Savita lalu muncul dengan membawa segelas sirup dan makanan ringan, khas India.

Melihat saja sudah membuat Liam ketar-ketir sebenarnya. Alhasil Liam langsung menyiapkan mental. Ia berjaga-jaga jika memang harus makan makanan India itu, bahkan sampai menghabiskannya.

"Ini. Ayo, minum dan makan, Liam! Kebetulan Tante hanya sempat membuat ini sebagai camilan."

Mama Savita memindahkan makanan dan minuman dari tray stainless steel ke atas meja. Liam bisa melihat dengan jelas 2 suguhan itu.

"Ini makanan India apa, Tante?"

"Dosa. Dari tepung beras ini. Plain rasanya. Jadi, makan dengan aneka saos itu, ya!"

Liam mengangguk-angguk dengan tatapan yang masih tertuju pada makanan.

"Oke, Tante."

Mama Savita ikut duduk. Ia juga memangku tray, memperlakukan benda dapur itu seperti bantal sofa.

"Tunggu apalagi? Ayo, silakan, Liam!"

Liam masih ragu untuk mencomot camilannya. Karena ini Savita sampai harus menyenggol siku Liam dengan sikunya.

"Eh, ya, ya. Liam coba."

Liam mencuil sedikit bagian dosa. Saat mulai memakannya, Mama dan Savita harap-harap cemas akan tanggapan Liam.

"Emhh, bagaimana, ya? Tidak aneh. Plainnya bisa diterima lidahku."

Mama dan Savita ikut senang, tapi sejujurnya biasa saja, karena Liam makan tanpa saos. Mama lalu menyodorkan piring hidangan lebih dekat.

"Ago, saosnya, Liam!"

"Eh, ya, Tante."

Liam mencuil lagi sebagian dosa. Ia lalu mencocolnya ke salah satu saos yang berwarna hijau.

Ekspresi aneh otomatis Liam perlihatkan. Ia mengunyah tapi seolah terpaksa melakukannya. Mata Liam sampai berkaca-kaca, menahan rasa aneh yang baru pertama kali dicecap.

"Tidak suka, ya, Liam?"

Liam masih mengunyah lalu menekan dengan sekuat tenaga. Setelah itu ia baru menggerakkan tangan, pertanda 'tidak'.

"Jelas enak, Tante. Sungguh. Apalagi ini buatan Tante, tentu Liam suka."

"Oh, baguslah kalau kalau begitu. Ayo, makan lagi! Habiskan!"

"Ya, Tante. Siap."

Liam menunjukkan antusiasme tinggi, walaupun ia harus membalutnya dengan keterpaksaan. Iapun mencomot dosa yang tersisa. Ia juga mencocolnya dengan saos yang teramat banyak, saos kuning sekarang.

Begitu Liam mengunyah, seketika ia mual, tapi menahannya. Ia terus makan sampai bola matanya nyaris putih semua.

Savita yang kasihan dengan Liam seketika tergerak untuk mengambil tisu. Jadi, ada beberapa lembar di tangannya sekarang, dalam posisi dibentangkan pula.