"Ya. Itu ... Bibi coba buat beberapa. Besok, kita buat lagi, lebih banyak."
Nenek Savita memperhatikan sang cucu yang hendak mencomot sebuah ladoo. Ia lalu sigap memegang tangan Savita, mencegah perempuan cantik khas Indian untuk memasukkan makanan manis itu ke dalam mulut.
"Eh, jangan, Nak! Secuil saja. Terlalu banyak gula tidak baik untuk kesehatanmu."
Bibi Savita yang terus bekerja sambil memperhatikan sesekali itu dibuat tertawa cekikikan. Savitapun bertindak nakal dengan tetap memasukkan ladoo, melahapnya seperti seorang raksasa yang kelaparan.
Melihatnya, nenek Savita lantas memukul dahinya sendiri, menyayangkan tindakan sang cucu. Bibi Savita jadi geleng-geleng kepala, dan Savita sendiri tertawa kecil bak orang tanpa salah.
"Nenek, harusnya aku yang katakan itu. Hayoo, siapa yang sudah berumur?"
Nenek Savita meledek. Ia memajukan bibir bawahnya.
"Kamu tahu, tidak? Nenek ini masih sangat kuat. Lihat! Berotot."
Nenek Savita memeperlihatkan lengannya yang kecil dan kendur. Bibi dan Savita tertawa terbahak-bahak.
"Maaf, Nyonya-nyonya, apa kalian akan selesai dalam waktu dekat? Atau masih ingin berlama-lama di dapur?"
Bibi Savita memandang heran, bertanya-tanya. Sementara itu neneknya terus fokus berkutat dengan aneka rempah-rempah.
"Apa? Kenapa? Liam? Kamu akan masak sesuatu untuknya?"
Savita tersipu.
"Ya ... begitulah."
Bibi Savita menunjukkan ekspresi maklum.
"Oke ... oke. Ayo, Nek! Cepat selesaikan acara masak-masak kita!"
Sang nenek menirukan gaya bicara Savita, tapi dalam mode berceloteh.
"Aduh, dasar anak muda!"
Savita memeluk bibi dan neneknya bersamaan.
"Sudah, jangan buru-buru! Santai saja! Aku akan buat layangan dulu. Dahh."
Savita meninggalkan dapur dengan agak berlari. Yup, tentu saja ceria.
"Savita ... Savita."
"Hmm, cucu nenek itu."
Bibi dan nenek Savita terus melakukan pekerjaan mereka, menyelesaikan dengan segera lebih tepatnya. Savitapun menuju tempat yang dimaksud, ruang tamu, kembali bersama dengan anggota keluarga yang masih memilih pakaian, tapi terpisah.
Savita kembali berkutat dengan aneka bahan untuk membuat layangan. Kali ini bahannya lebih banyak. Sesuai niat, ia akan membuat beberapa, masing-masing untuk anak-anak dan anggota keluarga laki-laki.
Savita yang fokus itu tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan sang ponakan. Tentu saja, ia bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Aunty ... Aunty, aku datang lagi. Boleh aku ikut juga?"
Savita memandang wajah keponakannya, sebentar. Ia juga tersenyum.
"Tentu. Ayo, sini!"
Keponakan Savita yang antusias itu segera bergerak lebih mendekat. Ia langsung bekerja, sambil mengingat-ingat setiap prosesnya.
"Hei, pilih ini saja!"
"Tidak ... tidak, yang ini lebih bagus."
"Eh? Kalian ini tidak percaya pendapatku, ya? Yang ini!"
Suasana berisik yang menghiasi rumah tiba-tiba saja mengingatkan Savita pada Liam, sang kekasih. Ada juga raut khawatir di wajahnya.
Ya, Liam dan Savita adalah 2 pribadi yang berbeda. Liam sangat modern, dan Savita kebalikannya.
Meski terpikir soal Liam, tapi Savita akhirnya kembali fokus pada apa yang sedang dikerjakannya tidak lama kemudian. Ia tampak semangat.
Saat satu persatu layangan jadi dan tanpa terasa orang suruhan toko pakaian juga sudah meninggalkan rumah, baru saja. Bersamaan dengan itu, bibi dan nenek Savita muncul. Mereka membawa serta 3 piring berisi camilan tradisional.
"Eh, Savita! Kami sudah selesai. Cepat, sana ke dapur dan pakai sesukamu!"
Savita mendongak, melihat sang nenek, orang yang bicara padanya.
"Ya, Nek."
Savita menyelesaikan sedikit bagian. Ia lalu pergi ke dapur, meninggalkan sang keponakan yang terkesima dengan layangan buatan sendiri.
"Ayo ... ayo! Makan ini!"
Nenek meletakkan sepiring makanan berbalut tepung dan bawang di atas meja. Soal bibi, ia berkeliling, membagikan camilan yang ada dalam 2 piring.
"Enak ... enak. Silakan. Ayo, jangan sampai ada yang tidak dapat."
Saat keluarga Savita berkumpul di ruang tamu, perempuan yang hampir menginjak usia 30 beberapa tahun lagi itu benar-benar fokus dengan dapur. Ia tidak peduli dengan keriuhan yang ada di luar sana.
Spaghetti saos marinara, inilah yang Savita masak. Hati dan pikirannya benar-benar dicurahkan di sini.
"Liam, kamu pasti akan menyukainya. Bersabarlah sebentar sampai aku datang dengan menu simple nan enak ini," batin Savita saat mengaduk saos.
Aroma masakan makin lama makin menguar. Savitapun makin yakin dengan niat membawanya ke hadapan Liam.
Sebuah lunch box berukuran sedang digunakan. Tidak lupa, ada garnishnya juga.
Masih, Savita masih bekerja keras di dapur. Kalau barusan soal makanan, maka kini giliran minuman.
Ya, Savita melanjutkan aktivitasnya di dapur dengan membuat healthy juice, dari apel, seledri, dan timun. Ia lalu mengemasnya dalam sebuah tumbler.
"Nah, selesai!" ucap Savita, puas dengan usahanya.
Ia lalu menempatkan semua ke dalam paper bag. Setelahnya ia beranjak menuju kamar.
Savita segera mengganti pakaian. Bukan yang terkesan mewah atau berlebihan, tapi yang pantas, setidaknya terlihat cantik dan tidak memalukan di depan Liam.
Sebuah tas selempang diraih lalu dipakai. Savitapun bergegas turun, meninggalkan kamarnya yang berada di lantai 2.
Kedatangan Savita yang hendak pergi itu jelas jadi perhatian semua keluarga. Mereka hendak menuju meja makan, tapi mendadak berhenti.
"Hei, mau kemana di jam makan siang begini?"
"Ya, Nak. Kemana?"
Savita menunjukkan paper bag yang menggembung.
"Liam."
"Hmm. Baiklah."
"Aduh, anak muda. Lagi-lagi."
Keluarga besar Savita mulai beranjak menuju tempat mengisi perut. Mereka sudah seperti rombongan semut yang terurai.
"Dahh. Selamat makan semuanya!"
***
"Selamat siang, Pak Liam!"
Liam yang sedang fokus membaca sebuah file segera menoleh. Ia lalu menyunggingkan senyum.
"Siang! Eh, karyawati baru, ya?"
Perempuan cantik dengan blazer hitam dan rok span senada itu mengangguk.
"Ya, Pak."
"Ah, nice! Nikmati waktumu di sini dan selamat bekerja!"
"Baik. Terima kasih sambutannya."
"Ada apa? Ee, maksud saya, ada keperluan apa?"
Si karyawati secara tidak langsung menampakkan beberapa lembar brosur yang ada di tangan. Liam sebenarnya bisa menebak, tapi ia menunggu saja.
"Ini. Ada beberapa brosur yang perlu Bapak cek."
Karyawati meletakkan brosur di atas meja kerja Liam.
"Oh, brosur promo produk keluaran terbaru, ya? Oke."
Liam mengecek brosur secara random. Ia mengambil salah satu, lalu meletakkan lagi begitu saja. Aksi itupun membuat brosur-brosur jatuh ke lantai.
"Oh, tidak!"
Liam seketika membungkuk, hendak mengambil lembaran-lembaran brosur itu.
"Biar saya bereskan, Pak."
Karyawati baru ikut membungkuk. Saat bangkit untuk menyerahkan tanggung jawab membereskan, rupanya Liam bisa melihat belahan tubuh bagian atas. Nalurinya sebagai laki-laki normalpun berontak.
Tok ... tok ... tok!
Pintu ruang kerja yang tertutup itu ditengok. Liam membenahi posisi jasnya, menunjukkan kesiapan untuk bertemu orang lain.
"Ya. Masuk!"
Karyawati menyodorkan brosur yang sudah berhasil dikumpulkan.
"Ini, Pak. Lebih baik segera disimpan di laci atau tempat lain yang Bapak mau."
"Terima kasih."
"Ya, sama-sama. Permisi, Pak."
Liam mengangguk. Kepergian karyawati itu berganti dengan kedatangan Savita sekarang.
"Hai!"
Savita mengumbar senyum dan aura keceriaan. Liam menimpalinya dengan senyuman manis, penuh cinta, dan tatapan terpesona.
"Hai, Savita, Sayang!"
Savita meletakkan barang bawaannya di atas meja kerja Liam.
"Siapa dia? Aku baru melihatnya."