Chereads / GRANDE / Chapter 5 - Seperti Suami dan Istri

Chapter 5 - Seperti Suami dan Istri

Alice menerima baklava. Ia lantas menggigitnya. Tidak lama kemudian, baklava diarahkan ke dalam mulut Aaron.

"Cicipi! Berdua lebih baik."

Kekasih Alice itu langsung menggigit dan mengunyah. Setelah gigitan pertama habis, ia bahkan mengambil sisa dari tangan Alice lalu menghabiskannya.

Ayran, yoghurt dengan sedikit garam itu dihabiskan oleh Aaron dan Alice kemudian. Sebelumnya, mereka sudah melakukan toss.

"Ahh ...."

Aaron meletakkan gelas yang telah kosong.

"Enak dan segar, ya?"

"Ya."

"Hmm, tentu. Ini lebih baik daripada aneka champagne dan wine yang ada di kamarmu itu."

Aaron menyeka sudut bibir Alice yang ternoda dengan ayran. Tisupun digunakan.

"Mau tambah sesuatu?"

"Apa? Ya tentu tidak, Aaron. Aku kenyang sekali. Sungguh."

"Jadi, kuantar pulang sekarang?"

"Ya."

"Oke, tapi sebentar."

Aaron menjentikkan jari. Ini kode yang ditujukan pada seorang waiter, agak dekat dari mejanya.

"Apa lagi?"

Aaron memberi kode pada Alice agar sang kekasih sabar menunggu. Sementara itu waiter meninggalkan area.

Tidak berselang lama, Alice mendapatkan jawabannya. Ini tepat saat si waiter kembali dengan buket uang berjumlah jutaan. Ada beberapa kepingan emas juga. Benda mahal itu dibalut kertas cellophone berwarna emas.

Mulut Alice membentuk huruf O. Ia lalu menutup mulutnya, sadar akan sikap diri.

Aaron segera bangkit. Ia menerima buket yang diberikan oleh waiter.

Tidak lama berada di tangan Aaron, buket mewah itu diberikan pada Alice. Tentu saja, langsung diterima dengan senang hati.

Melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah Alice, Aaron ikut senang. Siapa sangka, Aaron auto dapat balasan.

Dengan agak jinjit, Alice meletakkan 1 tangannya di pundak Aaron. Ia lalu memberi kecupan.

Aaron memberikan feedback yang baik. Tingkahnya dan kekasih benar-benar membuat stat resto kompak menundukkan pandangan.

Kurang dari 2 menit, kecupan itu berakhir. Meski singkat, tapi sanggup membasahi bibir keduanya, terutama Alice.

Aaron mengambil uang yang jumlahnya lebih dari cukup. Meski ia adalah presdir hotel, tapi tetap merasa ini keharusan. Ia lalu mengambil kunci mobil.

"Baiklah. Ayo, kita pulang!"

Aaron dan Alice meninggalkan meja mereka. Kembali keduanya melangkah menuju basement. Tampak Alice agak kesusahan berjalan sambil membawa buket raksasa, tapi ia masih bisa menangani.

Seperti biasa, Aaron selalu memperlakukan Alice bak princess. Tidak lupa ia menyimpan buket di bagasi. Ia lalu mengambil tempat di sampingnya.

Tidak jauh, rumah Alice masih tergolong di kawasan pusat kota. Jarak tempuhnya hanya sekitar 20 menit.

Itu adalah kawasan perumahan elite. Soal rumah Alice, desainnya khas minimalis dengan lampu pilihan seperti di hotel. Ya, cukup besar jika ditinggali seorang diri.

"Ah, sampai juga."

Alice melihat jam di smartphonenya.

"Ya, Aaron. Cepat juga kamu. Hanya butuh waktu 18 menit untuk sampai."

"Hmm, begitu, ya? Kalau begitu besok aku akan buat rekor baru."

"Oh, ya? Baiklah. Coba saja kalau begitu."

Alice keluar dari mobil. Untuk beberapa saat, ia menunggu Aaron keluar.

Rupanya Aaron masih sibuk dengan smartphonenya. Alicepun mengetuk pintu mobil dan memberi kode dengan tangan, tanda memberi perintah untuk masuk.

Aaron yang menoleh jelas mengangguk. Ia lalu segera keluar.

"Ada apa, Alice? Masih rindu, ya?"

"Emhh, tidak. Bukan begitu, tapi aku hanya tidak ingin kamu jadi seperti sopir pribadi. Jadi, ayolah, masuk!"

Alice menggandeng tangan Aaron. Mereka menuju rumah bersama-sama, setelah Aaron mengangkut buket dari dalam bagasi.

Tangan Aaron baru dilepas saat Alice harus mencari kunci dan membuka pintu. Setelahnya ia masuk lalu Aaron menyusul.

"Santai saja! Aku ganti baju dulu dan bersih-bersih."

"Oke."

Aaron menatap lekat buket uang dan emas. Ia mengenang momen pemberian, sebentar. Setelah itu ia baru meletakkannya di atas meja.

Aaron tidak langsung duduk di sofa super empuk nan mahal milik Alice. Karena, yang ia lakukan sekarang hanyalah berkeliling menyusuri area ruang tamu yang menyatu dengan ruang tengah.

Barang-barang pajangan Alice diperhatikan. Yang utama, tentu foto-foto Alice dan kebersamaan dengan dirinya yang jadi sorotan.

Beberapa kali senyum dan tawa muncul. Jelas tingkah Aaron ini sangat lucu.

Ada momen dimana Aaron sangat mengenang. Itu saat pandangan matanya tertuju pada 1 foto dalam bingkai putih dengan aksen berbeda dari bingkai lainnya.

Aaron duduk di sofa sekarang. Ia menyandarkan punggung.

"Alice ... Alice, kita sudah seperti pasangan suami-istri sungguhan. Pose di tempat tidur hotelku ini memang epic," ujar Aaron, benar-benar mengenang.

Tanpa diduga, Alice muncul dari dalam. Ia sudah memakai piyama dan tampak segar.

"Kamu benar, Aaron. Kita bahkan bisa jadi suami-istri sungguhan detik ini juga."

Aaron menegakkan posisi.

"Hah?"

Alice mendekati Aaron. Ia melingkarkan tangan di leher dan duduk di pangkuannya.

"Aku mengatakannya sungguh-sungguh. Kuambilkan sesuatu, ya."

Aaron mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sambil menunggu, ia mengetuk-ngetuk jarinya di atas meja. Sekali juga memainkan pajangan yang terletak di tempat serupa.

Tidak lama kemudian, Alice muncul dengan membawa baskom berisikan air hangat. Ada juga sebungkus garam yang terselip di tangannya.

"Eh, apa itu?"

"Sudah, diam dan nikmati saja!"

Alice meletakkan baskom di bawah, dekat kaki Aaron. Ia lalu berlutut, layaknya orang yang sedang menyembah. Pun, garam dimasukkannya sebagian.

Alice mengaduk serta 'mencicipi' suhu air. Ia lantas memasukkan kaki Aaron ke dalam sana.

"Ini garam untuk terapi relaksasi. Bagus untukmu. Kamu terlalu lelah berjalan, mengecek ke sana kemari, Pak Presdir."

Aaron senyum nyaris tertawa.

"Kamu ini, Alice, kenapa sudah bertingkah seperti istri saja?"

Alice mendongak sebentar, menatap Aaron. Ia lalu fokus lagi membasuh kaki sambil memberi pijatan.

"Kenapa? Bukannya kamu suka?"

Aaron membelai kepala Alice.

"Tentu. Terima kasih."

Alice terus fokus pada pekerjaan dadakannya. Aaronpun menikmati perawatan yang diberikan.

Momen itu berlangsung beberapa saat lamanya. Akhir baru terjadi saat Alice bangkit dan hendak meninggalkan Aaron.

"Alice, mau kemana?"

Alice menoleh. Ia lalu melangkah lagi.

"Sebentar, Aaron. Aku harus mengambil handuk untuk mengeringkan kakimu."

"Oh, oke."

Aaron menyandarkan diri sambil melipat tangan. Kakinya juga dimainkan di dalam baskom yang sudah keruh itu.

Kurang dari 5 menit, Alice kembali. Ia membuat Aaron mengubah sikapnya, menjadi client salon kecantikan yang penurut.

"Hmm, apa kamu akan tetap melakukannya bahkan setelah kita menikah? Sampai puluhan tahun nanti?"

Alice menatap Aaron. Ada ragu di sana, tapi ia berusaha yakin.

"Kuharap selalu melakukan yang terbaik, untukmu dan hubungan kita."

"That's so nice."

Alice menimpali dengan senyuman. Ia melanjutkan, mengakhiri pekerjaannya, membawa baskom, garam, dan handuk ke dalam.

Aaron kembali santai. Ya, setidaknya begitu sampai Alice kembali lagi dengan 2 stoples kue kering.

"Mau ini? Asisten rumah tanggaku sempat menyiapkan tadi sebelum pulang."

Aaron tersenyum. Ia mendekati Alice. Perlahan perempuan cantik itu dihimpit, dipeluk kemudian. Sebelumnya 2 stoples sudah diambil alih dan diletakkan di meja khusus pajangan, berukuran agak tinggi.

"Apa tidak bisa kamu diam? Kenapa agresif begini?"

Aaron mengendus leher Alice, membuat pemilik Alice's Parfume Store itu mendongak dan menikmati perlakuan, hingga memejamkan mata.

"Aaron ...."

Aaron menghentikan aksinya. Ia tahu betul Alice kesal, tapi niatnya memang hanya untuk menggoda.