Chereads / GRANDE / Chapter 8 - Kenyataan Apa?

Chapter 8 - Kenyataan Apa?

"Tidak ... tidak. Terima kasih atas bantuan kalian, Ibu-ibu. Eh, Nona-nona."

Aaron menyingkir. 2 ibu yang memperebutkan perhatiannya harus merelakan kepergian. Mereka sudah seperti kehilangan sosok idola saja.

Segera Aaron menuju kasir. Ia lalu mengeluarkan smartphone. Salah satu foto Alice yang ada di sana siap ditunjukkan.

"Maaf, permisi. Perempuan ini pelanggan setia di sini, bukan?"

Kasir memperhatikan baik-baik.

"Ah, ya. Benar. Kalau tidak salah namanya Nona Alice."

"Tepat. Ee, apa dia kemari tadi? Atau mungkin baru saja meninggalkan tempat ini?"

"Tidak."

"Yakin?"

Kasir mengingat-ingat lagi.

"Ya, Tuan."

Aaron lemas. Rasanya sia-sia ia datang ke butik.

"Baiklah. Terima kasih infonya."

"Sama,-sama, Tuan."

Aaron meninggalkan butik. Masih, tetap diiringi tatapan kehilangan dari ibu-ibu tadi.

Bakery shop, tempat yang wangi dan sanggup menggugah selera makan ini jadi tujuan selanjutnya. Soal lokasi, bisa dianggap tidak berjarak terlampau jauh dari butik.

Aaron mengemudi lagi, menyusuri jalanan kota. Kecepatannya normal. Ya ... tetap saja raut gelisah tidak bisa lepas dari wajahnya.

Beberapa kali Aaron hilang konsentrasi. Ia sampai ditegur pengendara lain lewat bunyi klakson.

Untungnya, penderitaan sementara Aaron itu tidak berlangsung lama. Ia akhirnya sampai di bakery shop kurang dari 25 menit.

Begitu masuk, aroma yang sama persis dengan bayangan Aaron mulai menguar. Banyak roti dari berbagai macam jenis dan bentuk ditampilkan.

Entah kenapa tujuan awal Aaron seketika berubah menjadi tujuan kedua. Yup, ia menghampiri dulu etalase yang berisikan roti-roti bercita rasa manis dan gurih.

"Ya, Pak. Mau yang mana?" tanya seorang pelayan.

Aaron bingung memilih.

"Ini ada yang baru, Pak. Nah, ini, pastry dengan isian buah kering," tutur si pelayan.

Aaron berpikir cepat, mempertimbangkan.

"Oke. Boleh. 1, ya," ucap Aaron.

"Baik. Take away atau dine in?" kata pelayan yang sudah bersiap-siap, hendak mengambil pastry.

"Dine in saja," ucap Aaron singkat.

Pelayan mengambil sebuah piring putih polos berdiameter kecil. Ia mengambil pastry dan meletakkannya di sana kemudian.

Sambil menunggu pesanannya siap saji, Aaron kembali melihat-lihat. Tidak lama berselang, ia menunjuk. Itu adalah sebuah muffin, muffin almond.

"Ini, Pak? Tambah lagi?"

"Ya."

"Berapa? 1 juga?"

"Aha, benar."

"Baik."

Pelayan segera memenuhi permintaan Aaron. Piring berisi 2 buah makanan itupun lantas berpindah, ke tangan Aaron.

Area kursi yang dibuat mirip pantry, di sinilah Aaron berpindah. Ia duduk di bagian ujung.

Langsung saja pastry dan muffin bergantian masuk ke dalam mulut Aaron. Ia menikmatinya dengan santai.

Tiba-tiba Aaron cegukan. Ah, bodohnya ia karena tidak memesan minuman juga.

Siapa sangka, pelayan tadi menghampiri Aaron bersama dengan secangkir cappucino panas yang masih mengepul. Jelas ini menimbulkan tanda tanya, tapi langsung terjawab.

"Ini minuman yang pas untuk dinikmati bersama dengan 2 jenis roti itu. Silakan."

Aaron bergerak cepat mengambil secangkir cappucino yang disodorkan. Ia meminumnya sedikit-sedikit, beberapa teguk.

"Tahu sekali aku cegukan. Hmm, aku tidak pesan ini, tapi ini sangat membantu. Tenang, aku akan membayarnya juga nanti."

Si pelayan tersenyum.

"Baik, Tuan. Permisi."

Pelayan menyingkir dari hadapan Aaron. Pemesan pastry dan muffin itupun menikmati minuman yang disuguhkan, perlahan menghabiskan.

Aaron benar-benar menikmati suasana cozy bakery shop, seperti hengkang sejenak dari aktivitas pencarian Alice. Meski begitu ia tetap memanfaatkan kesempatan untuk mengecek smartphone dan terus menghubungi sang kekasih.

"Huh!"

Aaron menghembuskan napas, berat. Ia lalu mengambil sejumlah uang dari dompet, yang lebih dari cukup tentunya.

Setelah meletakkan uang di atas meja, Aaron pergi. Ia sempat menoleh sedikit pada pelayan tadi, dan menunjukkan gestur tanda terima kasih.

Aaron bergerak lagi, masih dalam masa pencarian. Ya, ia tetap menuju tempat-tempat yang didatangi Alice.

Salon and spa, pusat perawatan dan kecantikan inilah yang dikunjungi Aaron selanjutnya. Lagi, ia harus berkutat dengan para perempuan.

Begitu masuk, jelas, Aaron seketika jadi pusat perhatian di tempat yang bernuansa serba pink dan cream ini. Bersamaan dengan itu, nyali Aaron lantas ciut.

"Maaf, permisi."

Seorang perempuan berusia sekitar 30 tahunan mendekati Aaron. Ia seolah jadi wakil dari semua perempuan yang ada di sini.

"Ya?"

Perempuan itu terus maju. Aaron merasa tertekan. Ia bahkan jadi harus mundur perlahan.

Siapa sangka perempuan itu memegang 2 lengan Aaron, menghentikan pergerakan. Alhasil presdir hotel bintang lima itu otomatis diam sekaligus terkesiap.

"Hei, ada apa? Katakan! Apa yang bisa kami bantu?"

Aaron menelan ludah. Ia mengumpulkan keberanian untuk menghadapi langsung juga mengutarakan maksud kedatangannya.

"Ini ... Alice. Apa ada dia di sini? Atau baru saja dari sini mungkin? Atau ... mungkin juga ada salah satu di antara kalian yang sudah menghabiskan waktu dengannya?"

Perempuan itu melepas pegangannya pada lengan Aaron.

"Oh, member VIP itu? Tidak. Tidak ada satupun di antara kami yang bertemu dengannya. Ya ... kurasa begitu. Benar, bukan?"

Si perempuan menoleh ke arah customer yang lain.

"Ya. Benar."

"Betul. Alice sama sekali tidak datang hari ini."

Aaron menggosok kepalanya. Ini berarti ia menganggap diri sendiri telah melakukan hal yang sia-sia. Ya, kedatangannya kemari.

"Ah, baiklah. Terima kasih infonya."

Aaron hendak melangkah. Sayang, langkahnya tertahan. Perempuan tadi memegang tangannya.

Aaron memperhatikan kelakuan perempuan 30 tahunan itu, lebih kepada tangan yang bersentuhan. Ia lantas menepis si tangan kuning langsat.

"Maaf. Aku harus segera pergi."

"Hei, tunggu!"

Ada 1 perempuan lagi yang bangkit dan hendak menggejar sang presdir. Aaron lalu barbalik dan menyebar senyum pada semua orang.

"Enjoy your time, Ladies!"

Semua perempuan menunjukkan ekspresi terpesona mereka.

"Woohoo ...."

"Uhh, I like your style."

***

Lampu disco bekerja dengan baik di salah satu sudut ruangan, di ruang tamu yang luas. Pun, di ruang tengah bisa dilihat ada keramaian juga.

Banyak perempuan bergaya sosialita tersebar di beberapa titik. Plus, tidak ketinggalan, ada banyak laki-laki flamboyan yang menyertai.

"Hei, Sayang! Ambilkan minuman itu!"

"Rokok? Mau juga?"

"Hmm, bagaimana dengan bibirmu?"

"Oh, ayolah, jangan menggoda!"

Aroma rokok elektrik dan konvensional membaur. Aromanya juga berpadu dengan bau minuman beralkohol.

Ya, setidaknya itu yang dilihat, didengar, dan dirasakan Aaron ketika sampai di rumah Alice, tempat yang baru terpikirkan di tengah jalan. Benar, setelah berkeliling sejak siang, sore, hingga malam.

Aaron yang langsung masuk ke dalam itu melempar pandangan ke sekitar. Ia mencari keberadaan kekasihnya, sekaligus memikirkan soal hal apa yang sebenarnya berlangsung di sini.

"Alice! Dimana kamu?"

Beberapa orang memandang Aaron. Beberapa lagi tidak, karena fokus bermesraan dan bercengkerama.

Aaron terus berjalan lebih masuk lagi. Ia melewati ruang tengah hingga hampir sampai di kamar Alice.

Tiba-tiba ada sosok yang keluar dari kamar pemilik rumah. Dia berpakaian minim, bahkan bisa dikatakan nyaris tanpa busana!

Tidak lama berselang, ada seorang laki-laki dengan pakaian formal khas pimpinan perusahaan. Dia keluar juga dari kamar yang sama. Bedanya, dia membawa serta pakaian dalam perempuan bagian atas.

"Alice! Kemana? Penuhi janjimu untuk pakai ini!"