Savita segera menyingkir ia berlari dengan kencang. Sementara itu Liam meronta, melepas paksa hadangan para staf.
Liam ikut berlari juga, tapi ia tidak mampu mengejar. Ia kalah langkah, tepat saat Savita sudah sampai kamar dan langsung mengunci pintu.
Liam menggedor-gedor. Ia berusaha membuka pintu dengan terus menurunkan handle, meski tahu itu tidak bekerja.
"Savita, maaf, maafkan aku. Ayo keluar dan kita bicara!"
Ternyata para staf masih berusaha menangani Liam. Mereka juga ikut sampai di dekat kamar Savita.
Liam yang tahu ini lantas menampakkan raut wajah tidak suka. Iapun memilih pergi, diiringi tatapan 'maaf harus melakukan ini' dari para staf.
Di dalam kamar, Savita terus menangis. Ia merasa jijik pada dirinya sendiri, padahal Liam tidak menodainya, hanya mengecup.
Ia tetap menyeka bibir hingga lipsticknya berantakan. Tidak tahan lagi, Savita beranjak menuju wastafel, membersihkan bibir dengan air plus sabun.
"Arghh! Jijik! Tidak, aku tidak menginginkannya!"
Savita terus menangis. Ia putuskan untuk mengemasi barang-barangnya. Ya, akan check out lebih cepat.
Savitapun mengecek keadaan dengan cara menyibak sedikit tirai. Saat bisa dipastikan aman, Savita keluar, tepat saat para staf sudah meninggalkan area depan kamar, karena merasa tidak ada lagi yang perlu ditangani.
Begitu melihat Savita dalam kondisi yang tidak baik-baik saja, para staf terpaku, sebagian juga ada yang merasa kasihan. Savitapun seolah tidak peduli dengan rasa simpati orang-orang.
"Halo! Aku harus check out lebih awal. Terima kasih untuk semua, ya."
Staf resepsionis segera merespon cepat. Ia menghentikan ancang-ancang Savita yang hendak melangkah keluar melalui kata-katanya.
"Ee, Nona, apa anda yakin baik-baik saja?"
Savita berusaha tersenyum, meski jelas itu tidak bisa lepas.
"Ya."
Savita pergi. Ia diangkut mobil travel yang sudah dicarter, dan tentunya sudah dipesan lebih dulu. Ia pergi dengan segenap rasa pedih di hati.
Sementara itu di kamar Liam, kekasih Savita sedang merenung. Ia merasa bersalah dan menyesal melakukan hal yang amat Savita hindari itu.
Liam terus berjalan seperti setrika, memikirkan cara agar Savita memaafkannya. Sekian lama, ia akhirnya dapat ide dan segera mengeksekusi.
Liam menuju resepsionis. Kedatangannya diiringi dengan tatapan aneh para staf. Meski agak malu, tapi Liam berusaha mengesampingkan itu.
"Permisi."
"Ya. Ada yang bisa dibantu, Tuan?"
"Begini, aku ingin buat kejutan untuk kekasihku. Bisa tolong aku?"
Resepsionis merasa harap-harap cemas saat hendak menyampaikan berita soal Savita, tapi ia harus.
"Ee, Nona Savita sudah check out, Tuan."
"Apa?!"
Raut frustrasi terlihat, amat nyata. Liam sampai emosi dan menggebrak front desk.
Kembali resepsionis merasa takut untuk menanggapi Liam. Ia harus amat hati-hati, agar tidak dianggap membela 1 kubu.
"Mungkin ada cara lain, Tuan?"
"Emhh, sudahlah. Maafkan aku."
Liam pergi dengan perasaan carut marut dalam dirinya. Di pertengahan jalan menuju kamar, ia tahu harus melakukan apa dan membulatkan tekad untuk itu.
Ya, Liam akan mengikuti langkah Savita. Jadi, ia membereskan barang-barangnya dan melakukan pengecekan secepat kilat.
Kurang dari 1 jam, Liam sudah kembali lagi ke resepsionis. Tidak menimbulkan tanda tanya besar, karena barang bawaan Liam itu sudah mempertegasnya.
"Ada yang bisa dibantu, Tuan?"
"Ya. Aku akan check out dan butuh Mobil resort sekarang. Tolong urus!"
"Maaf, Tuan, tapi untuk memakai fasilitas mobil yang resort sediakan, harus melalui pemesanan lebih dulu. Sekarang juga mobilnya sedang dipakai untuk mengangkut tamu lain."
Liam memicingkan mata dan melihat tidak nyaman pada sang resepsionis. Staf terdepan luxury resort jadi menahan takut.
"Kukatakan sekarang. Ya harus ada. Cepat! Tangani ini!"
Liam menggebrak meja. Resepsionis terkejut bukan main.
"Ba ... baik, Tuan."
Telepon segera diraih. Beberapa tombol angka menyusul ditekan. Resepsionis perlu menunggu sebentar saja sebelum akhirnya dapat mengobrol dengan seseorang.
"Halo, Pak!"
"Ya?"
"Cepat datang ke resort, Pak! Ada hal urgent, dan ini harus menggunakan mobil resort."
"Tapi ...."
"Tidak pakai tapi, Pak. Tolong cepat kesini!"
"Baiklah."
Telepon berakhir. Liam lalu menatap tajam si resepsionis.
"Bagaimana? Bisa, bukan?
"Be ... benar, Pak."
Resepsionis menelan ludah. Ia juga menyeka dahinya yang tiba-tiba berkeringat.
Sungguh sangat terintimidasi rasanya. Setidaknya begitu, sampai mobil resort dan sopirnya datang.
Resepsionis menghembuskan napas lega. Ia semakin tenang saat sopir hotel semakin melangkah mendekat.
"Ada apa?"
"Begini, tolong antar Tuan Liam pulang, sekarang juga."
Sopir menatap heran Liam.
"Tapi seharusnya ...."
Resepsionis menyetop perkataan sopir dengan gerakan tangannya.
"Tidak ada tapi, penolakan, atau keterpaksaan. Tolong, ya, Pak."
Sang sopir menghembuskan napas berat, berarti keterpaksaan.
"Ya sudah. Mari, Pak."
Sopir hendak membawakan barang bawaan Liam, tapi CEO itu menolak. Ia lebih memilih langsung jalan, membuat sopir wajib segera menyamakan langkah.
Resepsionis geleng-geleng kepala. Sumpah, hari ini adalah hari yang buruk baginya.
"Sial ... sial! Mimpi apa aku semalam?"
***
Orang-orang di rumah dibuat terkejut dengan kedatangan Savita. Bukan karena waktu yang jelas tidak tergolong lebih awal, tapi karena kondisi Savita.
Sungguh, Savita tidak baik-baik saja. Semua anggota keluarga yang berpencar di beberapa ruangan dan Savita lewati bisa menyimpulkan itu.
"Nak, ada apa denganmu? Kenapa matamu sembab begitu?"
Savita berusaha tersenyum di hadapan neneknya.
"Tidak ada apa-apa, Nek. Jangan khawatir, ya."
Savita terus melangkah. Nenekpun semakin bingung dengan kondisi sang cucu.
Pun, Savita melakukan hal sama saat Bibi menghentikan langkahnya, persis dekat kamar. Bedanya, Bibi bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
"Kamu yakin baik-baik saja, Savita?"
"Ya, Bi."
"Tidak ... tidak. Kamu tidak baik-baik saja. Ayo, ceritakan pada Bibi! Ada apa sebenarnya?"
Savita menggeleng. Ia melepas tangan bibi yang memegang lengannya.
"Tidak ada. Serius, Bi. Ini hanya soal pekerjaan yang tiba-tiba kacau di pertengahan liburan. Bibi mengerti, bukan? Jelas Savita sedih, apalagi bisnis itu dibangun dari nol, bahkan minus."
Bibi Savita ikut sedih. Ia mengangguk-angguk pada akhirnya.
"Kalau begitu semoga bisnismu cepat kembali normal, ya, Savita."
Savita tersenyum tipis. Dibalik itu sebenarnya ada rasa bersalah karena sudah membohongi bibinya.
"Terima kasih, Bi. Savita istirahat dulu, ya."
"Baiklah."
Savita masuk lalu mengunci kamar. Sementara itu sang Bibi pergi ke area rumah yang lain.
Kali ini sama, Savita dan Liam kompak sedang kacau. Jika Savita langsung mengurung diri di kamar, maka tidak begitu dengan Liam. Ini berbanding terbalik.
Ya, Liam langsung melempar tas backpack ke sofa ruang tamu. Ia lalu duduk sebentar, berusaha tenang di tengah perasaan yang tidak karuan.
Tidak tahan lagi, Liam menghampiri lemari penyimpanan wine, dekat ruang tamu. Ia memilih 1 yang terbaik.
Lekas Liam menuju ruang tamu lagi. Ia menuang wine ke dalam gelas khusus yang memang sudah tertata rapi di sana, atas meja.
Segelas ... 2 gelas, Liam terus menambah porsi minumannya. Saat isi botol sudah berkurang setengah, Liampun resmi mabuk.
Makin lama tingkah Liam makin menggila. Ia terus minum sampai tumpah-tumpah.
Smartphone segera diraih. Liampun menghubungi seseorang.
"Halo?"
"Ya. Halo, Mark!"
"Katakan! Kenapa menghubungiku? Jarang sekali."