Liam yang limbung terus berjalan menuju pintu, akses utama rumahnya.Langkahpun masih tertatih-tatih. Sesekali bahkan ia harus berpegangan dan beristirahat sejenak.
Ting!
"Ya ... Ya. Sebentar!"
Liam berusaha menguatkan dirinya. Sial! Ia baru ingat bahwa jatah Savita sempat direbut, membuat ia minum lebih banyak daripada sang kekasih.
Pintu akhirnya dibuka. Terpampanglah si kurir di hadapan Liam. Barang bawaan di tangannya langsung jadi pusat perhatian.
"Permisi, Tuan. Ada kiriman untuk anda."
Liam menerka-nerka.
"Ah, apa itu? Dari siapa?"
"Minuman. Dari seseorang bernama Savita, Tuan."
"Oh. Ya sudah, berikan sini!"
Kurir memberikan. Liam sigap menerima.
"Kalau begitu permisi, Tuan. Jangan lupa diminum, itu pesannya."
"Ya ... Ya."
Liam menutup pintu. Ia berjalan malas menuju sofa ruang tamu.
Ditengoknya isi dalam paper bag. Ia lalu mengeluarkan tumbler itu dan meneguk isinya.
Entah kenapa, rasanya nyaman sekali. Perlahan pusing yang diderita berkurang. Ketagihan, Liam terus minum sampai tidak menyisakan setetespun.
"Kamu memang idaman, Savita, tapi kenapa sampai detik ini aku tidak bisa menyentuhmu?"
***
Satu persatu notifikasi bermunculan di layar smartphone Savita. Pemilikya justru semakin menyamankan posisi, bersembunyi di balik selimut tebal.
Savita sama sekali tidak peduli. Ia bahkan tenang saat dengar pintu kamarnya dibuka, dan ada suara langkah kaki dari seorang makhluk kecil.
"Aunty! Taraa!!"
Savita membuka selimut. Ia lalu menutup wajahnya lagi begitu sudah selesai melihat dengan jelas keponakannya.
Merasa tidak terima dan tidak suka diperlakukan seperti itu, keponakan Savita mendengus. Ia lalu menarik paksa selimut.
"Bangun, Aunty! Bangun!"
Keponakan Savita berlari kecil menuju jendela. Dengan kekuatan yang tidak seberapa, ia membuka tirai, membuat cahaya matahari menyinari seisi ruangan, mengganggu Savita.
"Emhh ... apa? Jangan ganggu Aunty! Pergi main sendiri sana!"
Diusir seperti itu, keponakan Savita menangis. Ia berlari keluar, dan pasti mengadu tentunya.
Savita memutar bola matanya. Ia tidak peduli.
Akhirnya, karena gangguan sang keponakan, Savita benar-benar harus bangun sekarang. Iapun mengecek notifikasi.
Perlahan satu persatu dibaca, dipahami. Perlahan juga Savita mulai memunculkan raut kepanikan.
"Ya ampun! Astaga!"
Savita bergerak cepat menuju kamar mandi. Di pertengahan jalan, ia berbalik, melempar smartphone ke atas ranjang dari jarak jauh.
Lekas Savita mandi. Lanjut, ia memilih pakaian formal berwarna cerah, sesuai warna kulitnya. Terakhir, meja rias jadi tujuan.
Telepon masuk untuk Savita sedikit mengagetkan. Ia jadi harus menyeka lipstick di pinggir bibir.
Layar smartphone ditengoknya. Ah, dari sang sekretaris rupanya.
"Hmm, oke," ucap Savita dengan nada yang sedikit mengeluh.
Lekas Savita menyelesaikan tahap finishing make up. Ia lalu bangkit, menatap sekali lagi pantulan diri di depan cermin.
Sebuah hand bag mahal diraihnya. Soal posisi, kebetulan ada di sofa depan ranjangnya.
Savitapun melangkah mantap. Ia melewati keluarga besarnya.
Orang-orang yang ada di meja makan memperhatikan, bahkan sampai menghentikan aktivitas. Karena ini, langkah Savita terhenti. Ia memberikan tatapan yang berarti 'tolong, jangan tatap aku seperti itu!"
"Mau kemana?"
"Kamu itu sedang dihukum. Kembali ke kamarmu sana!"
Savita menghembuskan napas berat. Ia merasa sedang menghadapi situasi payah saat ini.
"Savita harus pergi, Ma, Pa. Kantor butuh Savita setelah cuti beberapa saat lalu."
"Ya sudah. Baiklah. Hati-hati! Ingat, jangan macam-macam lagi dengan Liam!"
"Hmm."
Savita memutar matanya. Ia lalu berjalan menjauh.
Orang tua Savita dibuat geleng-geleng kepala dengan respons anaknya. Mereka lalu kembali makan, setelah mempersilakan semua orang untuk fokus lagi pada aktivitas mengisi perut.
Menyedihkan, bahkan karena kemarahan, tidak ada satupun dari anggota keluarga yang mengajak Savita sarapan. Lagipula, Savitapun enggan.
Dengan segenap rasa kesal yang bersarang di dada, Savita menuju mobil lalu membuka pintu. Rasanya ia mantap menghadapi hari ini, dan segala hal yang akan terjadi selama beberapa waktu ke depan.
Savita mandiri. Ia tidak menggunakan sopir. Karenanya, meski kesal, Savita berusaha mengemudi dengan tenang dan hati-hati.
Untuk sampai di perusahaan, butuh waktu sedikit lebih dari 30 menit. Untungnya, jalanan tidak macet, jadi Savita bisa sampai tepat waktu.
"Selamat pagi, Nona!" sapa seorang karyawatinya.
"Pagi!" jawab Savita diiringi dengan senyum yang mengembang.
Savita terus melangkah dengan elegan. Ia tampak profesional tanpa beban.
"Pagi, Nona Savita!" sapa karyawati lain yang juga berpapasan dengan Savita.
"Oh, hai! Pagi! Semangat bekerja, ya!" ujar Savita, membakar semangat.
Sang karyawati mengangguk hormat.
"Baik, Nona," kata karyawati, menyanggupi.
Savita mengumbar senyum lagi. Bak memberi contoh, ia bersikap penuh semangat saat membuka pintu ruang kerjanya.
Betapa terkejutnya Savita begitu melihat kondiai meja kerja. Ekspresinya seketika berubah, matanya terbelalak dan mulutnya nyaris membentuk O sempurna.
"Ck ... ck ... ck.... Ditinggal sebentar saja sudah seperti ini. Bagaimana kalau lama?"
Savita bergerak mendekat. Ini dilakukan begitu ia selesai menutup akses utama menuju ruang CEO.
Tidak lama berselang, pintu ruang kerjanya kembali terbuka. Tampak sang sekretaris yang jadi dalangnya. Iapun masuk.
Savita sadar bahwa ada orang lain di ruangan sama, tapi ia tidak merespon berlebihan. Senyum baru diumbar saat Savita menoleh, persis bersamaan dengan munculnya ekspresi ramah sekretaris.
"Ya, Nona. Benar sekali. Memang itu pekerjaan anda yang sedang menunggu. Silakan dicek dan ditandatangani yang perlu."
Sekretaris berhenti melangkah. Ia memposisikan diri di samping Savita.
"Huftt .... Baiklah."
Savita bergerak lagi. Ia duduk di kursinya lalu meletakkan hand bag di atas meja, agak ke pinggir.
"Nona butuh sesuatu mungkin? Minum? Atau yang lain?"
Savita berpikir sejenak.
"Tidak. Tidak ada."
"Baik. Kalau ada yang perlu ditanyakan atau butuh penjelasan, segera panggil saya, ya, Nona."
"Oke."
"Baiklah. Permisi, Nona."
"Ya."
Sekretaris keluar dari ruangan Savita. Bawahannya itu meninggalkan sang atasan bersama setumpuk pekerjaan.
"Ayo, Savita! Mari mulai!"
Savita penuh semangat. Ia meneliti setiap file, mempelajari, lalu menuliskan koreksi. Selain itu, ia juga menandatangi beberapa yang perlu.
Beberapa saat lamanya Savita konsen bekerja. Baru, di pertengahan, ia tiba-tiba terpikirkan soal Liam.
"Apa yang sedang dilakukan Liam sekarang, ya? Emhh, sepertinya aku harus melakukan sesuatu untuk mencairkan suasana."
Saat Savita hendak berselancar melalui smartphonenya, pintu diketuk. Ketukannya sopan dan beberapa kali saja. Ah, sudah pasti dia karyawannya.
"Ya. Masuk!"
Pintu dibuka. Tanpa dipersilakan untuk mendekat dan duduk, karyawan Savita sudah melakukan semua sendiri. Dia adalah laki-laki good looking yang usianya ada di akhir 20 tahunan.
"Ada apa?"
Karyawan langsung menyodorkan gambar 3 dimensi di sebuah kertas putih. Savita yang menerima seketika mengecek.
"Desain baru? Wow! Luar biasa!"
"Terima kasih, Nona. Bagaimana? Apa lagi yang harus saya tambahkan?"
"Emhh ...."
Savita masih menimbang.
"Banyak permatanya mungkin? Atau bentuknya?"
Savita terdiam beberapa saat. Ia fokus meneliti.
"Tidak perlu perubahan. Tolong beri warna biru, ya. Warna hijau kurang memukau."
"Baik, Nona."
"Bagus! Segera laporkan yang baru, ya."
"Siap. Permisi."
"Oke."