Chereads / GRANDE / Chapter 18 - Paksaan Liam

Chapter 18 - Paksaan Liam

Staf resort segera menuju kamar Liam. Ia mengetuknya dengan santai dan tenang. Lagipula tidak ada tulisan DND di sana.

Tidak harus menunggu lama, Liam akhirnya membuka pintu juga. Ia muncul dalam keadaan fresh, sepertinya baru selesai menyegarkan diri.

"Ya?"

"Maaf sebelumnya, Tuan. Ini ... hanya ingin memberi tahu, di tempat kami ada ATV, juga pertunjukan musik di gazebo. Mungkin mau bermain dan menyaksikan?"

Liam berpikir, mempertimbangkan.

"ATV, ya? Hmm ...."

"Atau mungkin juga hanya ingin berendam di kolam air hangat sana?"

Staf resort menunjuk ke arah tempat yang dimaksud. Liam seketika memandangnya.

"Emhh ..., sepertinya aku harus mencoba semua. Ayo, tunjukkan!"

"Baik. Mari lewat sini, Tuan."

Staf resort selalu siap siaga untuk membantu. Ia mendampingi Liam terus, dari bermain ATV sampai menjadi penonton hiburan musik di gazebo.

Saat menunjukkan tempat terakhir, staf resort sadar, ini area pribadi dan tidak mungkin ia mengusiknya. Staf itupun menunjukkan tanda pamit melalui body languagenya.

Liam melepas pakaian bagian atasnya. Ia meregangkan badan lalu perlahan masuk ke dalam kolam berendam.

Jelas terlihat ekspresi rileks di wajah Liam. Ini berlangsung beberapa saat. Ya, begitu terus, termasuk saat minuman menyegarkan disuguhkan.

"Sini!"

Seorang staf yang dipanggil Savita melalui gerakan tangan mendekat.

"Ya, Nona?"

"Bagaimana dengan Liam?"

"Oh, Tuan baik-baik saja. Tadi dapat info, Tuan sama sekali tidak bertanya soal Nona."

"Ah, begitu, ya? Oke. Baiklah."

Seorang staf resort lainnya datang menghampiri 2 orang yang sedang berbincang. Savita jelas seketika menaruh perhatian penuh padanya.

"Ada apa?"

"Ini, Nona ... persiapannya sudah oke semua. Acaranya bisa dilangsungkan sekarang atau masih perlu menunggu lagi?"

"Oh. Ya sudah, kita langsung mulai saja, ya."

"Baik."

Staf yang menghampiri itu segera pergi ke tempat acara, berkoordinasi dengan rekan kerjanya yang lain. Sementara itu, Savita fokus lagi pada staf yang bicara pertama kali dengannya.

"Tolong lihat Liam, ya! Kalau dia sudah selesai, segera arahkan ke tempat ini! Aku akan menyiapkan diri dulu."

"Baik."

Staf perempuan itu pergi. Ia melakukan apa yang diperintahkan Savita.

Sepertinya semesta merestui. Begitu tiba, staf resort menemukan Liam baru saja bangkit dari aktivitas berendamnya. Iapun segera mendekat.

"Silakan, Tuan."

Liam menerima towel yang diberikan. Ia menyeka tubuhnya, meski tidak benar-benar kering.

"Ini."

Staf resort menerima lagi handuknya. Ia agak menyingkir, memberi space pada Liam untuk sedikit menjauh dari kolam.

"Ee, Tuan, mohon segera ke tepi pantai, ya. Nona Savita sudah menunggu."

Liam tersentak.

"Apa?! Savita?"

"Ya, Tuan."

"Oke. Tolong antar aku ke lokasi persisnya, ya."

"Baik. Lewat sini, Tuan."

Liam mengikuti arahan yang diberikan staf resort. Seketika ia langsung menyamakan langkah, berdampingan.

Berjarak beberapa meter dari tempat semula, Dari kejauhan, Liam bisa lihat sosok Savita yang sedang menunggunya, meski perempuan itu asyik memandang ke arah laut lepas. Pun, ia bisa lihat dekorasi yang indah, didominasi dengan warna putih.

"Bisa katakan? Ada apa ini sebenarnya?"

"Maaf, Tuan, soal itu, hanya Nona Savita yang tahu."

Liam menghembuskan napas berat.

"Oke."

Staf resort dan Liam masih terus melangkah.

"Tuan bisa menghampiri Nona Savita sendiri. Saya hanya bisa mengantar sampai sini saja."

"Baiklah. Terima kasih."

"Sama-sama, Tuan."

Liam melangkah lagi, sendiri. Entah kenapa detak jantungnya jadi begitu cepat. Lalu, apa Savita juga merasakan hal yang sama?

Savita, perempuan itu bisa merasakan kehadiran Liam. Karenanya ia menoleh pada sang kekasih, menyambutnya dengan senyum hangat penuh cinta.

"Liam ...."

"Savita ...."

Savita menepuk-nepuk gazebo buatan, mirip ranjang. Ya, dengan tirai terlihat di keempat sisinya. Ini tanda agar Liam segera menempati posisi.

Liam tersenyum saja. Ia antusias, menyegerakan diri agar bisa berdampingan dengan Savita setelah sekian lama.

Savita langsung mengangkat tangan. Liam sempat bingung dengan tindakan ini. Ia akhirnya mengerti begitu serombongan staf membawa beberapa tray dengan isi yang berbeda, meski semua sama, makanan dan minuman.

"Wow! Apa ini kejutannya, Savita?"

Savita membantu para staf, mengarahkan lebih tepatnya.

"Emhh, entahlah. Mungkin ini atau yang selanjutnya."

"Yang lain? Ada lagi? Apa itu?"

Savita memegang tangan Liam.

"Sudahlah, jangan terlalu banyak berpikir dan menerka-nerka! Nikmati saja ini!"

Para staf menata makanan dan minuman. Sebentar saja, karena setelah itu mereka meninggalkan Liam dan Savita. Tetap, beberapa diantaranya masih standby, meski agak jauh.

"Ayo, makan, Liam!"

"Ya. Kamu juga. Makan yang banyak!"

Savita hanya tersenyum.

Seperti biasa, Savita bersikap amat melayani Liam. Jelas, Liam senang sekali diperlakukan seperti ini.

"Mau udang? Atau olahan seafood lainnya?"

Liam melihat-lihat makanan yang tersedia.

"Boleh. Udang, ya. Sedikit saja."

Savita mengambilkan apa yang Liam minta.

"Udang, ya. Sedikit saja, atau nanti aku tidak six-pack lagi."

Savita tertawa setelah meledek Liam. CEO perusahaan jam tangan itu lantas merusak tatanan rambut Savita dengan tangannya.

"Kamu ini ...."

Savita membiarkan Liam mengambil lauk yang lain sendiri. Ia juga menyusul menempatkan beberapa lauk ke dalam piringnya.

Savita dan Liampun makan. Bukan lunch, tapi ini makan mendekati sore, nyaris sunset.

Kemesraan jelas tidak bisa terpisahkan dari mereka berdua. Savita dan Liam saling suap.

"Bagaimana? Enak?"

Liam terus mengunyah. Sikap dan ekspresinya sudah menjawab pertanyaan Savita secara tidak langsung.

"Tentu. Pilihanmu sudah pasti enak."

30 menit rasanya sudah cukup untuk mengisi perut. Minuman yang tersisa jadi bagian terakhir.

"Huh, enak sekali! Benar, bukan, Liam?"

Savita merentangkan tangan, tapi masih berpijak di dekat pinggang. Posisi tubuhnya juga dibuat nyaman, bersandar ke belakang.

"Aha. Benar."

Entah kenapa, tiba-tiba Liam fokus penuh pada Savita. Ia seperti sangat menginginkannya.

Langsung saja, tanpa mengawali dengan basa-basi, Liam bergerak makin mendekat. Ia mengintimidasi.

Savita terkejut dengan perlakuan Liam ini. Ia tidak bisa tenang dan semakin mundur.

Deru napas Liam bisa Savita rasakan. Pemilik perusahaan penghasil perhiasan itu ketakutan. Matanya terpejam erat.

Para staf yang tersebar di beberapa sisi kompak menundukkan pandangan. Mereka seperti pesuruh yang tidak ingin menyaksikan kemesraan majikan.

Beberapa centi saja, bibirnya sudah hampir Liam dapatkan. Beruntung Savita mampu mendorong tubuh Liam.

Savita berusaha menenangkan diri. Liam juga sebisa mungkin tetap tenang, mengendalikan diri.

Di 'momen kosong', Liam akhirnya membulatkan tekad. Ia mendorong tubuh Savita, membuatnya dalam posisi telentang, lalu menindih.

"Liam, lepas!"

"Diam, Savita! Kamu akan menyukainya. Aku jamin."

Savita terus meronta. Para staf yang sudah meluruskan pandangan itu hendak mendekat, tapi masih ragu.

"Tidak! Lepas!"

Liam berusaha menyusuri seluruh area di tubuh Savita. Ia mengunci tangan Savita, menekan pergerakan.

"Jangan banyak bergerak! Biarkan aku bekerja dan lihat hasilnya!"

Savita mulai menangis.

"Tidak, Liam. Jangan! Aku memintamu kesini bukan untuk ini, tapi untuk memperbaiki hubungan kita."

"Maaf, Savita, tapi aku menginginkannya, kamu."

Liam berhasil mengecup bibir kekasihnya. Bukan lemah lembut, Savita anggap ini sangat brutal.

Para staf resort bersikap tegas kali ini. Mereka berlari dan menarik paksa Liam, menjauhkan dari Savita yang shock berat.