Chereads / GRANDE / Chapter 12 - Keseruan Masih Berlangsung

Chapter 12 - Keseruan Masih Berlangsung

Mama dan Bibi mencoba mendengar dengan baik keriuhan di teras. Mereka lalu mengangguk-angguk dan tersenyum.

"Wah, sepertinya Liam sudah mulai beradaptasi dengan baik," kata Bibi Savita, berpendapat.

"Ya ... mungkin oke soal itu. Entah bagaimana dengan makanan India. Ingat? Terakhir kali dia muntah-muntah," sinis Mama Savita.

Bibi Savita hanya geleng-geleng kepala lalu mengibaskan tangan.

"Ma, please, jangan ungkit itu lagi dan mengejek Liam," mohon Savita dengan sedikit amarah dalam dirinya.

"Huh, dasar budak cinta!" ejek Mama Savita yang wajahnya sangat mirip dengan sang anak, bak pinang dibelah 2, tapi dalam umur berbeda.

"Ma!" kesal Savita.

"Ya ... ya, tidak lagi," ucap Mama Savita, singkat, mengakhiri obrolan pemicu pertengkaran.

"Kalian ini, hmm ...," respon Bibi Savita.

Keluarga besar Savita asyik bercengkerama selama beberapa saat lamanya. Mereka juga mengurangi sedikit demi sedikit isi dalam piring dan mangkok.

Beberapa saat berselang, Liam akhirnya muncul, bersama rombongan tentunya, para paman. Ekspresi mereka semua ini seperti orang tanpa salah, salah karena sudah membuat anggota keluarga menanti.

"Haduh, kalian baru muncul sekarang."

"Asyik sekali, ya?"

Para paman dan Liam menyatu, duduk bersama anggota keluarga yang lain. Seorang paman bahkan langsung meneguk teh.

"Begitulah."

"Ya. Itu karena kekasih Savita. Seru sekali calon menantu kita."

Liam auto tersipu malu. Lucunya, Savita juga ikut-ikutan bersikap seperti Liam.

Anggota keluarga yang lain jadi menggoda mereka berdua. Liam disenggol dan Savita dicolek.

"Hei, sudah, jangan ganggu dia! Ayo, Nak, makan manisan dulu di perayaan ini," ujar Nenek Savita yang duduk di area tengah, bangkit dan menyuap manisan ke dalam mulut Liam.

Mama Savita memerhatikan, ekspresi Liamlah targetnya. Savita tahu ini. Jelas dia cemas, was-was jika Liam dihina sang mama di hadapan keluarga besar.

"Umm," gumam Liam saat mengunyah manisan berwarna putih itu.

Liam menunjukkan ekspresi aneh. Jelas, ia tidak biasa mengonsumsi makanan khas India. Ini memang dipaksakan.

"Hmm, benar, bukan?" ledek Mama Savita.

Bibi Savita mencolek lengan Mama Savita, meminta agar tidak bertindak lebih.

"Ma, please," Mohon Savita.

Remah-remah manisan berguguran dari mulut Liam. Laki-laki itupun meletakkan tangan di bawah mulut, persis, untuk mencegah agar butir-butir manis itu tidak mengotori pakaian dan lantai.

Awalnya Liam merasa aneh, tapi akhirnya ia biasa saja, bahkan berangsur-angsur menikmati. Savita menghembuskan napas lega karena ini. Sang Mamapun urung berkicau lagi.

"Sudah berkumpul semua, bukan? Bisa kita mulai acaranya sekarang?"

"Sip! Mari ... mari, pindah ke halaman belakang."

Semua keluarga kompak berjalan beriringan menuju tempat yang dimaksud. Anak-anak kecil berlarian semua.

Ya, seantusias itu. Savita juga sampai menunjukkan keceriaan berlebih sambil sedikit bertindak agresif, menggandeng tangan Liam lebih dulu.

Di halaman belakang, ada dekorasi yang sangat apik. Meja prasmanan juga sudah disiapkan. Pun, di beberapa sisi ada kursi-kursi, ditata sedemikian rupa ala India.

"Selamat Holi, Sayang," ucap Mama Savita pada sang suami, setelah mengoles bubuk warna merah muda di bagian pipi.

Papa Savita tersenyum. Ia mengambil alih nampan emas berbentuk bulat dari tangan sang istri.

Berganti, kini Papa Savitalah yang melakukan hal itu. Pemilihan warnapun sama. Kening istri lalu dikecup. Mama Savita memeluk mesra suaminya.

"Eh?" ucap Mama Savita begitu sadar dirinya dan suami jadi tontonan orang-orang.

Pelukan dilepas.

"Silakan ... silakan," timpal Papa Savita

Anggota keluarga Savita yang lainpun menyusul melakukan hal serupa. Selama itu, Savita dan Liam saling senggol.

"Lihat itu! Kamu mau tidak?"

"Liam, kamu latihan saja dulu dan banyak belajar soal budaya India."

"Hmm ...."

Beberapa saat kemudian, ritual pemberian warna selesai. Mereka semua bubar dan langsung menikmati makanan.

Soal anak-anak, mereka bermain begitu saja. Tepat saat sebuah tembakan air diluncurkan oleh seorang anak, salah satu dari mereka.

"Eh? Kenapa bubar? Kita bahkan belum mengoles sedikitpun."

Savita melirik wajah kesal Liam. Ia mengejeknya.

Tiba-tiba seorang asisten rumah tangga melewati mereka. Savitapun cekatan mengambil segenggam bubuk warna biru.

"Eh, Nona ...," seru asisten rumah tangga yang terkejut dengan tindakan atasannya itu.

Bubuk dalam genggaman seketika dilempar mengenai Liam. Dalam sekejap, Liam berubah menjadi manusia biru, tapi bukan avatar.

"Savita! Hei! Awas, ya! Giliranku sekarang."

Savita bergegas menghindar dari Liam. Merekapun bermain kejar-kejaran dengan amat ceria, layaknya kembali pada masa kecil.

Sebuah meja panjang berisikan bubuk aneka warna dan beberapa pistol air dihampiri. Dari sini, Liam mencomot segenggam bubuk berwarna merah.

"Savita!"

Mendengar namanya dipanggil, jelas Savita sontak menoleh. Siapa sangka, di momen itulah Liam melempar bubuk berwarna merah.

Deg!

Seketika waktu seolah berhenti. Savita terpaku menatap Liam.

CEO perusahaan jam tangan itu masih senyum-senyum. Ia berjalan, lebih mendekati sang kekasih.

Savita menyingkirkan bubuk pewarna dari wajahnya. Ia juga menepuk-nepuk yang ada di tangan.

"Kamu menyukainya? Mau lagi?"

Liam menunjukkan 1 telapak tangannya yang penuh dengan bubuk pewarna dan terlihat tebal. Savita seketika memegang lengan Liam, menghentikan pergerakan.

"Jangan lakukan, Liam! Ini warna merah. Kesannya sakral, apalagi untuk yang sudah berpasangan."

Savita menurunkan tangan Liam. Beberapa detik kemudian, Liam tetap memaksa. Ia mengoleskan bubuk pewarna merah di dahi Savita.

Lonceng di kuil seolah berbunyi. Bersama ini juga keluarga besar yang melihat saling menampakkan ekspresi tidak percaya.

"Savita ...."

"Oh, ya Dewa, apa ini pertanda cucuku akan segera menikah?"

Liam menunjukkan tatapan penuh cinta dan sangat menginginkan Savita. Ia makin mendekatkan wajahnya pada wajah perempuan berambut panjang itu.

Banyak anggota keluarga harap-harap cemas akan kejadian berikutnya. Sebagian bahkan sampai menutup matanya, bersiap-siap andai ada adegan dewasa.

Siapa sangka, alunan musik khas India terdengar. Gagal sudah 1 proses mesra dari sepasang kekasih.

"Yah, gagal ... gagal," kata seorang anggota keluarga.

"Sudah ... sudah! Biarkan mereka, mari joget saja!" ujar salah satu anggota keluarga yang lain.

Semua anggota keluarga perlahan membaur. Mereka larut dalam kegembiraan.

Liam tiba-tiba fokus lagi pada Savita. Ia menarik dan memeluk pinggang sang kekasih.

"Apa maksudmu? Bubuk merah itu hanya untuk orang yang berpasangan? Menikah? Jadi, bagaimana kalau kita menikah saja?"

Savita membelalakkan matanya. Ia berusaha menarik diri. Sayang, Liam menariknya lagi, terasa mencengkeram kini.

"Hah? Bagaimana?"

Savita bingung harus menjawab dengan kalimat apa. Dengan sekali hentakan, ia akhirnya lepas juga.

"Liam, please, jangan seperti ini!"

Ada keponakan Savita yang datang mendekat. Ia membawa serta pistol air, menembakkan sedikit isinya ke arah Savita.

"Ayo main, Aunty!"

Sang keponakan berlari dengan amat lincah. Ia berharap Savita akan segera mengejarnya.

"Kamu ... awas, ya!"

Savita melakukan hal yang persis dibayangkan oleh keponakan. Ia berlari menyusul dan meninggalkan Liam begitu saja.

"Eh ...."

Liam mengusap kasar rambutnya. Ia mengangkat tangan, menyayangkan sikap Savita yang membuatnya jadi sendirian.

Sebuah sudut halaman belakang lalu diperhatikan. Entah kenapa Liam merasa tertarik. Iapun menghampirinya.