Chereads / GRANDE / Chapter 20 - Kejadian di Salon

Chapter 20 - Kejadian di Salon

Liam tersenyum tidak jelas.

"Hanya ingin memesan 1 dari sekian banyak wanita simpananmu."

***

Savita mematut di depan cermin. Ia mulai mulai mengaplikasikan make up di wajah.

Semua baik-baik saja, sampai yang buruk terjadi tepat saat bibir perlu polesan lipstick. Savita kembali teringat soal momen paksaan Liam itu.

Savita berusaha melawan. Ia butuh sedikit kerja keras untuk bisa membuat bibirnya berwarna.

"Uhh, selesai juga. Pelan-pelan kamu bisa, Savita. Yakin semua akan normal lagi," ujar Savita pada diri sendiri sambil mencari benda di meja rias yang sekiranya bisa dipakai.

Savita lalu putuskan untuk memakai hair flip seperlunya dan tidak mencolok, masih pantas untuk dipakai seorang dewasa.

Savita lalu menghembuskan napas berat, pertanda berusaha melepas rasa tidak enak yang ada. Iapun siap untuk memulai hari.

Savita meraih tas juga smartphone. Begitu membuka pintu, ia mendapati sang mama sudah menantinya.

"Mama ...."

"Savita, ayo, makan bersama! Sarapan sudah siap dan semua sudah menunggu."

"Savita pikir akan makan di luar saja."

Mama seketika menggamit lengan Savita, mencegahnya melangkah keluar. Ia juga seperti memberi petunjuk arah kemana harus melangkah.

"Eh, bagaimana bisa? Tidak boleh! Harus makan di rumah dan bersama-sama sekarang."

"Emhh, baiklah."

Mama membawa Savita ke ruang makan, ke hadapan seluruh anggota keluarga. Tampak mereka semua menunjukkan sikap ramah dan benar, sudah menanti kehadirannya.

"Savita, Nak ...."

"Ayo, cepat duduk dan mulai makan!"

Mama mengarahkan Savita ke tempat yang kosong. Savitapun merasa diperlakukan seperti anak kecil, meski begitu ia tidak menampik bahwa merasa senang juga.

Semua makanan lezat khas India tersaji. Savita jadi berkaca-kaca. Sebab, inilah moment yang ditunggu-tunggu, hubungannya dengan keluarga besar membaik, terutama dengan Mama-Papa.

"Ayo, makan yang banyak!"

"Ya. Mengurus bisnis itu perlu tenaga."

Savita mulai mengambil roti dan aneka lauk pendukung. Mama dan Papa bahkan bergantian menambah porsi makanan Savita.

"Eh ... eh, sudah, Ma, Pa."

"Jangan menolak! Makan saja!"

"Ya. Benar kata Mamamu itu."

"Oke ... oke."

Savita dan seluruh keluarga besar menikmati aktivitas makan pagi mereka. Itu berlangsung penuh kehangatan.

Setelah membantu membereskan piring dan gelas yang sudah tidak terpakai, Savita segera meraih tasnya. Ia siap pergi ke tempat tujuannya pagi ini.

"Mau berangkat kerja? Tapi pakaianmu santai sekali."

Savita tersenyum.

"Tidak. Emhh, Savita pikir akan lebih baik kalau mengambil jatah libur sehari lagi. Jadi, Savita akan manfaatkan untuk pergi ke suatu tempat, Ma."

Mama mengangguk-angguk.

"Hmm, ya. Mama rasa kamu juga perlu waktu luang yang agak banyak. Oke. Nikmati harimu!"

Savita dan Mama berpelukan. Savita lalu melangkah keluar dengan perasaan senang, setidaknya menutupi kekacauan yang sempat bersarang di hatinya.

Klinik kecantikan yang menyatu dengan tempat spa, inilah tempat yang jadi tujuan Savita. Tidak jauh, masih di pusat kota.

Seperti biasa, Savita selalu sampai manapun secara mandiri, juga sendiri. Ia langsung melangkah masuk begitu memarkir mobilnya.

"Selamat pagi, Nona!"

Savita menunjukkan keramahan dengan tingkat yang sama dengan resepsionis.

"Halo! Pagi!"

"Treatment apa yang Nona butuhkan hari ini?"

"Facial, ya. Dengan teknologi tinggi pasti."

"Baik. Silakan tunggu, Nona. Masih ada antrian 1 client."

"Oh, oke."

Savita berpindah posisi, duduk manis di sofa super nyaman. Sambil menunggu, Savita membaca majalah yang disediakan.

Beberapa saat kemudian, ada seorang perempuan yang masuk. Sama, pengusaha juga, dan itu adalah Alice.

"Selamat pagi, Nona!

Alice tersenyum. Gayanya amat elegan, berkelas.

"Pagi!"

"Butuh treatment apa, Nona?"

Resepsionis menyodorkan buku berisi daftar layanan yang mereka sediakan. Tertera gambar dan daftar harga di sana.

"Emhh, aku sedang lelah. Otot-otot ini juga butuh relaksasi. Jadi, aku pilih spa."

"Baik. Sebentar."

Resepsionis klinik kecantikan mengecek komputernya. Alice harus menunggu beberapa detik.

"Bagaimana?"

Alice mengetuk-ngetukkan jarinya

"Tentu bisa, Nona, tapi harus menunggu. Untuk pelayanan spa, sama dengan facial, karena masih ada 1 client yang sedang melakukan perawatan."

"Oke."

Alice berjalan snatai menuju ruang tunggu, sofa tepatnya. Ia duduk persis di sebelah Savita, sosok yang lebih dulu menempati.

Berbeda jauh dari Savita, Alice menunggu sambil memainkan smartphonenya. Tetap, gayanya sok dengan kaki terlipat.

Beberapa menit terpaku pada 1 halaman majalah, Savita akhirnya membuka halaman selanjutnya. Hal ini mengalihkan perhatian Alice.

Seperti seorang penyelidik, Alice mengamati Savita. Ia melakukannya sampai membuat Savita sendiri risih.

"Ya? Ada apa?"

"Emhh, tidak, tidak apa-apa. Oh, ya, spa juga?"

Savita menutup majalah lalu meletakkannya di bawah meja.

"Bukan. Aku facial."

Alice mengangguk-angguk.

"Oh."

Tampak 2 orang keluar dari dalam ruang perawatan secara hampir bersamaan. Therapist di dalam memberi aba-aba pada resepsionis yang disambut dengan anggukan tanda siap.

Begitu kedua orang itu menyelesaikan pembayaran via kartu member dan mulai melangkah keluar, resepsionis lalu menghampiri.

"Silakan, Nona-nona, sudah bisa mulai perawatan sekarang."

"Oke."

"Huh, akhirnya ...."

Savita dan Alice kompak bangkit. Mereka menuju ruangan yang ditunjukkan. Posisinya berseberangan.

Savita dan Alice amat menikmati treatment kecantikan yang mereka pilih. Mereka melalui setiap tahapannya dengan lancar.

Karena masuk di waktu yang sama dan durasi perawatan juga sama, alhasil Savita plus Alice keluar bersamaan. Mereka saling lempar senyum begitu melihat 1 sama lain di ambang pintu.

"Sudah selesai?"

"Ya. Kamu?"

"Sama. Ini juga sudah."

Alice memegang lengan Savita tiba-tiba. Ia mengamati dalam-dalam, wajahnya.

"Ya? Kenapa?"

"Sepertinya kamu bukan sosok yang asing. Siapa, ya? Aku yakin pernah melihatmu di salah satu majalah perhiasan."

Savita tersenyum. Alice yang ditanggapi seperti itupun heran. Ia lantas melepas pegangannya di lengan Savita.

"Majalah? Ya ... ya, aku memang pernah melakukan pemotretan untuk salah satu majalah, tapi bukan model."

"Nah, ya. Bukan model. Kamu ...."

Savita mengulurkan tangan, hendak berkenalan dengan Alice.

"Aku Savita, CEO Savita's Jewellery."

Alice balik mengulurkan tangannya. Merekapun bersalaman.

"Alice, CEO Alice's Parfume."

"Wah, senang berkenalan denganmu!"

Alice mengumbar senyum dan rasa kagum.

"Aku juga senang, pastinya."

Savita dan Alice kompak menunjukkan ancang-ancang hendak melangkah keluar.

"Ee, mau kemana setelah ini? Bagaimana kalau minum teh di salah satu kedai baru dekat sini?"

Savita menggerakkan tangan, pertanda tidak.

"Aku sedang menenangkan diri. Jadi, aku ke sini. Sepertinya tidak bisa hari ini. Lain waktu, ya, Alice."

"Hmm, kenapa? Sedang bertengkar dengan kekasihmu, ya?"

Savita malu.

"Emhh, ya, bisa dikatakan begitu."

Alice tersenyum kecut mengenang ceritanya sendiri. Ia juga bisa rasakan perasaan Savita.

"Sebenarnya aku juga sedang mengalami ketegangan. Sama, ada konflik dengan kekasihku."

Savita memegang pundak Alice. Ia menguatkannya.

"Sama-sama sabar, ya. Semua masalah pasti akan terselesaikan."

"Kamu juga, ya, Savita."

Savita tersenyum.

"Ya. Ayo, pulang!"

"Oke."

Savita dan Alice melangkah bersama. Saat beberapa langkah lagi hendak mencapai pintu, ternyata Liam dan Aaron datang bersamaan.

Savita dan Alicepun kompak terpaku. Mereka sama-sama menyayangkan momen pertemuan yang ditetapkan takdir di sini.