Chereads / GRANDE / Chapter 21 - Pertemuan Kita

Chapter 21 - Pertemuan Kita

"Aaron ...."

"Liam ...."

Aaron dan Liam masing-masing bergerak mendekat pada pasangan mereka. Aaron memegang pundak Alice, sedangkan Liam memegang tangan Savita.

Alice dan Savita masih kompak terpaku. Ini karena mereka bingung harus menanggapi dengan cara apa.

Suasana mulai berubah saat pintu dibuka. Ada rombongan sosialita yang hendak melakukan perawatan.

4 orang itu bergeser, masih di dalam klinik kecantikan. Masing-masing pasangan punya space mereka sendiri.

"Savita, maaf. Aku sungguh menyesal. Tolong, lupakan itu dan mari mulai dari awal lagi."

Savita melepas tangan Liam yang menggenggam tangannya.

"Bagaimana bisa aku melupakannya? Kamu jelas-jelas membuatku shock, Liam. Shock!"

Wajah penyesalan Liam tampak jelas. Savita menghakiminya dengan tatapan juga.

"Maaf."

Savita melipat kedua tangannya.

"Apa maaf saja cukup?"

"Tidak. Aku tahu bahwa aku harus memperbaikinya. Jadi, biarkan aku lakukan itu."

Savita memegang dahinya. Ia pusing, lebih ke bagaimana caranya bersikap.

"Sudahlah, Liam. Aku sedang tidak ingin berdebat hari ini. Sana, pulang saja!"

Savita mengusir Liam dengan gerakan tangannya. Ekspresi yang ditunjukkan juga ekspresi muak.

"Lalu apa kamu pikir putus itu lebih baik daripada menyelesaikannya sekarang?"

Savita tersentak. Sungguh, ia benci tindakan Liam, tapi tidak ingin putus darinya.

"Apa maksudmu? Sudah, ya. Tolong beri aku waktu sendiri!"

Savita mendorong paksa tubuh Liam. Ia menjauhkan sang kekasih darinya, juga klinik itu. Terbukti, Savita membukakan pintu, memudahkan akses keluar Liam.

Sama, perdebatan dan penolakan Alice pada Aaron juga terjadi. Dan, ini masih berlangsung.

"Alice, ayolah, jangan perlakuan aku seperti ini terlalu lama! Aku sangat mencintaimu. Kamu tahu itu."

Alice terus memasang ekspresi kesal. Ia bahkan memalingkan wajah saat Aaron berkata panjang lebar.

"Kalau mencintaiku, ya kamu tidak akan marah saat aku pesta, bahkan saat memenuhi janjiku karena kalah taruhan."

Aaron mengacak rambutnya. Ia frustrasi mendengar tanggapan Alice.

"Itulah yang tidak kusuka, Alice, arisan sosialita dan program konyol di dalamnya."

Alice semakin kesal.

"Baru saja kukatakan untuk tidak marah, tapi kamu sudah mulai lagi."

Aaron semakin frustrasi. Ia sampai menonjok tembok.

"Oke, kalau memang aku salah, aku minta maaf. Janji saja, itu yang pertama sekaligus terakhir. Sumpah, aku benci melihatmu melakukannya dengan orang lain."

"Dan aku benci dipermalukan dengan cara bertengkar di tempat umum seperti ini. Please, pergi dari sini, Aaron!"

Alice menyatukan kedua tangan. Aaron mengepalkan tangannya, menahan emosi.

Harus rela mengalah kali ini, begitulah Aaron. Alhasil ia keluar ruangan, meski sambil memandang Alice terus menerus.

Aaron seketika menyusul Liam yang sudah lebih dulu ada di luar. Mereka berdua kompak menunjukkan body language frustrasi.

Di dalam, Savita dan Alice makin mendekatkan langkah pada satu sama lain. Mereka memandang keluar, sosok kekasih masing-masing.

"Kamu tidak jadi baikan, Alice?"

"Hmm, begitulah. Kamu? Kenapa tidak juga?"

"Entahlah. Kupikir tidak dulu."

"Pulang?"

"Ayo!"

Alice dan Savita melangkah bersama. Saat mendekati pintu, langkah keduanya terhenti.

Bukan untuk mengambil barang yang tertinggal, tapi Alice dan Savita hanya menoleh pada resepsionis. Peka dengan tindakan 2 CEO perempuan itu, resepsionis segera menanggapi.

"Ya, Nona-nona?"

"Nanti invoice saja, ya, ke kantor."

"Baik."

"Aku juga diinvoice, ya. Bisa ke rumah atau kantor."

Resepsionis mengangguk lagi.

Alice dan Savita melangkah. Mereka masih tetap memandang Aaron dan Liam yang sedang berkomunikasi di luar.

Karena itu, langkah Alice dan Savita jadi pelan. Perlahan juga langkah keduanya justru terhenti.

"Tunggu, Savita!"

"Ya?"

"Apa kamu sependapat? Bukankah seharusnya kita luluh? Kalau terus perang dingin, hubungan kita justru semakin bertambah parah, bukan?"

Alice benar-benar membuat Savita berpikir, berpikir keras. Untuk sesaat, Alice sampai harus menunggu jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya.

"Emhh, ya. Aku mulai merasa tindakanku tidak tepat. Mungkin kamu juga. Jadi, bagaimana kalau ...."

Kembali ke luar, Aaron dan Liam masih terlibat perbincangan. Entah kenapa mereka jadi bersikap santai, seolah mengesampingkan permasalahan yang dihadapi masing-masing.

"Ya, benar. Aku dengar nama Liam saat Salah satu temanku mengobrol tentang rekan bisnisnya. Dan, oh, ternyata itu kamu."

Liam tersenyum ramah nyaris tertawa kecil.

"Ya, pengusaha bernama Liam memang hanya aku, satu-satunya. Oh, ya, aku juga tidak menyangka bisa bertemu CEO hotel terbesar di kota ini."

"Mungkin saja jadi bisnis. Bukan begitu?"

Liam mengiyakan dengan anggukan. Ia dan Aaronpun tertawa. Ini berlangsung sebentar, karena setelahnya mulai serius lagi.

"Yang tadi itu ...."

"Ah, kekasihku. Biasa, kami sedang bertengkar. Kamu?"

"Itu juga kekasihku. Nasib kita sama. Tadi aku berpikir dia ada di sini. Jadi, aku ke sini saja."

"Nah, sama. Aku juga begitu."

Aaron dan Liam menertawakan keputusan mereka.

"Wah ... wah! Kita memang senasib."

"Jangan-jangan kekasih kita juga sama?"

"Maksudmu?"

"Kekasihku CEO perusahaan parfum. Kamu?"

"Wah! Kalau begitu sama lagi. Kekasihku juga seorang CEO, CEO perusahaan perhiasaan tepatnya."

Obrolan antara Aaron dan Liampun harus terhenti. Ini karena Alice juga Savita sudah keluar dari klinik kecantikan. Kini 2 perempuan cantik itu makin mendekat ke pasangan masing-masing.

"Liam ...."

"Eh, Savita ...."

Alice menggeser Aaron agar sedikit berjarak dari pasangan Savita-Liam.

"Alice, ada apa? Kamu berubah pikiran?"

Alice memainkan jari-jarinya.

"Ya, kurasa begitu. Maksudku tidak baik jika pasangan bertengkar terlalu lama."

"Kita baikan?"

Alice mengangguk. Anggukannya menggemaskan di mata Aaron. CEO hotel itu lantas memeluk Alice.

"Terima kasih, Alice. Janji, ya, jangan bertingkah liar lagi."

Alice semakin menyamankan diri dalam pelukan Aaron.

"Maaf juga. Aku sadar sudah bertingkah bodoh."

"Sudahlah. Tidak apa-apa."

Aaron melepas pelukan Alice. Ia mengubahnya menjadi kecupan di kening.

Sementara itu ....

"Aku memaafkanmu, Liam."

Liam terkejut. Setelah itu ekspresinya berubah jadi girang.

"Sungguh?"

Savita mengangguk.

"Aku juga minta maaf, ya. Maafkan aku yang tidak bisa terlalu melindungimu di hadapan keluargaku."

Liam menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal. Ia bingung menyikapi.

"Kurasa bukan masalah besar. Santai saja!"

"Oh, ya, Aku memang memaafkanmu kali ini, tapi janji bahwa kamu tidak akan mengulanginya lagi."

"Ya ... ya, janji. Maaf."

Savita dan Liam saling menautkan jari kelingking. Savita yang haru lalu menghambur, memeluk sang kekasih. Liampun semakin mengeratkan pelukan.

"Aku pasti akan memberinya setelah kita menikah, Liam. Saat sudah sah nanti, pasti akan lebih indah, lebih baik."

Liam mengelus-elus punggung Savita.

"Oke ... oke."

Liam dan Savita menikmati pelukan mereka selama beberapa saat. Begitu puas, keduanya saling melepas.

Pasangan CEO perusahaan jam tangan dan perhiasan itu seketika melihat ke arah Aaron plus Alice. Mereka lalu melangkah mendekat.

"Kami sudah baikan."

Alice dan Aaron tersenyum. Jelas mereka ikut senang mendengar kabar bahagia ini.

"Kami juga sudah baik-baik saja."

Savita dan Liam tersenyum. Tarikan jelas terlihat di sudut bibir keduanya.

"Ikut senang, ya."

Alice memeluk Aaron. Inilah caranya mengungkap kebahagiaan.

"Terima kasih. Doa terbaik untuk hubungan kalian."

"Sama."

Alice melepas pelukannya di area perut rata Aaron.