Yang jelas, ada beberapa saudara laki-laki dan perempuan Savita. Beberapa lagi pasti tetangga yang juga diundang.
Mereka semua sedang berkumpul dengan lassi. Sebagian bahkan ada yang menumbuk sesuatu dengan alat tradisional.
"Hei, apa yang kalian lakukan?"
"Eh, Kakak. Ayo, bergabung! Kita sedang membuat lassi. Tahu apa yang lebih seru lagi? Ini memakai bhang!"
Liam mengernyitkan dahi.
"Lassi? Bhang? Apa itu?"
Sesaat pertanyaan Liam tidak terjawab. Orang yang diajaknya bicara fokus menumbuk.
"Lassi itu minuman tradisional khas India. Sangat enak diminum, apalagi saat cuaca panas begini."
"Oh, lalu bhang?"
Semua orang menatap Liam. Mereka tertawa kemudian, menertawakan kepolosan Liam lebih tepatnya.
"Bhang itu tanaman, tapi memabukkan. Kakak mau?"
Liam meletakkan 2 jari di dagu dan menggerakkannya di sana.
"Hmm, mabuk? Oke. Boleh juga. Kalau begitu pesan 1, ya."
"Wah, baik, Kak."
Liam menyatu. Ia ikut duduk di kursi panjang dan agak luas, seperti panggung kecil-kecilan, tapi tidak terlihat karena tertutup kain bermotif gajah dan motif khas India lainnya.
Liam antusias melihat setiap prosesnya. Sekali juga ia menggosokkan telapak tangannya, sebagai tanda sudah tidak sabar.
Mereka yang membuat lassi, sekali menunjukkan rasa tidak sabar. Berbeda dari Liam, beberapa diantaranya menunjukkan ekspresi antusias berlebih, Dan seorang lainnya hanya menjulurkan lidah ke samping.
Setelah menumbuk bhang sampai halus dan menunang lassi dari dalam gentong ke beberapa gelas, Liam dan mereka semua hampir mendapat racikan minuman yang sempurna. Keinginan pun sesuai harapan saat minuman diaduk, lassi dan bhang benar-benar bercampur jadi 1.
"Nah, ini untuk Kakak."
Liam mengambil jatahnya.
"Terima kasih."
"Ayo, diminum, Kak!"
"Ya ...ya, tentu saja."
Si pembuat lassi meneguk minumannya lebih dulu. Liam memperhatikan sebentar, lalu mengikuti.
"Ahh ...."
"Bagaimana? Enak? Segar sekali, bukan?"
Liam tidak merespon. Ia hanya mengangkat, menunjukkan gelasnya, pertanda ia sangat menyukai. Ia lalu meneguk lagi.
"Wah, tampaknya Kak Liam sangat suka. Bagaimana kalau kita buat lagi? Mungkin saja itu kurang."
"Heh, kamu ini! Sebentar, lebih baik tanya dia dulu saja."
"Memang apa salahnya? Ya sudah, tanya sana!"
Seorang pembuat lassi berdiri dari duduknya. Ia mendekati Liam yang hampir menghabiskan minumannya.
"Emhh, Kak, mau lagi, tidak?"
Jonas mengerjap-ngerjapkan mata. Ia berusaha fokus pada momen ini. Pun, ia menikmati sensasi lassi yang melekat di mulut.
"Ini? Boleh."
"Baiklah. Aku buatkan lagi kalau begitu."
Si pembuat lassi berbalik, hendak menyiapkan 1 atau beberapa gelas, khusus untuk Liam.
Tiba-tiba, sang CEO perusahaan jam tangan terpikirkan soal kekasihnya. Iapun menghentikan langkah si pembuat lassi dengan menepuk pundakmya.
"Ya? Apa?"
"Bisa buat double?"
"2 saja?"
Liam mengangguk mantap sekali.
"Itu cukup, sangat cukup."
Orang lain dari tim pembuat lassi seketika fokus pada Liam. Ia teringat sesuatu dan berniat menggodanya.
"Ah, pasti untuk Kak Savita, bukan?"
Liam menggaruk kepalanya. Ia salah tingkah, termasuk senyum konyol.
Semua orang bisa mengerti. Mereka lalu kembali fokus pada pekerjaan, membuat lassi dengan campuran bhang sebagian.
"Eh, kenapa berdiri saja dari tadi? Ayo, duduk sini, Kak!"
Liam mengikuti ajakan salah seorang dari tim pembuat lassi. Seperti biasa, ia lalu memperhatikan setiap prosesnya.
Kurang dari 10 menit, 2 gelas lassi dingin sudah siap. Keduanya langsung dipindahtangankan pada Liam.
Si CEO seolah menyambut cinta pertamanya. Sungguh tidak sabar ia menyajikan ke hadapan Savita.
"Savita, aku datang."
Liam menyingkir dari hadapan para pembuat lassi. Seorang diantara merekapun lantas menyenggol tangan rekan 1 timnya, siku dan siku.
"Lihat itu! Senang sekali dia."
"Ya. Apa yang akan terjadi, ya?"
"Dengan dia juga Kak Savita?"
"Ya, mereka."
"Hmm, pasti ...."
"Apa kamu memikirkan hal yang sama?"
Tim pembuat lassi saling lirik satu sama lain. Mereka lalu terkekeh sambil menutup mulut dengan tangan.
Saat semua orang tengah sibuk di halaman belakang, siapa sangka Savita ada di dalam rumah. Liam dapat menemukannya dengan mudah.
Dapur yang amat dekat dengan ruang makan, di sinilah Savita kembali bertemu dengan Liam. Kekasihnya memergokinya sedang mencicip acar dalam sebuah stoples pecah belah.
"Wohoo, dasar pencuri makanan!"
Savita mematung lalu menengok perlahan ke arah Liam. Meski tertangkap basah, ia tetap mengunyah perlahan.
"Hei, dasar tidak bisa diam!"
"Apa?! Memang faktanya kamu yang salah."
"Oh, ya? Liam, apa kamu lupa? Kaum hawa tidak pernah salah."
Liam merebut stoples.
"Tidak dengan kali ini, Savita."
Savita mendengus. Ia merebut lagi apa yang dianggap sudah jadi miliknya, stoples itu.
"Kali ini, kemarin, atau besok, sama saja."
Savita mengambil lagi acar dari dalam stoples. Ia mengunyahnya dengan asyik.
Tingkah sang kekasih sungguh membuat Liam jadi geleng-geleng kepala. Ia lalu menyodorkan segelas lassi yang sempat diletakkan di atas meja.
"Jangan yang itu! Nikmati saja ini!"
Wajah Savita sontak berseri-seri. Dengan amat bersemangat ia meletakkan stoples lalu merebut lassi dari tangan Liam.
"Liam, kamu memang yang terbaik!"
Savita hendak meneguk lassi, tapi Liam menghentikan niatannya. Ia memberi kode yang bermaksud mengungkap keinginannya untuk melakukan toss lebih dulu.
"Oke. Toss!"
Ting!
2 gelas berisi lassi yang masih penuh beradu. Pemiliknya masing-masing meneguk sampai berkurang drastis.
Tatapan mata penuh cinta saling ditunjukkan oleh Savita juga Liam. Tanpa terasa pada akhirnya minuman mereka sama-sama bersih, tanpa sisa setetespun.
Tidak berselang lama, tiba-tiba pandangan mata Savita dan Liam kompak kabur. Mereka mulai limbung, auto berpegangan pada benda-benda sekitar juga 1 sama lain.
"Liam ...."
"Savita ...."
"Kenapa dunia berputar?"
"Kenapa juga wajahmu jadi 2?"
"Hah? Yang benar saja!"
"Sungguh. Kamu ada 2."
"Aduh! Sepertinya aku butuh istirahat. Kalau begitu aku ke kamar dulu, ya."
Savita bergerak meninggalkan area dapur, juga Liam tentunya. Makhluk tampan itu tidak terima jika harus sendiri di sana. Jelas ia bertindak.
"Hei, tunggu! Aku ikut juga."
Dengan langkah sempoyongan, Savita plus Liam berjalan berdampingan. Sesekali mereka berpegangan pada benda apapun, juga tubuh 1 sama lain.
Terus saja Savita dan Liam seperti itu. Lassi bercampur bhang rupanya sukses membuat mereka benar-benar mabuk.
Pintu kamar Savita dibuka. Pemilikya sendiri segera masuk, Liam mengikuti. Dan, pintu kamar dibiarkan dalam keadaan tiga perempat tertutup kembali.
Brukk!
Savita menjatuhkan diri. Bak seperti bayangan, Liam mengikuti langkah Savita untuk kali kesekian.
Savita meraih guling lalu memeluknya. Liam yang melihat ini lantas meneteskan air liur. Entah kenapa, di pikirannya Savita adalah guling, yang menggiurkan untuk dipeluk.
"Savita ...."
Liam bergerak lebih mendekat pada Savita.
"Hmm?"
"Hmm apa? Jangan hmm! Lebih baik ...."
Liam mulai mengendus wajah Savita, lalu lehernya. Tangannyapun menjalar kemana-mana.
Diperlakukan seperti itu, Savita jadi meronta. Batinnya juga meraung, seperti harus memilih, antara perasaan juga norma.
Sementara itu di halaman belakang, satu persatu anggota keluarga mulai menyadari.
"Apa? Mencari Savita juga?"
"Aha. Kemana, ya? Sepertinya Liam juga pergi."
"Oh, ya, benar. Dia juga tidak tampak. Entah kemana mereka berdua."
"Mau mencari?"
"Ayo!"
Langkah kaki 2 perempuan dewasa menjejak dimana-mana. Pandangan mata keduanya diarahkan ke berbagai sisi.
Hampir semua bagian rumah disusuri. Hingga tibalah saatnya mereka sampai di dekat kamar Savita.