Chereads / GRANDE / Chapter 9 - Keramaian di Rumah

Chapter 9 - Keramaian di Rumah

Brukk!

Tubuh Alice menubruk tubuh Aaron. Ia lalu menatap dengan jelas sosok yang sudah bertabrakan dengannya.

"Aaron?"

Aaron menunjukkan raut wajah menegas. Tangannya mengepal. Emosinya siap meledak.

"Alice! Apa-apaan ini? Jelaskan semua sejelas-jelasnya!"

Alice bingung sekaligus takut. Rasanya ia tidak sanggup menghadapi Aaron.

"Aku ...."

"Apa? Cepat katakan!"

Laki-laki yang muncul dari dalam kamar Alice lebih mendekat.

"Hei, Alice, siapa dia? Kekasihmu?"

Aaron semakin menunjukkan tatapan kemarahan, seperti tatapan dari mata elang.

"Ya."

Si laki-laki memegang tangan Alice.

"Alice, cepat selesaikan urusanmu! Kita akan main, bukan? Sstt, ranjang panas sudah menunggu kita."

Alice melepas tangan laki-laki yang memegangnya, tidak enak rasanya diperlakukan seperti itu di hadapan kekasih sendiri.

Dada Aaron bergemuruh. Kemarahannya sudah di puncak ubun-ubun.

"Ya. Aku melakukannya, Aaron. Ini pesta bebas sosialita. Aku kalah taruhan dan ya ... aku harus melakukan itu dengannya."

Aaron menunjukkan gestur amat menyayangkan tindakan Alice.

"Kamu ini ... dari berkelas mendadak rendahan. Pakaianmu itu ... ck ... ck...."

"Terserah! Yang penting aku akan penuhi hukuman kalah taruhan itu, dan aku tidak peduli pendapatmu."

"Alice, jangan katakan itu sambil meninggikan suaramu, atau aku akan ...."

Aaron mengangkat tangan, hendak menampar. Ini membuat orang-orang sekitar yang menyaksikan jadi terkejut.

"Apa? Tampar! Tampar saja aku!"

Aaron mendadak hilang kekuatan. Ia menurunkan tangannya.

Alice menghentakkan kaki sekali. Ia meninggalkan Aaron, kembali masuk ke kamarnya. Si laki-laki itu juga menyusul.

Melihatnya, tentu saja Aaron hendak melabrak. Sayang, ia lebih memilih untuk melepas Alice saat ini, seolah menyerahkan sang kekasih pada laki-laki lain.

"Oh, terus, Babe! Ya, begitu."

"Nikmati saja dan jangan berisik!"

Bisa dilirik dengan jelas, ada sepasang makhluk yang sedang melakukan kegiatan panas. Amat terganggu, itulah yang Aaron rasakan saat ini. Alhasil ia putuskan untuk segera meninggalkan lokasi.

"Liar dan bebas! Ish."

Aaron pergi, benar-benar pergi tanpa melihat ke belakang lagi. Ia mengelak dan menjauh dari bayangan soal aktivitas apa yang Alice lakukan.

***

"Aunty, ayo!"

Savita menghindar saat keponakannya berhasil mengepung, hendak menangkap.

"Tidak! Kejar aku dulu!"

"Huh! Ayolah, Aunty!"

Dengan napas terengah-engah, keponakan Savita berusaha menyamakan langkah.

"Ayo ... ayo, kejar dulu! Aku akan buatkan layangan nanti."

Beberapa kali Savita membuat gerakan zig-zag untuk menghindar. Beberapa kali juga keponakannya terus berusaha menangkap, tangannya meraih-raih.

Aktivitas yang cukup membuat keringat ini berlangsung beberapa menit saja. Ya, baru berakhir saat Savita menengok kondisi sang keponakan yang sudah tidak sanggup lagi dan hendak menangis.

"Eh ... eh, jangan cengeng!"

Savita menghampiri keponakan yang duduk di sofa. Ia merangkulnya kemudian. Siapa sangka, bocah kecil bergender laki-laki itu justru menangkapnya.

"Nah, kena!"

Savita menunjukkan keterkejutan dan betapa payahnya diri sendiri.

"Oh, no!"

Savita memeluk keponakan dengan penuh kasih sayang. Tentu, hal itu mendapat balasan yang setimpal. 2 orang dalam 1 keluargapun berpelukan untuk beberapa saat.

"Oke. Kita buat sekarang, ya."

"Oke, Aunty."

Savita bangkit dari duduk. Ia mengambil aneka bahan dan peralatan untuk membuat layang-layang. Yup, mainan yang identik dengan masa kecil ini rencananya akan dimainkan saat acara holi besok.

"Yeay! Ajari aku, Aunty!"

Savita melempar senyum pada ponakan yang amat antusias.

"Tentu. Begini, ya."

Savita membagi sama rata aneka bahan dan peralatan, antara dirinya dan keponakan. Ia lalu menunjukkan setiap langkah, mengajarkan dengan penuh kesabaran.

Seorang laki-laki yang diketahui merupakan karyawan suruhan sebuah toko pakaian tiba-tiba muncul. Bersamaan dengan ini, seorang anggota perempuan dari keluarga besar Savita. keluar.

"Dimana, Nyonya?"

"Di sini, ya. Silakan."

Ruang tamu kini seolah terbelah menjadi 2. Pertama untuk Savita dan keponakan yang sedang membuat layang-layang. Dan, kedua untuk keluarga besar Savita, yang satu persatu keluar, menemui laki-laki dari toko pakaian.

Alhasil 2 pemandangan berbeda terlihat. Beberapa saat lamanya Savita fokus membuat layangan. Juga, keluarga besarnya sibuk memilih pakaian yang semuanya serba putih itu.

"Savita! Ayo, pilih satu dan coba!" ajak seorang perempuan muda yang usianya di bawah 25 tahun, tidak jauh dari Savita.

"Ya. Ayo, ke sini dulu!" himbau Mama Savita sambil melihat sekilas aktivitas sang anak lalu fokus melihat lagi detail pakaian yang ada di hadapannya.

Savita menoleh sebentar. Ia lalu fokus lagi pada hal yang dikerjakan.

"Apa? Kenapa harus pesan baju baru untuk acara holi? Dari toko pakaian terkenal Pula. Bukannya masih ada yang lama? Yang masih bisa dipakai," tutur Savita.

"Aunty ... Aunty, kenapa jadi begini?" sela keponakan Savita.

Savita memperhatikan layangan milik keponakan yang terlihat jelek tidak beraturan itu.

"Oh, sepertinya ikatan di bambu longgar. Lem di kertas minyaknya juga. Sini, biar aku betulkan."

Savita mengambil alih layangan dari tangan keponakan yang berumur sekitar 6 tahun.

"Hei, jangan begitu! Anggaplah ini bagian dari menghargai diri sendiri. Ayolah, Savita!" ujar salah satu bibi Savita.

"Hmm, baiklah. Sebentar, kalian saja dulu."

Savita mengerjakan dengan cepat. Bukan hanya soal pembetulan layang-layang, tapi juga menyelesaikan hingga tahap akhir. 2 layangan sekaligus.

"Ayo, kita pilih baju baru sekarang! Nanti kita buat lagi untuk yang lain."

"Ayo, Aunty!"

Savita menggandeng tangan keponakannya. Ya, meski jarak yang dituju amatlah dekat.

Mama dan bibi savita kompak menyodorkan dan langsung mengepaskan pakaian ke tubuh Savita. Dalam waktu cepat, mereka juga mengganti, karena dirasa kurang cocok.

"Hmm, apa akan terus seperti ini? Bagaimana kalau kalian saja yang pilihkan untukku?" kata Savita.

"Hei, bagaimana bisa begitu? Kami bantu dan sisanya kamu. Harus pilih," sanggah Mama Savita.

"Ya. Betul itu. Apa pilihanmu sendiri hanya soal Liam, kekasihmu?" tukas Bibi Savita.

Savita jadi tersenyum, tersipu malu. Ia jadi ingat kekasihnya, pengusaha jam tangan terkemuka di negeri ini.

"Ayolah, Nak. Pilih!" ajak salah satu dari beberapa paman Savita yang ada di ruangan.

"Ya ... ya. Oke. Aku pilih. Puas?" ucap Savita.

"Nah, bagus!" seru Bibi Savita.

Savita mengambil alih pakaian dari tangan mama dan bibinya. Ia mengepaskan sendiri, mempertimbangkan, lalu meletakkan di meja.

Pakaian lain Savita pilih. Pun, ia melewati setiap proses. Tentu, butuh waktu, lumayan.

Akhirnya, terpilih juga 1 pakaian yang Savita suka. Desainnya simple tapi terlihat berkelas. Ini adalah tunik dengan dupatta.

"Nah, aku pilih yang ini saja. Titip, ya."

Savita undur diri.

"Hei, sudah selesai?"

"Mau kemana itu?"

Savita yang sudah berjalan beberapa langkah menoleh ke belakang.

"Menyusul mereka yang ada di dapur."

Savita fokus ke arah depan lagi. Ia melenggang santai menuju dapur.

Di tempat kesukaan para perempuan, dapat ditemukan beberapa asisten rumah tangga, bibi, juga nenek. Mereka sedang sibuk dengan bagian masing-masing.

"Nenek! Bibi!" seru Savita, heboh.

Savita memeluk nenek dan bibinya satu persatu, bergantian. Mereka sama-sama membalasnya penuh kehangatan.

Savita memperhatikan aneka makanan yang ada di atas meja. Di sana tampak ayam, kari, gorengan, chapati, dan hidangan penutup bercita rasa manis.

"Menu makan siang. Eh, kenapa ada ladoo?"