Chereads / GRANDE / Chapter 16 - Rencana Besar

Chapter 16 - Rencana Besar

Savita kembali santai, bersandar di kursinya. Ia segera meraih smartphone kembali yang sempat diletakkan begitu saja di atas meja.

Segara Savita berselancar. Ia mencari lokasi dan konsep yang tepat untuk memperbaiki hubungannya dengan Liam.

Savita terlihat serius selama beberapa saat. Setelahnya, ia baru menampakkan wajah senang.

"Oke. Ini saja."

Savita berkutat dengan smartphone dan pilihannya. Tidak lama, karena ia harus kembali lagi menyelesaikan pekerjaan yang masih tersisa.

Soal pekerjaan, sepertinya seharian ini bisa dikatakan cukup lancar. Ya, berlaku untuk semua bagian.

Savita memang menyempatkan diri untuk melihat kondisi perusahaan, tentu termasuk para karyawan dan produknya. Ia benar-benar terlihat menempatkan diri sebagai seorang pimpinan yang bijak.

"Bagaimana? Semangat hari ini?"

Para staf yang sedang membuat perhiasan dan fokus pada pekerjaan beralih. Mereka melempar senyum penuh hormat pada Savita.

"Ya."

"Tentu, Nona."

Savita senang mendengarnya. Ia lebih mendekat.

"Bagus! Selalu perhatikan K3, ya!"

"Baik, Nona."

Savita menyingkir. Ia beralih ke bagian lain. Sendiri saja. Ya, ini semacam sidak juga.

"Hai, semua!"

Savita terus verjalan, lebih masuk ke dalam area marketing.

"Halo, Nona!"

"Halo! Selamat siang!"

Belum sempat para staf mempersilakan sang bos untuk duduk, dia sudah melakukannya lebih dulu, bak mencuri start. Tampak semuanya merasa tidak enak.

Savita yang bisa menangkap hal ini lantas tersenyum. Dengan kode tangan, ia memberi perintah agar staf-stafnya itu santai saja.

"Aku ingin tahu penjualan hari ini. Apa bagus? Ya, memang baru setengah hari, tapi seharusnya tetap ada yang bisa dilaporkan."

"Ah, ya, Nona. Tentu saja. Akan selalu ada penjualan dan pendapatan besar, apalagi sekelas Savita's Jewellery."

Savita senang sekali.

"Oh, ya? Bagus!"

Seorang staf yang merupakan atasan tertinggi departemen marketing berdiri. Ia mencomot sebuah file. Setelahnya ia mendekat pada Savita.

Langsung saja, apa yang disodorkan itu diterima. Savita lantas mengeceknya. Senyumnya lalu mengembang tidak lama kemudian.

Savita menutup dan mengembalikan file itu. Stafpun memberi hormat sebelum akhirnya kembali ke tempat sendiri.

"Kalau begitu memang bagus, ya. Aku harap ini stabil. Tingkatkan terus kinerja kalian! Ingat, kepuasan customer itu nomor 1!"

"Siap."

"Baik, Nona."

Savita bangkit.

"Ya sudah, lanjut bekerja lagi, ya."

"Ya, Nona."

"Oke."

Savita bergerak. Entah kenapa, ia justru menuju lobby, bukannya ke departemen lain perusahaan.

"Eh?"

Savita memang tidak sadar jika ia sudah sampai di bagian depan perusahaan. Ia otomatis melihat sekeliling.

Tentu saja, pandangannya tertuju pada meja resepsionis dan sosok yang menjaga di sana. Segera Savita melangkahkan kaki, lebih mendekat.

"Siang, Nona. Ada yang bisa dibantu?"

Savita tersenyum, sama seperti yang resepsionis itu lakukan.

"Tidak. Hanya ingin bertanya."

"Ya. Apa itu, Nona?"

"Apa ada jadwal kedatangan tamu penting hari ini? Atau sudah ada orang yang ingin membuat janji temu denganku?"

"Sebentar."

Resepsionis mengecek buku tamu. Ia juga mengecek sesuatu di komputer, pun begitu dengan smartphone kantor.

"Bagaimana?"

Resepsionis yang masih asyik mengecek itu segera merespon.

"Tidak ada, Nona."

"Oh, baiklah. Kalau ada, tolong alihkan ke hari lain, ya."

Resepsionis mengangguk.

"Baik."

"Sekarang bantu aku telepon sekretaris, ya. Minta dia bawakan smartphone dan hand bagku kemari!"

"Siap."

Savita menepi. Ia duduk di sofa, menunggu disana dengan kaki menyilang dan tangan terlipat.

Savita bisa menyaksikan, resepsionis segera melaksanakan perintahnya. Sekretarispun sepertinya sudah mengerti, karena resepsionis hanya mengatakan beberapa kata dan itu jelas singkat.

Selama menunggu, sudah pasti tampak kesibukan di area lobby. Beberapa kali Savita disapa oleh staf dan customer langganan. Jadi, Savita melayani mereka sampai sekretarisnya datang.

"Ini, Nona."

Savita sigap meraih smartphone dan hand bagnya. Sebentar ia mengecek gadget paling penting itu, lalu memasukkannya ke dalam hand bag.

Savita bangkit. Ia sudah menunjukkan ancang-ancang hendak pergi, dan ini jelas jadi perhatian sang sekretaris.

"Nona mau kemana? Pulang lebih awal? Atau ke suatu tempat dan akan segera kembali?"

"Tidak ... tidak. Aku tidak akan kembali. Ada urusan yang harus aku selesaikan. Oh, ya, besok juga aku libur, sehari saja. Handle semua, ya."

"Begitu rupanya. Baik, Nona."

"Oke. Sampai jumpa!"

"Ya. Hati-hati, Nona!"

Savita meninggalkan kantor. Sekretarispun kembali bekerja.

Kembali, Savita mengemudi. Tidak mampir ke resto untuk makan atau tempat estetik lainnya, melainkan langsung menuju rumah.

Lagi, begitu sampai, ia jadi pusat perhatian seluruh anggota keluarga. Ya, Savita bisa menebak soal tanda tanya apa yang ada dalam pikiran mereka semua.

"Kenapa pulang lebih awal? Ada file tertinggal? Atau memang pekerjaanmu sudah selesai?"

Perkataan sang mama menghentikan langkah Savita. Ia merasa malas menanggapi, tapi ia harus menunjukkan sikap hormat. Ya, harus menjawab.

"Tidak ada file yang perlu Savita ambil, Ma. Savita pulang lebih awal hari ini."

"Ada apa memang? Tidak biasanya."

Bibi Savita ikut memandang sang keponakan. Ia menaruh perhatian penuh padanya.

"Ya. Ada apa, Sayang? Kamu baik-baik saja, bukan?"

"Ya, Bi, Ma. Savita baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ya sudah, Savita ke kamar dulu."

"Baiklah. Istirahat sana!"

Savita melangkah menuju kamarnya. Mama dan Bibi kembali melanjutkan aktivitas mereka di ruang keluarga, memotong sayuran sambil menonton TV.

Di kamar, Savita segera mencari koper yang pas, sedang saja. Ia sampai harus berpijak pada kursi agar bisa meraih koper yang disimpan di atas lemari.

Begitu dapat, Savita membuka lemari pakaian yang terkesan kuno nan tradisional itu. Dari sana, ia memilih beberapa pakaian lalu memasukkan ke dalam koper setelah melipat.

"Oke, yang ini selesai," ucap Savita pada akhirnya.

Ternyata, memindahkan beberapa pakaian ke dalam koper cukup menguras tenaga. Savitapun beristirahat sejenak di sofa depan ranjang.

Di sela masa istirahat, terlintas dalam otak Savita untuk mengecek progress travel yang akan membawanya menuju lokasi sore ini. Seketika posisinya tidak santai lagi, dan langsung meraih smartphone dari dalam hand bag.

"Coba kulihat. Sebentar," ucap Savita bermonolog.

Raut senang sontak muncul di wajah Savita. Ditambah lagi, ia makin ekspresif. Benar, sampai naik sofa dan lompat-lompat beberapa kali di sana.

Segera Savita bersiap-siap, mandi, make up, dan memakai pakaian santai juga pas untuk travelling.

Saat keluar kamar sambil menenteng hand bag kecil juga koper, lagi-lagi Savita jadi pusat perhatian keluarga yang sedang bercengkerama di ruang tengah. Selalu, Savita bersikap malas berhadapan dengan mereka.

"Mau kemana? Eh, ya, itu juga apa? Kenapa bawa koper?"

"Savita mau pergi, Ma. Mungkin besok lusa kembali, kalau tidak extend."

"Ada apa? Urusan pekerjaan?"

"Emhh ..., ya, sebut saja begitu, Pa."

"Ingat, ya. Jangan berbuat nekat dan aneh-aneh!"

"Ya ... ya ... ya. Savita berangkat. Sampai jumpa, semuanya!"

Savita segera menyingkir. Ia berlari kecil. Bukan tanpa sebab, tapi agar terhindar dari pertanyaan dan nasehat lainnya.

Beberapa dari anggota keluarga ada yang bingung dengan sikap Savita. Ini berlangsung sebentar saja, karena mereka melanjutkan lagi hubungan sosial.

***

"Selamat sore, Nona Savita. Selamat datang di luxury resort kami!"

"Halo! Selamat sore!"