"Emhhh ... Liam."
Salah satu dari kedua perempuan menyadari sesuatu. Ia menghentikan langkah, termasuk menepuk lengan rekan yang juga ikut dalam pencarian, tanda agar mengikuti tindakannya.
"Apa?"
"Itu ... dengar dengan seksama!"
2 telinga mencoba mendengar lagi kali ini. Perlahan juga mereka melangkah makin mendekat ke kamar Savita.
"Savita, diamlah! Jangan menolak terus!"
Betapa terkejutnya 2 orang perempuan dewasa ini saat mendapati Savita dan Liam berada dalam ranjang yang sama. Tubuh mereka berdekatan dan sedang melakukan hal di luar batas.
Mereka yang awalnya mengintip, sekarang justru bersikap lebih tegas, berani memegang handle, bahkan langsung membuka pintu lebar-lebar.
"Savita! Liam!"
Savita dan Liam menghentikan perbuatan terlarang mereka. Keadaan keduanya berbeda.
Savita sontak bangkit dengan mata yang terbelalak. Soal Liam, ia berusaha melihat dengan jelas, tapi masih terbaring.
"Apa-apaan ini?"
"Savita ... ee ...."
"Kalian tidak tahu malu, ya? Berbuat dosa di rumah yang juga ditinggali keluarga besar."
Seoarang dewasa lain berkacak pinggang. Ia siap marah-marah, bahkan mengumpat.
Savita benar-benar beranjak dari ranjang sekarang. Ia hendak mencegah, tapi orang dewasa itu justru menunjukkan jari telunjuknya, membuat Savita terpaksa diam di tempat, mundur.
"Jangan jelaskan pada kami, tapi keluarga besar! Diam dan tunggu di sini!"
Seorang di antara mereka keluar dari kamar Savita, sedang 1 lagi tetap di tempat, bertindak sebagai penjaga. Ia terlihat menakutkan, karena sudah melipat kedua tangan dengan tatapan menghakimi dan menindas.
Savita seperti setrika sekarang. Sekali ia memegang kepalanya. Pusing terasa, tapi dalam arti yang berbeda.
Savita benci saat menengok Liam. Laki-laki itu masih saja dalam pengaruh lassi berbhang. Jadi, masih saja terbaring di ranjang.
"Liam, bangun!"
"Ah? Apa?"
Liam semakin membuat dirinya nyaman. Kamar Savita sudah seperti kamarnya sendiri.
"Bangun! Cepat!"
"Hmm ... kalau tidak mau bersamaku, diam dan jangan memerintah!"
Savita menepuk dahinya. Ia lalu melirik si orang dewasa yang masih termasuk keluarganya itu. Langsung tertunduk jadinya, karena tatapan mata tidak suka dilayangkan.
Savita benar-benar tidak tenang. Ia ketar-ketir hebat, menanti kedatangan keluarga besar dan hukuman.
Selama itu, Savita terus mengumpat dirinya sendiri. Ya, sedikit juga pada Liam.
Jantung yang sudah berrdetak hebat makin menjadi saat orang tua, nenek, paman, dan bibi mulai memasuki kamar. Wajah penasaran mereka berganti jadi wajah tidak percaya akan pemandangan yang didapati.
"Savita ...."
"Nak ...."
"Astaga!"
Beberapa anggota keluarga menutup mulut, sebagian lagi geleng-geleng kepala. Ah, tidak sanggup rasanya jika Savita harus memandang mereka.
"Kenapa kamu harus lakukan ini?"
"Ya. Kalian bisa katakan jika memang sudah ingin menikah."
"Apa?! Tidak ... tidak. Ini tidak seperti yang kalian semua duga. Ini karena ...."
"Sudahlah, kalian memang membuat kami kecewa, terutama kamu, Savita."
Mama Savita meninggalkan kamar.
"Ma ...."
"Katakan pada Liam untuk pulang sekarang! Setelah itu, jangan keluar dan diam saja di kamar!"
"Tapi, Pa ...."
Papa Savita menyusul langkah Mama Savita. Anggota keluarga yang lainpun bersikap sama, meninggalkan Liam juga Savita.
Frustrasi rasanya, sampai mengacak rambut sendiri. Savita lalu berusaha membangunkan Liam, sedikit mengeluarkan tenaga untuk mengangkatnya.
"Ayo, bangun dan pulang!"
"Emhh ... Savita ...."
Liam yang sudah bangkit merasa malas. Ia hendak kembali merebahkan diri di ranjang, tapi Savita mencegah dengan cepat.
Liam diseret paksa menjauh dari tempat tidur berukuran queen dengan hiasan tirai khas India. Savita melunak begitu sampai di ujung pintu.
"Pulang, Liam! Jangan bertemu dulu untuk sementara waktu, atau hubungan kita akan dipersulit."
Savita mendorong Liam agar lebih keluar. Ia lalu menutup pintu setelah menarik napas dalam, tanda kemantapan hati.
Liam yang masih bingung dengan keadaan sebenarnya hanya mengacak rambut. Ia lalu pulang dalam kondisi linglung.
Sejam ... 2 jam ..., jenuh juga rasanya kalau harus berdiam diri terus di dalam kamar. Savita yang bingung dan khawatir sampai menggigit kukunya.
Setelah memutuskan untuk membereskan kamar dan menyegarkan diri, Savita akhirnya bersikap berani. Ia akan keluar kamar.
Dapur, Savita menuju tempat ini. Sebelumnya ia harus melewati beberapa ruangan dulu. Otomatis ia bertemu dengan beberapa orang dari keluarga besar.
Hubungan jadi terasa kaku. Menyapa saja tidak enak. Jadi, Savita diam dan menjaga jarak. Ia bersikap biasa, tapi tetap menaruh hormat.
Di tempat yang dituju, Savita kembali harus bertemu keluarganya. Mungkin enggan berkumpul atau memang memberi hukuman, anggota keluarga Savita itu langsung menyingkir, membawa serta makanan seporsi yang baru jadi.
Savita berusaha tenang. Ia lalu fokus pada pekerjaan kecilnya, ingin membuat jus lemon, untuk meredakan pusing akibat lassi bercampur bhang.
Tiba-tiba, di tengah momen mengaduk, dirinya teringat soal sosok sang kekasih. Rasa iba dan peduli jadi 1.
"Oke. Kalau begitu 1 lagi, untuk Liam," ujar Savita lirih, sambil tersenyum.
Lekas Savita menyelesaikan bagiannya. Ia lalu beranjak membuat milik Liam, memasukkan ke dalam tumbler kemudian.
Sampai sini, Savita bingung, bagaimana caranya membuat minuman itu sampai di tangan Liam? Setelah melihat jendela dapur, ia dapat ide juga.
Smartphone yang sempat dibawa dan diletakkan di meja dilirik. Ia mengambilnya, mengoperasikan lalu menyentuh beberapa tombol angka.
"Ya? Halo!"
Savita senang, karena direspon dengan cepat. Bersamaan dengan ini pula ia memandang sebentar jus lemon buatannya.
"Ya. Bisa antarkan minuman?"
"Tentu, Nona."
"Ah, baik. Sebentar, aku kirim alamatku dan alamat tujuan, ya."
"Oke. Ditunggu."
Telepon berakhir. Savita berganti mengirim pesan melalui sebuah aplikasi.
Begitu selesai, Savita kembali menjadi setrika. Sekian menit, ia baru membuka jendela dapur, sambil memperlihatkan ekspresi tidak sabar menunggu.
Savita berpindah posisi, beberapa langkah menjauh. Tujuannya adalah mengemas tumbler berukuran sedang ke dalam sebuah paper bag polos.
Ajaibnya, saat Savita hendak kembali ke tempat dan dalam posisi berbalik, seorang kurir datang dengan mengendarai sepeda motor. Ya, ini sesuai arahan.
Savita berjalan lebih mendekat pada si kurir. Ia melakukannya sambil melihat ke belakang, sekitar.
"Ini, ya."
Kurir menerima barang yang diberikan Savita.
"Tidak ada lagi, Nona?"
Savita menggeleng yakin.
"Pastikan ini sampai dan diterima! Kabari aku secepatnya."
"Baik. Permisi, Nona."
"Ya."
Sesaat Savita menyaksikan kepergian kurir. Ia lalu cepat-cepat menutup jendela. Dilihatnya lagi sekitar begitu membalikkan badan.
Gelas jus diraih. Ia membawanya serta keluar dapur.
Setiap melewati beberapa ruangan, dan setiap bertatap muka dengan para anggota keluarga, Savita berusaha tenang. Ia lebih merendahkan pandangan dan terkesan amat sopan, sopan yang berlebihan.
"Hufft ...," desah Savita saat sudah sampai di kamar dan duduk di tepi ranjang, lega.
Savita menggeleng beberapa kali. Ia lalu meminum beberapa teguk jus lemon.
Savita lalu meletakkan gelas di atas nakas. Kini, ia menengok jam kecil yang ada di sebelah gelas.
"Kuharap kurir itu sudah hampir mendekati separuh perjalanan," batin Savita.
***
Ting!
Ting!
Liam yang sedang dalam posisi telungkup itu cepat bangkit. Ia memegang kepalanya, masih terasa pusing.
"Apa? Siapa itu?" ucap Liam bertanya-tanya.