Bellboy sigap mengambil alih koper Savita. Dengan senang hati, CEO Savita's Jewellery itu menyerahkan.
Seorang laki-laki yang sudah pasti merupakan bagian dari staf front office juga mendekat. Ia membawa serta sebuah tray yang di atasnya terdapat gelas berisikan minuman tradisional bergarnish sereh.
"Silakan. Welcome drinknya, Nona."
"Wah! Terima kasih."
Savita mengambil minuman yang disediakan untuknya. Ia meneguk sedikit lalu mengembalikan ke tempat semula. Staf laki-lakipun sangat responsif.
"Bisa kita lakukan fast check in sekarang?"
Greeter perempuan yang menyambut Savita mengumbar senyum. Ia mengangguk.
"Tentu. Bisa pinjam ID cardnya, Nona?"
"Ah, ya."
Savita membuka hand bag kecil yang terselempang. Dari sana, ia mengeluarkan dompet dan mengambil yang diperlukan.
"Ini."
"Baik. Untuk prosesnya bisa ditunggu, ya, Nona. Sambil menunggu, Nona sudah bisa langsung menuju kamar, tapi, silakan tanda tangan dulu di beberapa bagian yang sudah ditandai, ya, Nona."
Greeter dengan cepat mengambil sebuah file dari atas meja resepsionis. Ia menunjukkannya pada Savita, sambil menyodorkan bolpoin resort.
Langsung saja, file itu ditandatangani. Begitu selesai, bolpoin dikembalikan lagi pada sang greeter.
"Terima kasih."
"Sama-sama."
"Silakan, Nona. Bellboy kami akan mengantar."
"Oke."
Si bellboy menunjukkan arah jalan dengan tangannya.
"Mari."
Savita melangkahkan kaki dengan santai. Ia melakukannya sambil melihat sekeliling.
Untuk sampai di kamar, Savita hanya perlu melewati beberapa lorong. Karena lokasi resort yang luas, maka tempat liburan singkat Savita ini hanya punya 1 lantai.
"Nah, ini kamarnya. Sebentar."
Bellboy membuka pintu dengan key card. Begitu akses terbuka, kunci berbentuk seperti debit card itu diletakkan di sebuah panel.
"Silakan."
Bellboy meletakkan koper Savita di luggage rack. Sementara itu Savita mengelilingi kamarnya, mengecek fasilitas yang tersedia.
"Ada yang bisa saya bantu lagi, Nona?"
"Kurasa tidak sekarang. Nanti kalau butuh sesuatu, kuhubungi, ya."
"Baik. Permisi, Nona."
"Ya. Oke."
Bellboy meninggalkan kamar Savita. Dia juga menutupkan pintunya.
Savita benar-benar menikmati waktu santainya sekarang. Ia menjatuhkan diri di atas ranjang bercover putih.
Tiba-tiba terdengar bunyi bel kamar. Savita sontak membuka matanya yang sudah terpejam.
Ia tahu siapa yang datang. Karenanya Savita tidak mengeluh, sebab waktu istirahatnya terganggu.
"Maaf menganggu, Nona. Ini saya bawakan guest card dan compliment anda."
Savita bisa lihat ada trolley yang dibawa seorang laki-laki. Kedatangannyapun sudah pasti bersama greeter itu.
Jelas terlihat juga, ada sebuah keranjang berisikan buah-buah premium. Pun, ada sebuah vas pecah belah berhiaskan rangkaian bunga-bunga mahal.
"Wow! Service yang menakjubkan! Terima kasih."
"Sama-sama, Nona. Bisa kami letakkan sekarang, ya?"
"Ah, tentu. Ayo, masuk!"
Savita membuka pintu lebih lebar. Fruit basket dan flower arrangement lalu diletakkan, ditata dengan rapi.
"Oh, ya, ini guest card anda, Nona."
Greeter menyerahkan sebuah kartu kecil mirip kartu nama. Savita menerimanya lalu melihat sekilas.
"Terima kasih, ya."
"Ya, Nona. Kalau begitu kami kembali lagi."
"Baiklah."
Savita ini sepertinya bersikap terlalu ramah. Ia bahkan bak menjelma sebagai hotelier juga, mengantar sampai depan.
Selesai menutup pintu, Savita menghampiri flower arrangement. Ia mencomot setangkai mawar peach lokal dari sana, menghirup aromanya. Lanjut, ia mengambil sebutir anggur merah, mengunyahnya.
Lagi, ranjang nan nyaman menarik perhatian Savita. Ia beranjak menuju tempat empuk berukuran queen itu.
"Liam ... Liam, aku harap kamu akan menyukainya."
***
Mobil travel resort berhenti. Tampak sesosok laki-laki turun dari bagian tengah. Itu Liam!
Kekasih Savita hanya membawa sebuah tas backpack. Ia bergaya cool dengan kaca mata, baju pantai, celana pendek, dan sepatu kets.
"Selamat pagi, Tuan Liam! Selamat datang di luxury resort kami!"
Masih, greeter yang sempat menyambut Savitalah yang kembali ada di garis depan. Sama, perlakuan istimewa juga Liam dapatkan.
Liam menolak saat bellboy menawarkan bantuan untuk membawakan tasnya. Ia hanya mengambil welcome drink, meminumnya hingga benar-benar habis.
Liam menyerahkan gelas kosong pada sosok yang membawa serta tray kayu. Ia lalu menunjukkan body language cool, menanti hal apa yang akan dijalani selanjutnya.
"Sebelum Tuan ke kamar, bisa minta tanda tangannya dulu? Di tempat yang sudah saya tandai, ya."
Greeter melakukan hal persis seperti yang pernah dilakukannya pada Savita. Liampun melakukan sesuai instruksi.
"Baik, terima kasih. Lalu ID cardnya, Tuan, boleh pinjam dulu, ya."
Liam mengambil dompet dari saku celana. Ia meraih ID card lalu menyerahkannya.
Tidak lama, sang greeter meminjam sebentar saja untuk keperluan melengkapi data. Begitu selesai, ia mengembalikan lagi pada Liam.
"Terima kasih, Tuan. Sekarang sudah bisa ke kamar, sambil menunggu prosesnya benar-benar selesai. Staf kami akan mengantar."
Bellboy sigap mengarahkan.
"Mari, Tuan ."
"Oke."
Sama, Liam harus melewati beberapa lorong sebelum akhirnya sampai di kamar. Soal posisi, sungguh berjauhan dari kamar Savita. Ya, memang sengaja diset seperti itu.
Liam menolak dengan kode tangan saat sang bellboy hendak membukakan pintu untuknya. Bellboypun mengangguk mengerti.
"Baik, tapi kalau ada yang bisa dibantu, segera hubungi saya, Tuan."
"Ya ... ya...."
Bellboy menyingkir dari hadapan Liam. Tepat saat staf front office resort itu sudah tidak terlihat lagi, Liampun mulai beraksi.
Bukan hendak mencuri atau melakukan tindak kriminal lainnya, tapi Liam hanya ingin mencari kamar Savita, keberadaan kekasihnya. Alhasil ia berkeliling.
Sayang, tidak ada satupun kamar yang menunjukkan tanda bahwa sedang dihuni Savita. Bahkan, sepi sekali rasanya, seperti tidak ada kehidupan selain diri sendiri.
"Savita ... Savita, dimana kamu?"
Liam putuskan untuk kembali ke kamarnya. Siapa sangka, tidak lama setelah kedatangannya di kamar yang dibooking Savita itu, greeter datang bersama seorang staf, juga trolley yang menyertai.
"Maaf mengganggu, Tuan, boleh kami masuk?"
Liam menggerakkan kepala. Ini kode, menunjukkan bahwa 2 orang staf resort bisa segera masuk ke dalam kamar yang sejak awal dimasuki tidak ditutup.
Greeter mendahulukan staf bawaannya dan trolley itu. Ia masuk setelahnya.
"Tuan, ini guest card anda. Dan ini ... kami juga bawakan cake, compliment untuk anda."
Liam melirik guest card lalu mengambilnya. Ia juga mendekati cake yang bertuliskan 'sorry for everything'.
"Letakkan saja di meja!"
"Baik, Tuan."
Staf laki-laki mendorong trolley, agak bergeser sedikit ke tempat yang Liam perintahkan.
"Mungkin ada yang bisa kami bantu lagi, Tuan?"
"Tidak, tidak sekarang. Tutup saja pintunya!"
"Baiklah. Kami kembali. Permisi."
"Ya."
Pintu ditutup. Liam mencuil sedikit cake lalu memakannya. Tidak lama berselang, ia sudah beralih ke dekat jendela, melihat pemandangan yang tersaji.
"Savita, kejutan yang sebenarnya seperti apa?"
Sementara Liam bertanya-tanya, persiapanpun dipastikan semakin matang. Ini terbukti dari kesibukan yang sedang Savita jalani.
"Nona, bagaimana? Sepertinya Tuan Liam sudah mulai tidak sabar."
Savita berpikir dengan cepat. Ia meninggalkan sejenak aktivitas mengecek setting barang-barang pendukung.
"Begini saja, tolong alihkan perhatiannya! Jauhkan dia dari kamarku juga tempat ini! Oke?"
Staf perempuan mengangguk mantap.
"Siap, Nona."