"Tapi, Pak ...."
Aaron mundur lagi.
"Ya?"
"Bagaimana dengan rapat pemegang saham di pagi menjelang siang ini?"
Aaron memegang kepalanya, tanda lupa soal hal itu. Ia lalu menunjukkan gestur mengeluh.
"Ah, oke. Saya tidak jadi pergi."
"Lalu? Jadi melanjutkan inspeksi?"
Aaron menampakkan telunjuknya. Ini berarti meminta si GM untuk menunggu.
"Tetap tidak. Sepertinya saya jadi pergi, tapi sebentar saja."
"Baik, Pak. Maaf, tapi semoga Bapak kembali tepat waktu."
"Oke. Terima kasih sudah mengingatkan."
Aaron memutar tubuhnya. Ia pergi ke arah yang tadi ia tuju.
GM yang ditinggal sendiri itu lantas pergi. Ia akan melanjutkan inspeksi, mungkin.
Aaron menuju basement, lokasi dimana mobilnya terparkir dengan tenang. Ia tampak tidak bisa santai.
"Pak Aaron!" sapa seoarang petugas valley parking berusia sekitar 30 tahunan.
"Oh, halo!" seru Aaron, balik menyapa sambil terus berjalan mendekati mobil.
"Buru-buru, Pak?" tanya petugas valley parking.
"Ya. Oh, sebentar," jawab Aaron.
Aaron merogoh saku celananya. Ia mengambil selembar uang bernominal besar. Uang itu lalu diberikan pada petugas valley pasrking.
Tidak langsung diterima, petugas valley parking masih menunjukkan gestur menolak. Aaron lantas tersenyum dan langsung menempatkan uang itu di tangan orang yang termasuk bawahannya.
"Ini sebagai imbalan, karena kamu sudah mencucikan mobil saya."
"Oh, terima kasih, Pak."
"Oke. Sama-sama."
Aaron masuk mobil. Ia langsung tancap gas meninggalkan area basement.
Alice's Parfume Store, inilah tempat tujuan pencarian Alice. Semoga saja tebakannya tepat.
Begitu masuk, Aaron disambut wajah-wajah ramah. Ya, staf-staf di sini sudah tahu dan hafal siapa yang datang.
"Mencari Nona Alice, ya, Tuan?"
"Tepat! Di mana dia?"
"Sayang sekali, tidak ada di sini, Tuan."
"Hah? Serius? Weekday dan pagi hari begini tidak ke store?"
"Entah kapan Nona Alice akan kemari. Belum ada info soal itu."
Aaron diam. Ia berpikir sebentar.
"Tahu kemungkinan lain keberadaannya?"
"Maaf, Tuan. Kami tidak tahu sama sekali."
"Ah, so bad!"
"Kenapa tidak mencoba menghubungi langsung Nona Alice, Tuan?"
"Nah, aku bukan langsung datang begitu saja kemari, tapi datang karena mencarinya. Dari tadi chat, tapi lama tidak direspon. Aku khawatir. Itu saja."
"Oh, begitu? Hmm ...."
"Oke. Terima kasih. Aku akan mencarinya di tempat lain."
"Baik, Tuan."
Aaron meninggalkan tempat yang sangat wangi dan terkesan mahal itu. Alhasil 2 staf yang sempat membicarakannya beberapa waktu lalu auto berkumpul.
"Lihat itu! Baru berpisah sebentar saja sudah heboh."
"Entah mantra apa yang Nona Alice pakai untuk membuat Tuan Aaron jadi budak cinta."
***
"Alice, smartphonemu berdering terus. Sebaiknya kamu angkat."
"Tidak. Jangan. Aku tahu itu pasti Aaron. Aku juga yakin bahwa dia ingin mengajakku kencan. Oh, no! Rencana kita bisa kacau nanti."
"Bagaimana kalau itu bukan dari Aaron? Angkat saja! Siapa tahu itu dari salah satu clientmu."
Alice menunjukkan ekspresi kesal karena sudah diberi perintah seperti itu. Di lain sisi, ia juga bersikap pasrah, menuruti keinginan temannya.
Dengan agak kesusahan akibat menenteng terlalu banyak kantong belanja, Alice akhirnya bisa meraih smartphone. Ia melihat layar sebentar, lalu menyimpan lagi.
"Kenapa?"
"Benar. Dari Aaron."
"Oh. Ya sudah, terserah kamu saja."
Berbanding terbalik dengan Alice yang ternyata sedang bersenang-senang, Aaron masih berjuang untuk menemukan. Rumah salah satu teman Alice, ini tempat tujuan selanjutnya.
Aaron segera memencet bel. Dan, tidak perlu waktu lama baginya untuk menunggu sang pemilik rumah keluar.
"Aaron?"
Aaron yang mendapat sambutan seperti itu segera berusaha bersikap normal, tersenyum sambil melambaikan tangan.
"Hai!"
"Ada apa? Tidak biasanya kemari sendiri tanpa Alice."
"Ee ...."
Teman Alice sadar bahwa seharusnya ia tidak berkata begitu. Jadi, ia berusaha mengubah sikap cepat-cepat.
"Maksudku, Ayo, masuk!"
"Tidak. Tidak usah. Aku hanya sebentar."
"Ah, baiklah. Katakan! Apa yang bisa kubantu?"
"Ee, begini ...."
Teman Alice menganggap Aaron payah. Ia mulai melipat tangan, menyilangkan kaki, sambil bersandar di pintu.
"Ayolah, jangan buat aku menunggu hingga berjamur!"
Aaron tertawa, lebih ke menertawakan diri sendiri yang susah bicara. Ia lalu menghembuskan napas berat, menyiapkan mental untuk mengatakan.
"Alice sama sekali tidak merespon pesan dan panggilanku. Jadi, ya ... aku kemari, berharap menemukannya di sini atau mendapat informasi."
"Oh, begitu rupanya. Hei, apa kalian bertengkar??"
Aaron garuk-garuk kepala. Ini antara bingung dan ragu.
"Tidak. Kupikir begitu, kecuali Alice marah dan aku tidak menyadarinya."
"Hmm, mungkin Alice ada di tempat lain. Maksudku tempat favoritnya. Ya, dia sama sekali tidak mampir ke sini."
"Oh, oke. Terima kasih infonya."
Aaron bersiap pergi.
"Yup. Eh, serius tidak mau masuk dulu?"
Aaron memberi jawaban melalui gerakan tangan.
"Aku harus mencari Alice."
"Ah, baiklah. Semoga kamu cepat menemukannya."
"Oke."
Aaron bergerak cepat menuju mobilnya. Ia melangkah ke tujuan berikutnya, pergi ke beberapa tempat favorit Alice secara bergantian.
Siapa sangka ternyata smartphone Aaron berdering. Begitu dicek, ah, dari GM rupanya.
"Ya, Pak. Segera meluncur ke sana," jawab Aaron lalu mematikan smartphone dam meletakkan di kursi sebelah sopir.
Aaron menghentikan laju mobil. Ia berbalik arah.
Sempat, Aaron sekali memukul setir mobil. Ini karena ia kesal. Usaha untuk segera menemukan Alice jadi diam di tempat.
Meski sudah ada yang dituju, mata Aaron masih sempat-sempatnya untuk menengok ke kanan-kiri. Ia berharap bisa menyelam sambil minum air.
Sayang, tidak ada tanda-tanda keberadaan Alice di sepanjang jalan yang dilewati. Alhasil ia fokus pada tujuan, segera mencapai hotel.
Begitu tiba dan sudah memarkirkan mobil di tempat semula, Aaron bergegas menuju salah satu function room yang paling kecil.
Si luar sana tampak ada sang GM yang sudah menunggu. Ia juga siap menyambut.
"Pak Aaron, silakan. Semua sudah menunggu."
GM membukakan pintu untuk Aaron.
"Ya."
Aaron segera masuk. GM menyusul juga lalu menutup pintu.
Selama rapat, Aaron tidak terlalu mendengarkan. Pun saat dirinya harus mengatakan 1 dan beberapa hal di depan umum, ia banyak kali melakukan kesalahan.
Saat ada kesempatan, Aaron menyempatkan diri untuk menghubungi Alice, melakukan spam tepatnya. Sungguh, Aaron bersikap tidak dewasa dan layak disebut sebagai budak cinta.
Usai rapat pemegang saham yang menghabiskan waktu nyaris 1 jam, Aaron akhirnya bisa bernapas lega. Ia tampak paling antusias untuk segera keluar ruangan.
GM tampaknya peka akan sesuatu yang terjadi pada Aaron. Iapun menghampiri, mendekati.
"Pak Aaron akan pergi lagi?"
"Ya. Kenapa? Ada sesuatu?"
"Oh, tidak, Pak. Hanya memastikan saja."
"Baiklah. Kalau begitu handle segala sesuatunya di sini. Saya harus pergi."
"Ya, Pak."
Aaron segera menuju lantai dasar. Ia menuju tempat dimana mobilnya terparkir tadi. Gaspun diinjak dan ia mengeluarkan mobil dengan lincah dari dalam basement.
Butik, Aaron mendatanginya. Di sini ia jadi harus berbaur dengan para kaum hawa.
"Hei, Tampan! Cari apa?" goda seorang ibu paruh baya bergaya bak sosialita, tapi norak.
Seorang ibu paruh baya lain langsing menghambur pada Aaron. Perempuan gendut dengan rambut mengembang itu seketika menggamit lengan Aaron.
"Pasti ingin beli sesuatu untuk kekasihnya, ya? Sini, aku carikan."
Aaron menunjukkan rasa geli sekaligus jijiknya. Ia juga menyingkirkan tangan yang nyaris keriput dan lepas itu.