"Itu ... karyawati baru."
"Oh."
Savita duduk di kursi, persis di hadapan Liam.
"Eh, apa yang kamu bawa?"
Savita fokus. Dengan senang hati dan penuh rasa bangga, ia siap mempersembahkannya pada Liam. Isi dalam paper bagpun dikeluarkan.
Liam menggosok tangannya. Ia antusias menyambut menu makan siang yang dihidangkan.
"Taraaa! Spaghetti saos marinara. Dan, healthy juice."
"Wow! Buatan sendiri?"
"Tentu saja. Kamu pikir?!"
Liam tersenyum. Sebenarnya ia nyaris menertawakan diri sendiri. Betapa konyol rasanya, mengingat Savita adalah sosok yang pandai memasak.
"Oke. Bisa kucoba sekarang, ya."
Savita duduk lagi di tempatnya. Ia melipat tangan dan tersenyum, seperti siap dinilai oleh juri sebuah kompetisi memasak.
Liam menggulung spaghetti menggunakan garpu. Ia lalu memasukkan makanan khas Italia itu ke dalam mulutnya.
Ekspresi Savita sontak berubah. Ia tegang, sekaligus ingin segera tahu pendapat sang kekasih.
"Ayo, katakan, Liam! Bagaimana rasanya?"
Liam terus mengunyah dengan ekspresi aneh. Savitapun semakin cemas saja.
"Enak. Eh, no! Super tasty!"
Raut wajah Savita berubah lagi. Ia kegirangan.
"Ah, thank you. Ayo, habiskan!"
"Ya ... ya. Aku habiskan. Tenang!"
Selama Liam makan, Savita hanya melihat pemandangan yang membuat hatinya teramat senang. Meski begitu, sekali Liam menyuapkan makanan jatahnya ke dalam mulut Savita.
Tampakmya makanan buatan Savita memang benar-benar lezat. Terbukti, spaghetti saos marinara itu habis dalam waktu sekejap saja.
Savita bersikap layaknya pelayan Liam. Ah, seperti seorang istri persisnya. Ya, menata lunch box kosong dan mendekatkan tumbler.
"Ini. Semoga kamu suka juga."
Kembali, Savita memasang ekspresi harap-harap cemas. Bedanya, kali ini ia segera tahu dari body language yang Liam tunjukkan, meneguk dengan cepat dan menyeka bibirnya.
"So juicy! Pastinya aku suka."
Liam minum lagi. Sekarang ia meneguknya sampai habis.
Savita mengemas tumbler ke dalam paper bag kembali, menyusul si lunch box. Ia lalu membersihkan meja kerja Liam dari sedikit noda minyak dan basah.
Sementara Liam mengendurkan ikat pinggang karena kekenyangan, Savita merapikan pakaiannya, bersiap menyingkir dari ruangan Liam.
"Eh, mau kemana?"
"Pulang, tentu saja."
Liam segera bangkit. Ia lalu meraih kunci mobil.
"Baiklah. Kuantar, ya."
Savita memberi tanda stop dengan tangan.
"Jangan! Keriuhan di rumah hanya akan membuatmu tidak semangat kembali bekerja nanti."
"Apa?!"
"Ya. Sedang ada persiapan besar-besaran untuk acara holi besok. Ingat, jangan lupa datang tepat waktu."
"Atau nenek dan semua keluarga akan mengomelimu."
Liam menghempas tubuhnya ke kursi, duduk kembali di sana. Ia juga menghembuskan napas berat, layaknya orang yang tidak sanggup menghadapi sesuatu.
"Nah, tepat!"
Savita hendak melangkah. Sayang, Liam menarik lengan Savita, berusaha menghentikan kepergian. Kekasih CEO perusahaan jam tangan itupun menoleh ke belakang.
"1 kecupan."
"Belum boleh."
"Kalau 2, boleh?"
Savita tersenyum, nyaris tertawa.
"1 saja belum boleh, apalagi 2."
Liampun memasang wajah memelasnya. Ia lalu melepas pegangan tangannya di lengan Savita.
"Ya sudah. Pergi sana!"
Savita memegang pipi Liam dan mengelusnya. Ia bermaksud menangani Liam yang sedang merajuk seperti anak kecil.
"Uhh, bayi besarku .... jangan marah! Bersabarlah sedikit! Dahh ...."
Savita tersenyum sambil melambaikan tangan. Momen pamitannya itu dibalas dengan kecupan jauh dari Liam.
Sang CEOpun kembali fokus pada meja kerjanya. Telepon segera diraih. Ia lalu menekan beberapa tombol angka dan meletakkan gagang telepon di telinga, menunggu jawaban.
"Halo?"
"Ya. Segera ke ruangan saya!"
"Baik, Pak."
"Sebentar, jangan ditutup dulu!"
"Ya, Pak? Ada lagi?"
"Hmm, ya. Pastikan kamu tidak membawa smartphone, sudah tampil cantik, dan sedikit menaikkan rok!"
"Apa?!"
"Se ... ge ... ra!!"
***
Liam mengemudi dengan kecepatan normal. Ia berangkat jauh lebih cepat dari waktu yang ditentukan.
Selama perjalanan, Liam terus terpikirkan soal bagaimana acara holi berlangsung di rumah Savita nanti. Batinnya bergejolak.
Kepala yang terasa pusing bukan karena penyakit itu beberapa kali dipegang. Liam begitu sambil berpikir, seolah lebih keras daripada saat berpikir tentang bisnis.
"Hei, minggir atau tabrak saja mobil yang lain, jangan punyaku! Huh!" kesal seorang pengemudi mobil HRV warna putih, kini menyalip mobil Liam.
Liam sadar dari pikirannya yang mengawang kemana-mana itu. Ia lantas berusaha membuat mobilnya tidak berjalan dengan oleng dan jauh dari kesan ugal-ugalan.
Lanjut, Liam berusaha menyamakan posisi dengan mobil yang menyalipnya barusan.
"Diam! Tidak seharusnya kamu berteriak! Dasar!"
Pengendara mobil HRV putih hanya menanggapi dengan menunjukkan raut emosi dan memilih menutup kaca. Mobilnya juga segera lebih tancap gas lagi.
Liam tidak mengejar mobil itu. Ia memutuskan untuk mencoba bersikap santai selama sisa perjalanan.
Hasilnya, Liam berhasil sampai dengan selamat. Mobil mewahpun terparkir rapi dan mencolok mata, di halaman depan rumah Savita yang super luas.
"Ah, mungkin ini hari yang sial," tebak Liam saat menyaksikan para paman Savita yang asyik berjoget dengan iringan tabuhan dari seorang pemain gendang.
Liam memantapkan langkah untuk bergabung ke dalam acara. Itu dilakukan setelah dirinya mengecek kerapian pakaian khas India yang dipakai.
"Hei .... yo!" seru seorang paman.
"Hei ... hei ... ya!" sorak paman Savita yang lain.
"Ya. Ayo, Paman! Berjoget lebih heboh lagi!" seru Liam lalu segera berjoget dengan gaya India, tapi agak berusaha keras agar bisa sama.
Savita tiba-tiba muncul dari dalam. Di tangannya ada sebuah layangan dengan motif merak.
Tidak sendiri, ada 2 makhluk imut yang menyertai. Mereka sedang bermain kejar-kejaran.
"Aunty, berikan! Itu punyaku."
"Tidak bisa. Harus tangkap dulu."
"Ya, Kakak. Berikan layangan milik temanku!"
"Oke, tapi tangkap dulu!"
Para paman dan Liam yang asyik berjoget lantas mendapat 'gangguan'. Mereka diputar-putar dan harus menjadi benteng.
"Eh ... eh, Savita!" ucap Liam saat Savita memeluknya, bersembunyi di ketiak, dan menjadikannya tameng.
"Hayo yo, apa-apaan ini?" keluh seorang paman Savita yang mendadak limbung karena permainan saling kejar antara sang keponakan dan cucunya.
Savita segera mencegah agar sang paman urung jatuh. Dengan begitu ia juga merelakan dirinya tertangkap.
"Haduh, kalian ini! Cepat, pindah main saja ke sebelah sana!" kata paman Savita yang lain, marah.
"Huh, Aunty ini!"
Savita menggiring keponakan dan temannya untuk menjauh dari Liam juga para paman.
"Sudah ... sudah, ayo, kita ke dalam lagi! Liam, cepat masuk, ya."
"Oke. Setelah 1 ronde. Lanjut, paman! Mainkan musiknya!"
Pemain gendang kembali menabuh alat musiknya. Liampun berjoget lagi bersama paman-paman Savita.
Di dalam, ruang tamu tepatnya, keluarga besar Savita yang lain sudah berkumpul. Mereka sedang bercengkerama sambil menikmati teh plus makanan ringan, bercita rasa manis dan gurih.
"Aunty, layanganku."
"Eh, ya. Ini."
Savita memberikan layangan. Keponakan dan temannya itu lantas pergi.
Menyusul yang lain, Savita segera duduk, meneguk teh, dan mencomot sebuah gujiya, pangsit goreng dengan isian buah kering. Tingkahnya ini langsung jadi perhatian.
"Eh, sendiri? Mana Liam? Belum datang?"
"Sudah, Ma. Itu, masih di depan."
"Kenapa tidak langsung masuk saja?"
"Ya karena Liam masih asyik berjoget, dengan para paman, Bi. Coba, dengar dengan seksama suara gendang itu!"